Part. 4

1572 Words
Sudah seminggu lebih Retta diantar jemput oleh Alvin. Hubungan mereka pun tampak semakin dekat sekarang. Mereka sering ngobrol dalam chat seperti dahulu lagi. Terkadang Retta sesekali mengomentari status w******p Alvin pun begitu sebaliknya. Kaki Retta sudah berangsur membaik tapi itu tak membuatnya lantas meninggalkan Alvin begitu saja. Ditambah Ibunya selalu saja mengawasi Retta yang ingin berangkat sendiri. Bukan tidak enak pada Alvin, tapi Retta tidak ingin mengulang hal yang sama seperti di Surabaya dengan Theo kekasihnya. Theo selalu saja mengantar jemput Retta kemanapun membuat Retta menjadi bergantung padanya. Dan lama kelamaan Retta pun menyadari bahwa hidupnya jauh dari kata bebas ketika bersama dengan kekasihnya itu. Status mereka hanya berpacaran. Tapi Retta lebih seperti istri bagi Theo. Apa yang Retta lakukan bahkan harus mendapat persetujuan Theo. Dahulu Retta menganggap Theo bersikap seperti itu untuk melindunginya, tapi lama kelamaan Retta muak dengan segala perhatian dan sikap Theo yang over protective padanya. Sudah satu jam Alvin terjebak di ruang rapat. Dengan baterai handphone yang habis pula. Sebuah insiden kecelakaan di jembatan layang yang dibangun perusahaannya membuatnya ikut di cerca oleh atasan. Pihak korban menuntut ganti rugi yang cukup besar meskipun tak sampai ada korban jiwa dalam runtuhnya jembatan itu. Pihak pengembang berdalih memakai semua alat-alat dan bahan – bahan yang berkualitas bagus apalagi jembatan itu belum terlalu lama dibangun. Mereka beralasan kalau faktor cuaca dan pergeseran tanah lah yang membuatnya menjadi rapuh. Sementara pihak atasan yang menerima tuntutan itu masih belum bisa memutuskan jika belum ada bukti apalagi ini menyangkut struktur tanah. Alvin berdiri di tengah rapat yang sedang berlangsung panas, semua mata menatapnya. "Ada apa? Ada yang mau kamu sampaikan?" ucap moderator rapat. Alvin menatap moderator dan pimpinan bergantian. "Saya akan menelusuri lebih lanjut mengenai insiden ini. Jika kita hanya berdebat disini tanpa ada action tak akan ketemu jalan tengahnya. Izinkan saya untuk menelusurinya lebih lanjut. Saya pamit." Ucap Alvin sambil menenteng tas kerjanya yang disampirkan ke bahu. Sesaat dia menimang apakah harus mencharge ponselnya ataukah langsung menjemput Retta di bank? Tak ingin membuang waktu diapun berlari ke parkiran dan mengambil motornya, baru saja keluar gedung, sebuah motor tiba-tiba melaju menyerempetnya. Alvin tak sempat melihat spion sebelumnya. Motor itu pergi begitu saja ketika melihat Alvin tersungkur ke aspal. Petugas security dan beberapa karyawan yang berada disekitaran gedung membantu Alvin mendirikan motor. Beberapa orang misuh-misuh pada penabrak lari tersebut. Tapi Alvin berusaha menenangkan toh dia juga salah karena terlalu terburu-buru. Siku Alvin terluka meskipun tertutup jaket, petugas security berinisiatif untuk mengantar Alvin pulang tapi di tolaknya. Diapun memaksakan diri untuk membawa motor tersebut. Meskipun harus menahan sakit. Sampai depan bank tempat Retta bekerja. Wanita itu nampak sudah menunggu, wajahnya menyiratkan kelelahan wajar saja sudah satu jam dari waktu pulang kantor. Dia pasti sudah sangat bosan duduk disana. Bahkan terlihat dua botol teh manis di dekatnya. "Maaf ya tadi ada rapat dadakan, hape juga mati." Alvin melihat Retta yang mengulaskan senyum terpaksa sambil memakai helmnya. Ya suatu hari ketika pulang kerja Retta meminta Alvin mampir ke sebuah toko helm untuk membelinya yang ternyata malah Alvin membayari helm itu untuknya. "Gak apa-apa, tadi dikira gak bisa jemput." Retta duduk menyamping dan memeluk pinggang Alvin. "Mau makan dulu?" "Langsung pulang aja Vin, udah lengket badan mau mandi." Alvin melajukan motornya dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi karena dia juga harus menahan sakit di sikunya. Bahkan sekarang dia merasa kalau ternyata pergelangan tangannya terluka juga, karena terasa cairan yang membasahi ujung jaketnya. Dia berharap Retta tak melihat darah yang menetes dari tangannya. Ditambah malam ini jadwalnya bermain band, dia harus mengcancelnya karena menabuh drum itu cukup menguras tenaga. "Lo marah?" tanya Alvin melihat Retta yang terdiam di boncengannya tidak secerewet biasanya. Padahal Retta bisa mengoceh apa saja jika dibonceng oleh Alvin. "Enggak Vin, lagi ada masalah aja sedikit." "Di kantor?" "Bukan," Retta menunduk tak ingin air matanya keluar lagi. "Sama Theo?" "Iya. Tapi gue belum bisa cerita sekarang. Gak apa-apa ya." Alvin membuang pandangan ke arah lain memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang sama sepertinya. Apa saja asal tidak melihat guratan sedih diwajah Retta yang diakibatkan pria itu. "Kapanpun lo butuh gue, gue ada disini. Jangan sungkan untuk ngabarin gue." Putus Alvin akhirnya, tak apa dia menjadi pelampiasan amarah Retta, tak apa dia menjadi pendengar setia Retta asal wanita itu mau bicara dan dekat dengannya. Dan Alvin harus menahan egonya sendiri demi bisa bersama Retta. Sepuluh tahun sudah terlalu lama untuk mereka yang menjalani hidup sedari kecil bersama dan menjadi berjauhan. Alvin tak ingin mengulang masa itu lagi, karena merindukan Retta sangat menyakitkan baginya. Setelah memastikan Retta masuk ke rumahnya, Alvin pun memacu kendaraan sampai rumah. Setelah mematikan mesin kendaraannya. Dia duduk di teras depan. Membuka jaketnya pelan pelan dan nampaklah luka di bagian siku dan pergelangan tangan kanannya. Mira yang mendengar suara motor namun tak mendengar suara Alvin masuk pun, keluar dan melihat putranya yang tengah menunduk sambil memegang tangannya yang berdarah. Dia panik dan berteriak hingga seisi rumah keluar. Doni langsung mengambil kotak P3K dan luka itu dibersihkan terlebih dahulu oleh Ibunya. "Kamu kenapa nak bisa luka begini?" "Jatuh tadi disitu." Jawab Alvin tak ingin ibunya tahu bahwa dia memaksakan diri untuk pulang dengan mengendarai sendiri motornya. Beda dengan Varel yang langsung berjalan ke arah motor, memperhatikan motor Alvin. Dia bahkan sempat meraba lecet di motor Alvin. Lalu berjalan kembali ke teras rumah. "Untung motornya gak parah lecetnya," Desis Varel yang terlihat justru lebih mengkhawatirkan motor kakaknya dibanding keadaan Alvin sendiri. Setelah lukanya dibersihkan, Alvin melepas kemeja tangan panjangnya yang sudah robek di bagian lengannya karena bersinggungan dengan aspal. Mira meminta Alvin untuk ke rumah sakit tapi Alvin menolak baginya hanya luka kecil seperti ini tak akan membuat masalah besar. Meskipun dia harus membatalkan manggung, karena tak mau memaksakan menabuh Drum. Retta sudah rapih malam ini, dia mengenakan Rok lebar selutut berbahan denim dengan Tshirt putih dan sweater rajut yang tidak dikancing. Rambutnya diikat setengah dengan bagian bawah yang dibiarkan tergerai. Dandanannya terlihat natural namun tetap berkesan cantik. Melihat motor Alvin yang masih terparkir di depan rumahnya pun membuat Retta melenggangkan kaki ke dalam rumah. Terlihat kedua orangtua Alvin sedang menonton televisi bersama. Hal yang terkadang menjadi mimpi Retta nanti, ketika dia sudah menikah dia ingin menghabiskan banyak waktu bersama, sekedar bersenda gurau atau hanya menonton televisi. Dia juga membayangkan suami yang merangkul bahunya ketika anak-anaknya sedang sibuk mengerjakan PR Seperti orangtua Alvin saat ini. Karena dirumah pemandangan seperti ini sangat jarang terjadi. Ayah Retta yang seorang TNI aktif jarang sekali berada dirumah. Bisa-bisa dalam setahun hanya ada waktu satu sampai dua bulan dia menetap dirumah, itupun biasanya dia akan sibuk mengunjungi beberapa rekan atau acara-acara penting kenegaraan. Terkadang Retta bahkan merasa dia lebih dekat dengan Doni dibandingkan ayahnya yang bersikap keras. Retta tak bisa menyalahkan ayah begitu saja, karena mungkin didikan Ayah yang memang keras sejak kecil karena kakeknya pun pensiunan Tentara. Mungkin itu sebabnya, Ayah Retta membebaskan putrinya untuk kuliah atau bekerja dimanapun sesuai minat mereka. Dahulu ka Elia sempat ingin menjadi polwan tapi ayah melarangnya, karena Ayah tahu ka Elia melakukan itu hanya karena ingin membahagiakan Ayah yang mendambakan kehadiran anak lelaki. Sepertinya itu pula sebabnya Ayah sangat menyayangi anak Elia yang berjenis kelamin laki-laki, meskipun begitu dia justru meminta Elia untuk tidak menyuruh putranya masuk kemiliteran, "jangan ada paksaan. Jika memang dia ingin menjadi anggota militer biarlah itu keinginannya sendiri." Selalu itu yang diucapkan ayah ketika ada kesempatan menimang putra Elia. "Alvin belum berangkat ngeband Ma?" tanya Retta, ibu dan Doni serentak menoleh ke Retta dan saling pandang. "Hmm,, dia tidak ngeband malam ini, kamu tanya saja dia ya, lagi dikamarnya tuh." Jawab Doni seperti menutupi sesuatu. Ya Alvin memang sudah memberitahu sebelumnya untuk tidak menceritakan keadaan sebenarnya pada Retta tak ingin Retta terbebani. Biarlah dia yang akan mengarang sendiri alasan dirinya terluka. "Vin," panggil Retta sambil mendorong pelan pintu kamar Alvin. Terlihat Alvin yang sedang memainkan ponselnya dengan kaki yang diselonjorkan. "Masuk No," jawab Alvin dengan tatapan tak lepas dari ponsel. Retta mencebikkan bibirnya kesal, mau sampai kapan Alvin memanggil dengan nama Retno? "Tangan lo kenapa?" Retta memperhatikan tangan Alvin yang diperban, diapun ikut duduk di ranjang Alvin. "Jatoh tadi pas sampe rumah, kepleset dari motor." Alvin tak bisa menutupi kebohongan dari matanya, karena itu dia memilih memperhatikan Chat group dari teman bandnya yang misuh-misuh karena Alvin tak bisa manggung malam ini, jadi mereka harus mencari pemain pengganti secepatnya. Meskipun mengoceh tidak jelas, tapi Alvin tahu teman-temannya juga menaruh khawatir padanya yang terluka, mereka bahkan ingin langsung menjenguk Alvin namun ditolak mentah-mentah dengan alasan ingin istirahat. Retta mengusap luka ditangan Alvin dengan mata penuh ke khawatiran. Alvin termangu menatap wajah Retta. Tangannya secara tak sadar mengusap pipi Retta membuat Retta mengalihkan pandangan dan menatap matanya. (Flashback) Teringat peristiwa beberapa tahun silam, kala itu Retta baru saja menjadi panitia perpisahan kelas tiga, karena dia merupakan anggota OSIS. Dia mengenakan kebaya fit body dan make up yang cukup cantik. Retta berniat mengembalikan tas dan sepatu milik Mira yang dipinjamnya, namun ternyata ibunya Alvin malah sedang pergi keluar, sehingga dia memutar langkahnya menuju kamar Alvin. Kebetulan Alvin sedang main drum di kamarnya. Alvin memperhatikan Retta dari atas kebawah, Retta yang sekarang nampak sudah dewasa wajar saja umurnya pun sudah tujuh belas tahun ini. "Mama lagi keluar sebentar, tunggu aja disini. Haus gak? Gue ambilin minum ya." Tanya Alvin memberondong tak memberi celah Retta untuk menjawab. Dia seperti terpukau dengan penampilan Retta, tak ingin berlama-lama canggung maka diapun harus pergi dari situ untuk menenangkan degupan jantungnya yang berdebar semakin cepat melihat Retta dengan penampilan seperti ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD