Elfan baru saja pulang dari kantor. Ia berjalan memasuki teras rumahnya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan.
Hari ini di ruang produksi, mendadak open kembali rusak. Elfan baru datang melihat agar tidak terjadi kerusakan lebih parah lagi. Bisa membahayakan karyawan yang bekerja.
Untung saja semua sudah tertangani dengan baik. Masalahnya Elfan pulang sangat telat hari ini. Tadi ia juga terpaksa meninggalkan Mutiara yang sedang pingsan.
Jujur saja, saat sedang menangani masalah open di ruang produksi, Elfan tidak bisa tenang. Ia terus memikirkan kondisi Mutiara. Sebentar-sebentar, ia menelpon bi Sumi untuk menanyakan kabar Mutiara.
Elfan yang sudah sampai di depan kamarnya, membuka pintu kamar. Setelah pintu terbuka, ia melihat Mutiara sudah tidur di ranjangnya. Elfan pun berjalan masuk dengan langkah pelan.
Ketika sudah dekat, Elfan kembali menempelkan punggung tangannya di kening Mutiara untuk mengecek suhu tubuh. Mutiara masih panas, tapi sudah tidak sepanas tadi. Syukurlah. Sepertinya Mutiara sudah membaik. Pikir Elfan.
Elfan lalu berbalik lagi akan pergi menjauh. Namun, sebelum itu ia tersadar sesuatu. Elfan melihat di tangan Mutiara, ponsel Mutiara sedang tergeletak dan masih menyala. Di sana layar ponselnya menunjukkan sebuah situs lowongan pekerjaan.
Elfan kemudian mengambil ponsel Mutiara dan melihat untuk memastikannya. Memang benar kalau Mutiara sedang mencari pekerjaan. Elfan kembali melihat Mutiara dengan menautkan kedua alis heran.
"Untuk apa dia mencari lowongan pekerjaan?" gumam Elfan dalam hati.
Elfan lalu mematikan ponsel Mutiara dan meletakkannya di meja. Ia kemudian membenarkan selimut Mutiara dengan menariknya ke atas. Setelah itu, Elfan kembali berbalik dan berjalan keluar kamar lagi.
Begitu Elfan sudah keluar kamar, Mutiara membuka kedua mata. Mutiara mendongakkan kepala dan melihat ke arah pintu yang sudah tertutup dari luar. Sebenarnya Mutiara belum tidur.
Mutiara yang tadi sedang melihat layar ponsel itu, mendengar langkah kaki mendekat ke kamar dan segera pura-pura tidur. Mutiara tentu bisa mengetahui saat Elfan mengecek suhu tubuhnya dan membenarkan selimutnya. Mutiara terus menatap ke pintu yang baru dilewati Elfan tadi.
"Terima kasih ya, Bi. Bi Sumi sudah mengompresku."
"Oh! Bukan bibi, Nona! Tadi yang mengompres Nona adalah Tuan Elfan."
"Apa?! Jadi, yang memindahkanku dari sofa ke ranjang apa juga—"
"Tentu saja Tuan Elfan juga, Nona! Begitu tahu Nona pingsan, Tuan sangat panik. Dia menyuruh Bibi memanggilkan dokter. Sedangkan tuan sendiri langsung mengompres Nona sendirian sampai dokter datang."
Begitulah percakapan yang sempat Mutiara rekam di memorinya bersama bi Sumi tadi. Dari sana Mutiara jadi tahu kalau sebenarnya Elfan-lah yang memindahkan dan mengompresnya. Rupanya, Elfan memang tidak sedingin yang ia bayangkan.
***
Mutiara berjalan menuruni tangga. Ia yang pagi-pagi baru dari kamar itu akan menuju ke meja makan untuk sarapan pagi bersama seperti biasa. Ketika sudah di tangga yang terakhir, Mutiara berhenti. Ia melihat Elfan sudah ada di meja makan dengan kakeknya.
Mutiara diam-diam memperhatikan Elfan dari tempatnya berdiri. Tadi malam Elfan tidur di sofa. Elfan rela tidak tidur di ranjangnya dan membiarkan Mutiara yang tidur di sana. Ketika bangun pagi, Mutiara juga tidak menyadari saat Elfan bangun.
Melihat sikap Elfan dari tadi malam, Mutiara merasa kalau Elfan adalah orang yang berbeda. Pagi ini, seolah-olah Mutiara melihat Elfan seperti orang lain. Mengingat kejadian tadi malam, entah kenapa Mutiara jadi merasa tersipu malu sendiri?
"Mutia?"
Tiba-tiba saja suara kakek memanggilnya. Mutiara pun terhenyak. Ia segera menoleh ke arah meja makan kembali. Dilihatnya kakek dan Elfan sedang melihatnya berdiri di ujung tangga itu.
"Kenapa kamu berdiri di sana? Kamu mau ikut sarapan? Sinilah!" ajak sang kakek.
"I ... iya, Kek!" jawab Mutiara.
Mutiara pun berjalan mendekat. Ia lalu mengambil duduk di tempat biasanya. Ia duduk di hadapan Elfan.
"Kakek pikir kamu masih sakit. Jadi, Kakek tidak memanggilmu. Nanti Kakek akan menyuruh bi Sumi untuk mengantarkan sarapan saja ke kamar," kata kakek.
"Terima kasih, Kek. Saya sudah baikan."
"Syukurlah. Kalau begitu, makanlah," kata kakeknya lagi.
Mutiara pun mulai membuka piring dan mengambil nasi serta lauk. Sebelum ia makan, ia kembali melirik Elfan yang ada di depannya. Seperti biasa, Elfan sarapan dengan terus menatap ponselnya. Pasti dia sedang konsentrasi untuk pekerjaannya.
"Mutia?" panggil kakeknya lagi. Membuat Mutiara menengok ke arah kakek kembali. "Lusa Kakek akan mengadakan acara ulang tahun perusahaan. Kamu persiapkan dirimu dan ikutlah pesta itu," kata sang kakek.
"Pes ... pesta, Kek?!" ulang Mutiara.
"Ya! Kamu akan datang bersama Elfan nanti di pesta itu," ujar sang kakek lagi.
Mutiara menganggukkan kepala dengan terpaksa. Sebenarnya, ia masih memproses di dalam kepalanya. Kemudian ia melihat ke arah Elfan yang masih memperhatikan ponsel nampak tidak peduli. Membuat Mutiara bingung sendiri.
"Kenapa dia diam saja? Aku, kan tidak tahu pesta apa yang dimaksud Kakek?" gumam Mutiara dalam hati.
Tiba-tiba ponsel kakek berdering. Sang kakek pun mengambil ponsel dan berdiri. Kemudian berjalan menjauh dari meja makan. Mungkin kakek akan mengangkat panggilan yang masuk ke ponsel itu. Setelah kakek sudah jauh, Mutiara langsung melihat Elfan.
"Pak Elfan!" panggil Mutiara. Elfan pun mengalihkan konsentrasi dari ponsel dan melihat Mutiara dengan tatapan datarnya. "Ngomong-ngomong, pesta seperti apa yang dimaksud Kakek?" tanyanya.
"Seperti pesta pada umunya," jawab Elfan singkat. Mutiara menautkan kedua alisnya. Masih belum paham juga.
"Jadi nanti aku harus pakai baju apa, ya?"
"Kamu bisa ke butik dan salon yang sudah di pesan Kakek," jawab Elfan kembali menatap layar ponselnya. Mutiara pun mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi aku tidak perlu menyiapkan apa-apa lagi, ya?" kata Mutiara yang seolah sedang berbicara sendiri itu. Elfan pun kembali melihatnya.
"Kalau kamu tidak mau pergi, tidak apa-apa. Jangan memaksakan diri," katanya yang kemudian kembali melihat ponselnya. Mutiara jadi mengkerutkan dahi mendengarnya.
"Apa maksudmu bicara begitu?!" tanya Mutiara.
Namun, Elfan tidak menanggapi Mutiara. Ia hanya fokus ke ponselnya lagi. Mutiara semakin mengernyitkan dahi kesal. Ia pun kembali memakan makanannya dan kekesalan yang setiap pagi ia alami kembali muncul pagi ini. Mutiara bernafas perlahan untuk mengelola emosinya.
Tidak lama, Elfan pun berdiri. Nampaknya ia sudah selesai makan dan akan berangkat bekerja. Mutiara menyadari saat Elfan akan pergi menjauh itu. Ia pun segera berdiri dan menyusul Elfan.
"Tunggu!" cegah Mutiara pada Elfan. Membuat Elfan terhenti dan berbalik melihatnya.
Mutiara berjalan cepat mengikuti Elfan. Tidak lama, kini ia sudah ada di hadapan Elfan. Ia nampak ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu.
"Ada apa lagi?" tanya Elfan.
"Ngomong-ngomong, untuk tadi malam terima kasih karena sudah mengompresku saat panas. Terima kasih juga karena sudah mengalah padaku untuk tidur di sofa," kata Mutiara yang terdengar tulus.
"Mengalah? Siapa bilang aku mengalah? Aku tidur di sofa, itu adalah sebuah kompensasi."
"Kompensasi?! Apa maksudnya?"
"Aku tidak pernah tidur di sofa sebelumnya. Karena tadi malam aku tidur di sofa, aku jadi pegal-pegal rasanya," kata Elfan sembari memijat-mijat tengkuk lehernya. Mutiara pun jadi mengkerutkan dahinya.
"Waaah! Aku pikir kamu masih memiliki kebaikan. Tidak tahunya kamu benar-benar tidak punya hati!" seru Mutiara. "Baiklah! Karena aku juga tidak bisa menerima kebaikan secara cuma-cuma, jadi katakan saja. Apa maumu?!" Mutiara menyedekapkan kedua tangan sembari memalingkan wajah.
"Soal kartu kredit pemberian kakekku waktu itu ... aku tahu aku salah paham," ujar Elfan. Membuat Mutiara terhenyak sesaat. Ia jadi menoleh ke arah Elfan dan menghilangkan ekspresi kesalnya. "Lupakan soal kalimatku yang menuduhmu menikah hanya karena harta. Aku tahu kamu tidak seperti itu," tambahnya lagi.
Mutiara terdiam mendengarnya. Jujur saja ia tertegun dengan kalimat Elfan. Ia lagi-lagi melihat Elfan dengan versi tidak dingin kembali hadir.
"Kenapa dia cepat sekali berubah-ubah? Kadang dia sangat dingin dan menyebalkan. Tapi kadang dia juga hangat dan pengertian," gumam Mutiara dalam hati yang mulai luluh. Mutiara pun jadi sedikit salah tingkah.
"Kalau merasa bersalah ya minta maaf saja. Tidak perlu mengalah segala," kata Mutiara dengan masih salah tingkah.
"Jadi katakan saja soal pernikahan yang mengatas namakan harta itu sudah selesai. Kita sudah impas. Kelak tidak perlu mengadu pada kakek dan menjelekkanku lagi!" kata Elfan.
Setelah berbicara begitu, Elfan segera berbalik kembali dan berjalan menjauhi Mutiara. Ia melanjutkan langkahnya untuk pergi dan akan meninggalkan Mutiara. Mutiara pun mengkerutkan kening dalam. Tidak terima Elfan berpikir seperti itu. Ia segera berjalan menyusul Elfan lagi.
"Tunggu! Aku tidak pernah mengadukan pada Kakek! Aku ... kyaaa ...!"
Mutiara tiba-tiba saja terhenti berbicara. Ia tersandung kakinya sendiri sehingga ia berteriak akan jatuh. Elfan langsung kembali menoleh ke arah Mutiara saat mendengar teriakan Mutiara.
Melihat Mutiara yang akan jatuh itu, Elfan dengan sergap segera menangkapnya. Sehingga Mutiara tidak jadi terjatuh. Elfan berhasil memegangi pinggang Mutiara yang berdiri miring. Mereka saling berhadapan dengan jarak sangat dekat.
Dalam keadaan seperti itu, tentu saja membuat jantung Mutiara tidak aman. Mutiara jadi tercekat dan tidak bisa berkata apa-apa. Nafasnya seolah terhenti dan ia hanya mengerjapkan kedua matanya cepat beberapa kali.
"Aku bisa mendengarnya," bisik Elfan pada Mutiara.
"A ... apa?"
"Suara detak jantungmu."
Mutiara semakin tercekat mendengar kalimat Elfan. Ia jadi menelan ludah dan perasaannya semakin kacau. Elfan lalu memperhatikan bibir Mutiara dan mendekatkan wajah pada Mutiara. Membuat Mutiara melebarkan kedua matanya.
"A ... apa yang akan kamu lakukan?!" tanya Mutiara terbata.
"Apa lagi? Ini bukan pertama kali, kan?" jawab Elfan.
Mutiara semakin merasa resah. Ia pun secara refleks menutup kedua matanya rapat-rapat. Tidak kuasa menahan debaran jantung yang semakin tidak terkontrol. Saat Mutiara menutup kedua mata, Elfan sempat menjelajahi wajah Mutiara yang juga sangat cantik dari dekat. Elfan semakin mendekatkan bibirnya pada bibir Mutiara.
"Astaga! Dia benar-benar akan menciumku ...!" gumam Mutiara dalam hati. Ia bisa merasakan nafas Elfan yang semakin dekat padanya. Sekian detik kemudian, Elfan lalu tersenyum.
"Dasar!" ucap Elfan sembari menyentil kening Mutiara.
"Auuw!" Mutiara mengusap keningnya karena sentilan Elfan.
Kemudian, Elfan menegakkan tubuh Mutiara. Membuat Mutiara membuka matanya bingung. Elfan lalu menjauhkan badannya dari Mutiara dan bertingkah cool.
"Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu menutup mata?" tanya Elfan seolah tidak terjadi apa-apa. Mutiara pun jadi menautkan kedua alis menahan malu.
"Kamu mempermainkanku?!" tanya Mutiara yang rasa kesalnya mulai kembali.
"Mempermainkanmu?" ulang Elfan dengan nada tanya dan menggoda.
Mutiara jadi terdiam karena tidak tahu mau membalas apa. Mutiara lalu menundukkan kepala dan berusaha beradaptasi dengan perasaannya.
"Oh, iya! Kapan kamu mau melamar kerja?" tanya Elfan yang segera mengalihkan dengan pembicaraan yang lain. Mutiara pun terhenyak mendengar pertanyaan Elfan.
"Dari mana kamu tahu?!"
"Tadi malam aku tidak sengaja melihat di ponselmu ada lowongan pekerjaan. Kenapa kamu ingin kerja?" tanya Elfan.
"Tentu saja aku tidak ingin diam terus menerus di dalam rumah! Aku juga ingin melakukan kegiatan!"
"Melakukan kegiatan? Memangnya ada yang mau menerimamu kerja? Kamu kan, lemot sekali kalau diajak bicara?" ujar Elfan sembari menyentil kening Mutiara kedua kali. Mutiara kembali meringis karena sedikit sakit di dahinya.
Setelah berbicara begitu, Elfan segera berbalik kembali. Kemudian ia berjalan menjauhi Mutiara begitu saja. Saat berjalan, Elfan terus tersenyum-senyum sendiri tanpa Mutiara tahu. Sedangkan Mutiara langsung berubah panas.
"Enak saja berbicara begitu! Aku pastikan aku akan mendapatkan pekerjaan secepat mungkin!" seru Mutiara pada Elfan yang sudah jauh darinya.
Mutiara lalu mengigit bibir karena kesal. Nafasnya sudah tidak beraturan. Ia sendiri jadi susah mengatur hatinya. Sebentar luluh, sebentar rapuh dan sebentar bergemuruh. Tapi kali ini, ia sangat marah akibat olokan Elfan tadi.
"Ternyata aku salah! Dia masih saja laki-laki brengs*k yang pernah aku temui!" gerutu Mutiara berbicara sendiri pelan dengan menahan kekesalannya.