First Kiss

2175 Words
Deya’s POV Seharian ini kami menghabiskan waktu dengan aktivitas tanpa arti. Pagi-pagi kami sudah sarapan di restoran hotel dengan menu yang tak aku suka, muffin dan waffle. Seperti sarapan orang bule saja. Aku terbiasa sarapan nasi uduk atau nasi kuning. Kami juga sempat berenang di kolam renang hotel yang luas dan jernih. Aku bisa renang meski nggak terlalu ahli. Dan ada satu kejadian yang sangat menyebalkan di pagi buta sebelum adzan subuh. Dia mengkritisi sikapku yang ia nilai terlalu berantakan. Dia nyerocos tanpa henti mengatakan aku kurang rapi dan begitu berantakan karena sarung bantal yang aku pakai lepas begitu saja. Selimut yang kukenakan pun tak luput dari perhatiannya. Dia bilang aku tak tahu cara menggunakan selimut dengan rapi. Dan waktu aku kritik sikapnya yang juga berantakan karena meletakkan salah satu handuk di lantai kamar mandi, dia berkata bahwa itu bukan handuk tapi keset. Aku mencelos, keset dan handuk kok serupa? Bahannya sama cuma beda ukuran. Dengan gamblang dia menjelaskan bahwa handuk-handuk yang ada itu bermacam jenisnya, ada wash cloth, hand towel, bath mat, bath towel dan bath sheet. Fix, aku mati kutu dan kelihatan banget noraknya. Malam ini kami berencana dinner di restoran hotel. Di hotel ini ada sekitar tujuh restoran dan restoran yang akan kami kunjungi malam ini adalah restoran mewah yang membatasi jumlah tamu dan mewajibkan pengunjungnya untuk mengenakan pakaian sesuai dress code yang diterapkan untuk kunjungan lebih dari jam tujuh malam. Kami harus mengenakan pakaian formal. Ayah mertua sudah reservasi jauh-jauh hari dan di koperku pun sudah disiapkan dress serta high heels. Sungguh, ini bukan style aku banget, tapi demi menghargai ayah mertua yang sudah menyiapkan semua ini, aku mau juga mengenakan dress. Jujur kuakui, aku tak pintar make up, hanya dandan minimalis saja. Kadang aku minder karena aku merasa tak bisa mengimbangi penampilan Erlan yang selalu perlente. Suasana begitu canggung. Atmosfer terasa kaku. Aku dan Erlan duduk berhadapan sembari menunggu hidangan disajikan. Aku mengikuti saja menu yang dipesan Erlan. Aku tak tahu banyak tentang nama menu di daftar menu, banyak yang kurang familar di telingaku. Alhamdulillah restoran ini bersertifikat halal, jadi aku tak perlu khawatir. Tak lama kemudian seorang waiter membawakan hidangan. Dia meletakkan nampan di atas meja, lalu membuka tutupnya. Ada pula dua cangkir teh. “Silakan dimakan sambil menunggu menu utama.” Ucapnya ramah. Kulihat isi dalam nampan itu, roti dan butter? “Kita dateng cantik dan keren begini, hanya untuk makan roti dan mentega?” Kunaikkan alisku. “Ini hanya complimentary foods Deya, bersabarlah. Sebentar lag waiter akan menghidangkan appetizer, disusul main course dan selanjutnya dessert.” Jelasnya tegas tapi volume suaranya tidak terlalu keras. Aku menghela napas, “ini pertama kali aku makan di restoran mewah.” “Sudah kuduga.” Balasnya singkat. Waiter itu kembali keluar membawakan nampan baru. Satu porsi salad buah untukku, satu porsi lagi untuknya. Makanan pembuka kali ini cold appetizer dan tentu saja tak bikin kenyang, hanya untuk meningkatkan selera makan. Cukup segar dan enak, aku memang suka buah. Sesi berikutnya sang waiter kembali keluar untuk menghidangkan main course. Aku tak tahu jenis makanan ini, rasahya seperti ayam. Kuperhatikan tampilan makanan ini. Sepertinya memang ayam yang di tengahnya ada beef dan kejunya. Ayam ini dibalut telung panir. “Ini namanya makanan apa?” Kulirik dirinya yang sebenarnya terlihat begitu berwibawa dan gagah ala CEO-CEO di cerita fiksi. Namun sikap menyebalkannya yang membuat kharismanya turun di mataku. “Namanya Chicken Cordon Bleu.” Balasnya. “Susah amat namanya.” Gumamku. Rasanya cukup enak sih, tapi tidak terlalu istimewa. Selesai memakan main course, sang waiter menghidangkan dessert. Kali ini dessertnya adalah berry ice cream. Rasa manisnya pas, tidak terlalu manis. Jujur, perutku masih lapar. Porsi semua makanan yang disajikan terlalu sedikit untukku, mana bisa kenyang. Aku biasa makan lebih banyak dari ini. Kami melangkah keluar dari restoran dan bersiap melangkah menuju kamar. Tapi sesaat aku berhenti. Dia melirikku. “Kenapa?” Tanyanya singkat. “Ehm.. sepertinya di seberang hotel ada yang jualan nasi goreng, aku pingin beli.” Erlan memicingkan matanya, “kita kan udah makan barusan. Apa kamu belum kenyang?” Aku menggeleng, “aku masih ingin makan. Aku pingin banget makan nasi goreng. Kalau belum makan nasi rasanya belum kenyang.” “Ya udah nanti aku pesankan lewat room service aja ya.” “Nggak. Aku kurang suka makanan di hotel ini.” Erlan menajamkan matanya, “makanan di pinggir jalan itu kurang sehat Dey. Gimana kalau terkontaminasi kuman? Lebih baik kita pesan di sini saja.” “Mereka pasti bakal jaga kebersihan makanannya. Masa iya jualan makanan tapi nggak merhatiin kebersihan.” Aku coba mendebatnya. “Aku nggak mau nemeni kamu beli nasi goreng di sana. Aku peringatkan sekali lagi, makanan di pinggir jalan itu biasanya nggak bersih, nggak sehat. Kalau nanti perutmu sakit gimana?” Nada bicaranya terdengar begitu ketus. “Pokoknya aku mau beli di sana.” Aku berjalan menjauhi Erlan. Saat ada orang masuk ke dalam lift, aku ikut masuk. Dulu aku pernah menderita claustrophobia cukup parah. Aku fobia pada tempat sempit dan tertutup. Setiap menghadapi situasi di mana aku terjebak di dalam ruangan sempit dan tertutup, seperti lift aku akan merasa mual, pernapasannya terganggu, keluar keringat dingin, dan aku merasanakan cemas luar biasa, tiba-tiba terserang panik berlebih. Aku menjalani terapi untuk menyembuhkan claustrophobiaku. Dan sekarang aku sudah bisa menghilangkan sedikit demi sedikit fobia ini, tapi untuk naik lift, aku masih takut naik lift sendirian, harus ada yang menemaniku. Lega rasanya setelah keluar dari lift dan tiba di lobi. Aku berjalan keluar dari hotel menuju seberang jalan untuk membeli nasi goreng. Menurutku nasi goreng ala abang pinggir jalan itu jauh lebih enak dibanding nasi goreng ala resto sekalipun. Setelah membeli nasi goreng, aku kembali masuk ke lobi hotel. Kini aku mematung di depan lift dan rasanya aku tak berani masuk lift sendirian. Sedari tadi tak ada yang masuk ke dalam lift. Apa aku harus mengirim WA pada Erlan untuk menjemputku. Kuputuskan duduk di sofa yang ada di lobi. Kukirim pesan WA untuk Erlan. Erlan tolong jemput aku di lobi. Aku takut naik lift sendirian. Sesaat kemudian datang balasan darinya. Kamu ini merepotkan banget. Masa naik lift aja takut? Aku balas lagi. Aku claustrophobia, takut berada di tempat yang sempit dan tertutup. Sekarang sih mending, aku bisa naik lift tapi syaratnya harus bersama orang lain. Satu menit kemudian, satu pesan masuk dari Erlan. Kamu selain berantakan juga punya fobia yang aneh. Paket komplit. Tunggu sebentar, aku susul. Lega juga akhirnya Erlan mau menyusulku. Tak berapa lama, Erlan sudah muncul dan menatapku dengan ekspresi juteknya. Sepertinya dia tidak bisa sedikit saja ramah padaku. kami berjalan beriringan menuju lift. Saat pintu lift terbuka, Erlan menggandeng tanganku dan menarik tubuhku untuk masuk ke dalam. Aku terpaku sejenak. Kuamati genggamannya di tanganku. “Makanya jangan sok-sokan. Punya fobia aneh masih aja bertingkah. Merepotkan saja.” Ketusnya tanpa menolehku. “Aku juga nggak mau punya fobia kayak gini. Saat aku konsultasi ke psikolog, claustrophobiaku ini kemungkinan karena trauma. Saat kecil pernah terkurung di kamar mandi rumah sakit yang tiba-tiba pintunya terkunci dan susah dibuka.” “Ada-ada saja. Kamu ini nggak hanya manja tapi juga aneh.” Aku melongo. Seenaknya saja dia mengatakan aku manja dan aneh. Dia lebih aneh lagi karena terlalu gila kerapian dan kebersihan. Setiba di kamar, aku berganti baju dan bersih-bersih muka dulu dari sapuan make up minimalisku. Tak lupa menyuci tangan dan saatnya menikmati nasi goreng yang dari aromanya saja sudah tercium kelezatannya. Erlan menatapku dengan tatapan sinis kala aku menikmati makananku. Seperti tatapan jijik. “Kamu nggak pingin nyoba? Rasanya enak lho.” Erlan menggeleng, “nggak selera. Aku udah bilang, makanan di pinggir jalan itu nggak bersih dan nggak sehat.” “Tadi tempatnya bersih kok dan tertutup juga, jadi tak terkontaminasi debu.” Ujarku. Dia memang aneh, doyannya makanan ala resto yang menurutku membosankan. Mungkin seleranya memang begitu, maklum orang kaya. Ayahnya pengusaha properti yang sukses sedang ibunya seorang designer yang karya-karyanya sudah melanglangbuana sampai luar negeri. Erlan memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan memiliki dua anak. Mereka masih tinggal satu kota, sedang adiknya laki-laki seumuran denganku. Dia tengah melanjutkan pendidikan S2nya ke London. Di hari pernikahanku kemarin, dia menyempatkan pulang ke Indonesia. “Mau bersih kayak apa tetap saja makanan pinggir jalan. Aku nggak tertarik.” “Nggak tertarik ya udah, nggak usah nyolot.”Balasku. Setelah kuhabiskan makananku, kubereskan peralatan makanku. “Astaga berantakan amat. Lihat sisa nasi ada dimana-mana. Kamu ini bisa makan nggak sih? nggak rapi amat.” Erlan membelalakan matanya dan menatap meja dengan tatapan yang begitu menghujam. Satu dua butir nasi saja sudah membuatnya kalap begini. “Aku bakal bersihin, tenang aja.” Aku balas mendelik dan aku tak suka dengan tatapannya yang begitu menusuk. “Makanya nggak usah beli makanan di luar lalu dimakan di dalam kamar. Harusnya kamu tadi makan di tempatnya, nggak usah dibungkus dan dimakan di sini.” Kata-katanya selalu saja ketus. Aku semakin jengah mendengarnya. “Apa ada peraturan di hotel yang melarang tamunya makan di kamar? Jangan seenaknya menciptakan peraturan sendiri.” Aku beranjak dan berdiri menghadapnya. Dia masih duduk di sofa. Dia ikut berdiri dan menatapku begitu menelisik, “memang tidak ada. Tapi makan di dalam kamar hanya akan membuat kamar ini kotor. Di rumah aku selalu diajarkan untuk makan di ruang makan, bukan di kamar.” Aku menyeringai, “kita sekarang lagi berada di mana? Apa di rumah? Semua ini soal adaptasi. Lagipula setiap hari juga ada yang membersihkan kamar ini dan aku tadi cuma menjatuhkan satu dua butir nasi.” “Satu dua butir nasi sekalipun tetap saja bikin kamar ini kotor. Aku nggak suka sesuatu yang kotor dan berantakan. Lagipula kamu ini cewek tapi makannya banyak. Tiga menu di resto aja nggak cukup buat bikin kamu kenyang dan mesti beli nasi goreng di luar.” Dia terus saja mencecar. Aku jadi emosi sendiri. Benar-benar punya suami model begini merusak mood dan menguji kesabaranku. “Mungkin nasi goreng nggak ada artinya buat kamu karena kamu bisa merasa kenyang tanpa makan nasi. Tapi buat orang yang nggak akan kenyang sebelum makan nasi itu sangat berarti. Cobalah memahami orang lain. Ada banyak hal-hal sederhana dan dianggap sepele tapi bisa membuat orang bahagia. Nasi goreng membuatku bahagia setelah dua hari ini perutku selalu mendapat makanan hotel yang terlalu mewah untukku, nggak cocok di lidahku yang hampir nggak pernah makan makanan mewah.” Aku terus nyerocos dan dia terdiam. “Tentu saja kamu nggak akan ngerti. Kamu udah biasa makan makanan mewah. Mana tahu sensasi enaknya makanan pedangang kaki lima.” Aku menatapnya dengan tatapan tertajamku. Sesaat kemudian aku berjalan menuju balkon dan memandang panorama luar untuk sekedar menurunkan tension karena emosiku yang naik. Derap langkahnya terdengar merdu. Sepertinya dia sedang berjalan ke arahku. Dia berdiri di sebelahnya dengan jarak yang tidak begitu dekat. “Tidak usah marah-marah. Aku ini suami kamu Dey. Apa pantas seorang istri marah-marah pada suami?” Kulirik dia sejenak, “aku nggak akan marah kalau kamu nggak mancing-mancing amarahku. Setidaknya belajar sedikit memahamiku. Aku bukan orang yang super rapi sepertimu. Aku memang cenderung berantakan dan kurang bisa rapi. Tapi hidupku nggak seberantakan itu. setidaknya meski aku masih menganggur, aku udah biasa cari uang sejak sekolah. Di masa SMP dan SMA aku biasa jualan makanan ringan, cemilan yang aku bungkusin di plastik kecil-kecil lalu aku jajakan ke teman-teman sekolahku. Dan saat kuliah aku berjualan online. Aku nggak terbiasa hidup mewah sepertimu. Aku nggak terbiasa dikelilingi fasilitas mewah sepertimu. Cukup pahami saja kesukaanku atas hal-hal sederhana itu sudah cukup.” Erlan tak membalas apapun. “Dan tolong jangan anggap remeh claustrophobiaku apalagi menyebutku merepotkan. I’ve been dealing with it for so many years. Aku sudah menjalani banyak terapi untuk sembuh dari fobia ini. Semua yang kamu pandang remah bisa jadi hal besar untuk orang lain.” Erlan melangkah, mendekatiku. Tanpa bicara dia mengangkat daguku dan semua ini membuat dadaku berdebar. Cup... dia sedikit membuka bibirnya saat mengecupku dan aku hanya bisa terdiam. Bibirku masih mengatup saking kagetnya. Dia mengecupku? It was my first kiss... “Ada sisa di sudut bibirmu dan sudah kusingkirkan tadi.” Ucapnya santai. “Jika kamu ingin aku memahamimu, maka belajarlah untuk memahamiku juga. Aku memang tipikal orang yang neat freak, clean freak dan untuk membuatku berdamai denganmu, maka berusahalah untuk sedikit lebih rapi dan jangan berantakan. Aku risih melihat alat-alat makan yang berantakan dan butir-butir nasi yang berserakan. Sama seperti kamu yang nggak bisa masuk lift sendirian, aku juga nggak bisa melihat sesuatu yang berantakan.” Dia bicara begitu lugas lalu kembali masuk ke kamar. Kini aku terpekur memikirkan watak kami yang bertolakbelakang dan ini sangat mengganggu. Kecupan yang ia daratkan di bibirku seakan masih terasa begitu kuat jejaknya. Dia mungkin tak menyadari kalau dia baru saja mencuri ciuman pertamaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD