Baper 2

2380 Words
Author’s POV Erlan mengerjap. Matanya dibuka perlahan. Ia memicingkan matanya dan diliriknya jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya, atau lebih tepatnya kamarnya dan Deya. Sudah jam empat pagi, sebentar lagi adzan Subuh berkumandang. Erlan menggeliat. Ia melirik ke kanan. Deya masih terpejam. Selimut yang semalam ia lihat masih menutupi tubuh Deya hingga ke d**a, sekarang menurun dan hanya menutupi sampai ke lutut. Lekuk tubuh Deya tercetak dari balik gaun tidur yang sedikit transparan. Erlan membelalakan matanya. Ia baru menyadari Deya mengenakan gaun tidur yang agak transparan. Kenapa ia melewatkan begitu saja semalam? Shit.. Erlan merutuki diri sendiri. Sepertinya ia masih belum siap untuk benar-benar melibatkan perasaan dalam pernikahan ini termasuk melakukan hubungan suami istri dengan Deya, perempuan 21 tahun namun image “gadis SMP” yang ia jumpai pertama kali delapan tahun lalu masih begitu kuat dalam benaknya. Bohong, kalau tak ada desiran sama sekali di hatinya. Meski dia belum jatuh hati pada Deya, namun tidur bersebelahan dengannya setiap malam terkadang membuatnya tersiksa. Dia laki-laki normal yang memiliki birahi dan disuguhi paha mulus Deya yang kadang terekspos saat rok gaun tidurnya tersingkap atau belahan d**a yang agak rendah di gaun tidur istrinya membuat dadanya seakan naik turun, berdebar begitu hebat dan degup jantungnya seolah berirama tak beraturan. Erlan mati-matian menekan hasratnya. Erlan tahu status pernikahan mereka memberikan kesempatan untuknya meminta hak pada Deya dan sekalipun belum ada cinta, dia pasti bisa melakukannya. Hanya saja dia berpikir, dia ingin melalui moment romantis yang akan menjadi moment pertamanya serta ia yakin pertama juga untuk Deya, dengan penuh cinta, bukan karena nafsu belaka. Deya yang sebelumnya tidur memunggungi Erlan, kini ia membalikkan badannya, menghadap Erlan. Erlan terpaku sejenak, ia amati detail wajah Deya yang jika ditelisik dalam-dalam, Deya memiliki wajah yang cukup cantik. Kesederhanaannya menjadi daya pikat tersendiri. Tanpa make up sekalipun, Deya terlihat cantik alami. Erlan menggeser tubuhnya agar lebih dekat pada Deya. Kini penglihatannya terfokus pada bibir Deya yang semalam sudah ia cium. Sensasi manis dengan sedikit rasa burger kembali terngiang di benaknya. Erlan menyukainya dan sejujurnya ia kadang tergoda untuk meneruskan ciuman itu pada sesuatu yang lebih. Kalau saja pengendalian dirinya tidak bagus, mungkin dia sudah melakukannya pada Deya. Ia yakin benar, ciuman itu mungkin ciuman pertama untuk Deya karena Deya tak terlalu ahli ketika membalas ciumannya. Meski begitu, Erlan menyukainya. Hanya satu kelemahan Deya yang sulit untuk ditolerir, “berantakan”. Dan Erlan sangat terganggu dengan sifat orang yang kurang rapi dan berantakan. Erlan mengusap bibir Deya dengan jarinya, pelan agar Deya tak bangun. Ketika Deya mengerjapkan matanya, buru-buru Erlan menggeser posisinya kembali menjauh. Deya membuka matanya perlahan. Deya melirik suaminya yang sudah terjaga. “Jam berapa sekarang?” “Jam empat, bentar lagi Subuh.” Jawab Erlan datar. Deya bangun dari posisinya. Dia duduk dan rok gaunnya tersingkap menampilkan paha mulus Deya yang membuat mata Erlan terbelalak. Sungguh pemandangan itu benar-benar godaan berat untuknya. Erlan memang pernah berpacaran sebelum menikah, tapi dia tak pernah melihat bagian tubuh mantan kekasihnya yang terbuka. Gaya pacarannya dan mantan pacarnya masih terbilang wajar. Tatapan Erlan beralih pada sarung bantal yang terlepas. Lagi-lagi tanpa sadar Deya melepas sarung bantal dan ini membuat Erlan heran. Bagaimana mungkin setiap pagi, sarung bantal itu bisa terlepas. “Kamu masih berantakan juga Dey. Bisa-bisanya sarung bantal itu terlepas.” Erlan sedikit sewot, tidak sesewot pagi-pagi sebelumnya, namun tetap saja Deya tak suka dengan nada bicara Erlan yang selalu ketus. “Nggak usah mad gitu, nanti aku pasti beresin.” Ucap Deya santai. “Beresin sekarang.” Balas Erlan dengan juteknya. Deya yang sudah mulai paham watak suaminya hanya bisa menurut sambil menggerutu. Setelah sholat Subuh, Deya menyibukkan diri dengan beraktivitas di dapur. Erlan belum kembali dari Masjid. Meski suaminya menyebalkan di satu sisi, namun di sisi lain, sebenarnya dia pria yang baik. Yang meski terbiasa hidup mewah dari kecil tapi harta yang ia miliki tak membuatnya lalai dalam beribadah. Deya membuka pintu kulkas. Dilihatnya sayuran yang ada. Sebelum menikah dia jarang memasak. Dia bingung apa yang akan ia masak. Erlan menyukai makanan sehat. Ia takut salah memasak menu. Tiba-tiba terbersit di pikirannya untuk menanyakan resep pada Vira. Vira meski slebor dan kadang m***m tapi dia pintar memasak. Deya mengirim pesan WA pada sahabat baiknya itu. Vir, aku bingung mau masak apa. Kamu punya resep yang simple nggak? jangan terlalu ribet. Sesaat kemudian datang balasan dari Vira. Kamu mau masak buat suami ya? Aku mau kasih tahu resepnya. Syaratnya ceritain malam pertama kamu donk hihihi. Deya menggeleng membacanya. Vira selalu menjadi yang terdepan jika sudah membicarakan segala yang berbau “ena-ena”. Deya membalas. Nggak ada malam pertama, suerr...Kita nikah dijodohin, nggak ada cinta, gimana mau melakukannya. Tak perlu menunggu lama balasan dari Vira. Suer kalian belum ngapa-ngapain? Astaga rugi amat. Suami kamu bodynya goal banget, tiap malam dianggurin? Vira sudah semakin melantur. Kali ini Deya membalas tegas. Kalau kamu nggak mau kasih resepnya, aku mau nyari di google. Vira mengirim balasan. Iya iya aku kasih deh, jangan ngambek. Ntar aku ketik dulu resepnya. Vira mengirim resep untuk memasak rop jamur. Sebelumnya Deya memberi tahu dulu bahan apa saja yang ada di kulkas. Deya menyiapkan semua bahan. Dia mengikuti petunjuk yang diberikan sahabatnya. Saat Deya memasukkan sayuran ke dalam panci terdengar suara salam dari luar. Deya membalasnya sambil melongok ke ruang tengah. Tampak Erlan tengah melangkah. Sesaat Deya terkesima. Suaminya begitu tampan dengan balutan baju koko yang semakin menambah wibawanya. Selanjutnya Erlan menaiki tangga untuk berganti pakaian. Selesai berganti baju, Erlan menghampiri Deya. Tatapannya begitu tajam melihat segala sudut. Lagi-lagi kesabarannya diuji. Meja dapur terlihat begitu berantakan dengan potongan sayur yang tercecer. Belum lagi serbet-serbet yang jatuh ke lantai. “Deya kenapa mesti beantakan begini?” Deya yang tengah mengaduk sop melirik Erlan sejenak. “Gampang selesai masak, nanti aku bersihin.” Balasnya santai seolah tak paham dengan karakter suaminya yang tak bisa mengenal kata “nanti” “Kamu kebiasaan menunda pekerjaan.” Ujar Erlan sewot. Deya menatap Erlan tajam, “apa kamu nggak lihat? Aku kan lagi masak.” Deya mengaduk kembali sopnya. Erlan melirik isi di dalam panci. Ia penasaran dengan apa yang Deya masak. “Astaga, semua sayur kamu masukkan sekalian? Brokolinya sampai layu banget begini, kamu memasukkan brokoli ini udah lama ya?” Erlan lagi-lagi tak puas dengan pekerjaan istrinya. Deya menganga sekian detik, “aku masukin brokoli dari awal masak, sama kayak sayur lainnya, jamur, wortel dan kol ungu. Ayamnya aku juga masukin dari awal.” Erlan geleng-geleng kepala, “kamu ini bisa masak nggak sih Dey? Kerjaan kamu di dapur kacau semua. Nggak ada yang bener. Mending kamu bersihin meja dulu yang berantakan itu dan aku lanjut masak.” Erlan mengambil celemek di lemari. Ia kenakan celemek itu lalu merebut sutil dari tangan Deya. Deya yang masih terbengong-benging hanya mampu melongo mengamati Erlan mematikan api kompor, lalu mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas. “Salahku di mana Mr.Erlan? Ayo katakan salahku dimana?” Nada bicara Deya agak nyolot sedikit. Dia merasa kesal selalu saja dikritisi. Erlan balas menatapnya tajam. “Sebelum terjun ke dapur, paling nggak kamu mesti tahu basic memasak. Pengetahuan masak kamu itu nol banget. Pasti di rumah kamu jarang atau malah nggak pernah masak. Padahal masak sop ini termasuk menu yang paling mudah. Jangan masukkan semua bahan bersaman, tapi bertahap, diawali dari bahan yang lebih lama matang. Bahan yang cepet matang dimasukkan belakangan. Kayak brokoli dan kol ungu mending dimasukkan menjelang matang karena kedua sayur itu cepat matang. Apalagi brokoli yang mengandung zat besi. Kalau terlalu lama dipanaskan nutrisinya bisa hilang.” Erlan menjelaskan panjang lebar dan Deya hanya terdiam. Ia akui dia jarang banget masuk dapur saat belum menikah. “Sudah sana bersihkan dulu mejanya. Biar aku yang lanjut masak.” Balas Dion masih dengan nada bicara yang ketus.. Dengan bibir mengerucut, Deya membersihkan meja dapur dari sisa-sisa potongan sayur dan kulit-kulit bawang. Saat mengelap meja, Deya menyenggol botol air hingga botol itu terjatuh, tutupnya terbuka dan airnya pun tumpah membasahi lantai. Deya segea berjongkok mengambil botol itu. Erlan melirik, “apa yang jatuh?” Deya menutupi tumpahan air itu dengan badannya yang tengah berjongkok. Ia tak mau Erlan marah karena melihat kecerobohannya barusan. “Eh..ini serbetnya...” Jawab Deya agak gelagapan. “Apa-apa jatuh...apa-apa jatuh...” Erlan menggeleng. Erlan kembali mengiris daun bawang. Dia berencana akan membuat steamed egg. Dengan cekatan Deya mengelap sisa tumpahan air dengan serbet dan selepas ini dia harus segera merendam serbet itu di ruang laundry jika tak ingin membuat marah suaminya. Menu sarapan sudah tersaji. Ada sop ayam dan jamur dan steamed egg. Deya pikir Erlan menyukai menu yang bervariasi setiap pagi, rupanya dia suka menu yang simple juga. Derap langkah terdengar dari tangga. Deya melirik suaminya yang sudah berpakaian rapi dan menenteng tas kerjanya. Deya selalu menyukai penampilan Erlan saat mengenakan pakaian formal. Kharisma dan wibawanya seketika keluar. Tapi jika dia sedang bawel dan komplain karena ruangan yang berantakan, kharismanya langsung turun mendekati minus. Erlan duduk di hadapan Deya. Sebagai istri yang sedang belajar menjadi istri yang menyenangkan, Deya berinisiatif mengambil nasi. “Deya, aku makan steamed eggnya saja, nggak pakai nasi.” Tukas Erlan. “Oh ya udah ini buat aku aja. Aku ganti piring lagi.” Saat Deya meletakkan piring berisi nasi di hadapanya sebutir nasi jatuh. Erlan melongo dan bersiap untuk menegur. Deya buru-buru memungut butir nasi itu. Dia mengulas senyum semanis mungkin dan menatap Erlan dengan tampang innocentnya, “sudah bersih...” Deya langsung membuang butir nasi itu ke tempat sampah. Erlan hanya terdiam menyaksikannya. Deya memotong steamed egg lalu menyajikannya di hadapan suaminya. “Emangnya kenyang cuma makan sepotong steamed egg tanpa nasi?” Deya memicingkan matanya. “Makan itu nggak perlu kenyang. Ada haditsnya kok, cukup untuk menegakkan tulang punggung. Artinya cukup untuk memberi tenaga. Kalau tidak mau seperti itu, maka penuhi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiganya lagi untuk bernapas. Yang artinya jangan terlalu kenyang.” Penjelasan Erlan seolah terdengar seperti sindiran halus untuk Deya yang nggak bisa berhenti makan kalau belum merasa kenyang. Derra terdiam. Dia tak bisa kalau makan tanpa nasi. Suasana hening. Mereka menikmati sarapan dengan hanya saling menatap, sesekali. Saat kepergok sedang mengamati pasagannya, masing-masing langsung menundukkan wajahnya. Mereka masih sering merasa canggung jika tengah bersama-sama. “Steamed egg ini kalau digoreng lebih enak kali ya. Ini sebenarnya kayak telur dadar kan? Cuma masaknya dikukus.” Deya membelah steamed egg buatan suaminya dengan sendok. Dia bisa melihat isian steamed egg itu ada wortel yang dipotong kecil-kecil, daging ayam yang disuwir-suwir, di atas permukaannya ditaburi daun bawang. “Dikukus jauh lebih sehat Deya. Rasanya tetap enak kok. Orang Indonesia mah kebiasaan suka yang gurih-gurih, berminyak dan digoreng.” Balas Erlan datar. Deya menyipitkan matanya, “Kamu bukan orang Indonesia?” Erlan terkekeh, “Aku orang Indonesia yang istimewa. Aku tak suka gorengan seperti kebanyakan kalian.” Deya mencibirr, “Hmm iya deh yang biasa liburan ke luar negeri, makan makanan mewah dan nginep hotel mah beda ama yang jarang liburan, jangankan ke luar negeri, di Indonesia aja cuma ublek-ublek di Bandung. Makanan mah seleranya nasi goreng, gorengan, dan jajanan kaki lima, kalau nggak honeymoon kemarin juga nggak bakal tuh ngrasain nginep di hotel bintang lima...” “Udah?” Erlan langsung menyela sebelum Deya menyelesaikan ucapannya. “Udah apaanya? Makannya? Baru aja lima suap udah ditanya udah apa belum.” Deya mengernyitkan dahinya. “Udah ngomongnya?” lanjut Erlan. Glek...Deya terdiam sesaat. “Kamu ini terlalu cerewet,” tukas Erlan datar. “Kamu nggak nyadar ya? Kamu juga cerewet banget. Bawelnya kamu ini nglebihi emak. Apalagi kalau lihat sesuatu yang berantakan, bawelnya naudzubillah...” Balas Deya tak mau kalah. Erlan menganga dan tersenyum sinis, “Aku bawel untuk hal yang benar.” Senyap.. “Oya hari ini kamu rencana kemana? Kalau kamu mau di rumah aja kamu bisa nonton film. Ada banyak DVD, tinggal pilih. Atau mau beres-beres itu lebih bagus lagi.” Ujar Erlan sambil merapikan kemejanya. Dia bersiap-siap untuk berangkat. “Aku rencana mau belanja dagangan lagi. customerku udah banyak yang nanya dagangan. Aku belum restock lagi. Semua udah sold out.” Jawab Deya sambil membereskan piring dan gelas untuk diletakkan di wastafel dapur. “Kamu nggak usah jualan lagi nggak apa-apa kok. Nggak usah kerja, jadi ibu rumahtangga saja. Ngurus anak di rumah.” Ujar Erlan sambil melangkah menuju depan. Deya mengikuti langkah suaminya, “ngurus anak? Aku belum punya anak. Kalau pingin punya anak, harus hamil dulu.” Seringai Deya sekenanya. Sesaat mata mereka bertemu. Tiba-tiba keduanya merasa canggung. Deya menggerutu pelan, “jangankan hamil, disentuh aja nggak pernah.” “Apa?” Erlan menaikkan alisnya. “Nggak...nggak apa-apa.” Balas Deya sedikit terbata. “Aku berangkat.” Ucap Erlan dan berjalan menuju mobilnya di garasi. Deya terus mengikutinya. “Ehemm...” Deya berdehem. “Apa lagi?” Tanya Erlan. “Ehm...” Sejenak Deya berpikir, masa iya dia mesti minta Erlan mengecup keningnya. Ia terlalu terhipnotis dengan cerita-cerita pernikahan yang romantis di mana sang suami memberi kecupan di kening sebelum berangkat kerja. “Nggak apa-apa.” Balas Deya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Erlan membuka pintu mobil, memasukkan tasnya. Sebelum dia masuk ke dalam, sebenarnya dia ingin memberikan sesuatu untuk Deya, ciuman? Tapi rasa-rasanya Erlan terlalu gengsi untuk melakukannya. Diliriknya Derra yang masih mematung. Erlan mendekat ke tubuh Deya, melingkarkan satu tangannya di pinggangnya lalu menarik tubuh istrinya hingga merapat pada tubuhnya. d**a Deya berdebar-debar. Tanpa menunggu waktu, Erlan melumat bibir istrinya seperti tengah memakan ice cream. Degup jantung Deya kembali berpacu lebih cepat. Erlan selalu saja membuatnya melayang dengan ciuman panasnya, menyesap dalam-dalam dan menjelajah ke dalam rongga mulut, membuat Deya tak berkutik. Refleks ia mengalungkan tangannya ke leher suaminya. Erlan menyudahi ciumannya. Mata mereka kembali beradu. Erlan menyapu bibir istrinya sesaat sebelum ia tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Erlan menatap Deya dari jendela pintu mobilnya. Deya masih terdiam dengan gemuruh getaran yang masih merajai hatinya. “Aku berangkat. Assalamu’alaikum.” Ujar Erlan sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan pelataran. “Wa’alaikumussalam.” Deya meraba bibirnya. Terlepas dari semua sikap menyebalkan Erlan yang terlalu gila kerapian dan kebersihan, Deya selalu menyukai cara Erlan menciumnya. Seluruh tubuhnya seakan bergetar seperti tersetrum aliran listrik bertegangan tinggi. Sensasi ciuman yang memabukkan ini terkadang mengganggu pikirannya dan rasanya ia ingin mengulangnya sebanyak waktu yang mereka punya. Lagi-lagi Deya baper dengan tingkah Erlan yang kadang bisa menjadi semanis ini. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD