Part. 3

1790 Words
Retta remaja berlari ke kelasnya dengan wajah yang memerah kesal. Dia menelungkupkan wajah diatas meja dan menghentakkan kakinya ke lantai dengan kasar. Kala itu dia berseragam putih biru, masih kelas tiga sekolah menengah pertama. Pemandangan itu tak luput dari perhatian Alvin yang sedang menggerombol di pojok kelas, dia pun pindah duduk ke samping Retta. "Kenapa?" tanya Alvin, Retta mengangkat wajahnya, nampak matanya sudah berair. "Si Gugun, tadi masa ngangkat rok gue. Gue kan malu mana di tangga, depan banyak orang. Banyak yang liat. Iseng sih iseng, tapi ini keterlaluan." Retta menutup wajahnya dan mengusap kasar air yang turun dari sudut matanya. Ya memang pada kala itu anak lelaki yang mungkin masih memasuki masa puber seringkali bercanda seperti itu, dari iseng ngangkat-ngangkat rok cewek sampai meletakkan kaca rautan di sepatu untuk melihat dalaman cewek. Entah karena rasa penasaran atau apa? Yang jelas semua cewek yang diperlakukan seperti itu pasti akan mengutuk mereka. Hanya saja terkadang mereka melakukannya bergerombol dan tidak banyak cewek yang berani melawannya pun dengan Retta. "Yaudah jangan nangis. Cengeng banget sih." Alvin remaja tak tahu bagaimana cara menenangkan wanita yang menangis, yang dia tahu bahwa Retta harus segera berhenti menangis agar tak jadi bahan tontonan seperti sekarang ini. "Alvin nyebelin ish.. udah sana pergi aja deh! Hikz." Retta lagi-lagi mengusap air matanya dan menunduk di meja tak mau mengangkat wajahnya lagi. Alvin meninggalkan Retta. Tangannya mengepal sepanjang perjalanan mencari si Gugun. Gugun memang biang onar, ada saja kelakuan isengnya yang dilakukan ke orang lain. Selama ini Alvin tidak perduli, tapi kali ini Retta yang menjadi korbannya dan dia tidak suka! Ditemui Gugun yang masih tertawa terbahak-bahak dengan teman se-genknya. Alvin segera menarik kerah baju Gugun, dan mendorongnya hingga terbentur dinding tangga. "Woy apa-apan nih!" Sengit Gugun, Alvin kembali mencengkram baju Gugun dan menyudutkannya, tak ada teman se-genk Gugun yang membela, melihat wajah marah Alvin membuat mereka urung membantu Gugun. "Minta maaf sama Retta!!" tegas Alvin, "Oh, gue lupa Retta itu pacar lo ya, yaudah sorry!" ucap Gugun menepis tangan Alvin, nampaknya dia tak ingin meminta maaf pada Retta. Alvin semakin kesal, dia memiringkan lehernya ke kiri dan ke kanan layaknya pemain tinju yang akan bertarung, dan dia juga mengepalkan tangannya. Alvin menarik bahu Gugun yang mulai berjalan menjauhinya, ketika Gugun berbalik didaratkan tinjunya pada rahang Gugun sehingga lelaki itu terjatuh dengan bibir yang berdarah karena pukulan keras dari Alvin. Alvin menunduk, sementara Gugun sudah berbaring di lantai sambil meringis menahan perih dari bibirnya. "Gue sebenernya gak mau lakuin ini, tapi gue gak suka ada orang yang ngerjain Retta kayak lo. Jadi sekarang lo mending bersihin luka lo terus minta maaf sama dia! Atau gue bisa lakuin yang lebih parah dari ini pas pulang sekolah." Tunjuk Alvin di wajah Gugun. Matanya melotot, dia sudah berbalik badan namun kembali lagi ke Gugun yang terlihat ketakutan. "Oiya jangan sekali-kali lo bilang gue yang nyuruh lo. Ngerti!!" diapun berjalan pergi meninggalkan Gugun yang masih tak berdaya. Ketika Alvin kembali ke kelas nampak Retta yang sudah dikerubuti beberapa teman wanitanya yang terlihat menenangkan Retta. Sekilas mereka berdua bertatapan dan Alvin membuang pandangan ke arah lain, menghampiri teman-temannya. Tak berapa lama Gugun datang dan berlutut di depan meja Retta. "Maafin gue yang tadi. Gue janji gak lakuin itu lagi." Gugun mengulurkan tangan depan Retta dengan wajah yang masih menunduk sesekali matanya melirik Alvin yang sudah melotot di pojok ruangan. Retta nampak mempertimbangkannya, beberapa temannya menghasut untuk tak perlu memaafkan saja, tapi beberapa teman lainnya menyuruh Retta memaafkan Gugun apalagi laki-laki itu masih duduk di lantai. "Bangun, gue udah maafin lo!" Ucap Retta namun matanya tak mau melihat ke arah Gugun diapun tak sudi menjabat tangan Gugun. Gugun berterima kasih lalu pergi dari kelas Retta dengan setengah berlari, diiringi sorakan teman-teman wanita Retta. Waktupun berlalu hingga akhirnya perpisahan sekolah pun terjadi. Siswa siswi kelas tiga memakai kebaya buat yang perempuan dan yang lelaki mengenakan setelan jas. Setelah rangkaian acara perpisahan mereka kembali pulang ke rumah masing-masing, Lidia tidak bisa hadir kala itu sehingga Retta didampingi oleh orangtua Alvin, yang mendandaninya pun Mira. Dia masih duduk di kamar Alvin karena kunci rumah ternyata tidak dibawanya, jadi sambil menunggu ibunya pulang, Retta main di rumah Alvin. "Mau ganti baju pake baju gue dulu?" tawar Alvin melihat Retta yang masih mengenakan kebaya, namun Retta menggeleng. "Gak deh, ntar juga nyokap gue pulang, udah sms barusan." Alvin mengganti kemejanya dengan kaos di depan Retta tanpa canggung sedikitpun. Dia keluar kamar untuk mengambil minuman. Alvin kembali dengan membawa dua gelas air mineral dingin, Retta segera menyeruputnya dengan tak lupa mengucapkan terima kasih. "Oiya tadi pas perpisahan Gugun nyamperin gue." Ucap Retta, Alvin yang sedang meneguk air minum pun langsung menurunkan gelasnya dan meletakkan di meja. Wajahnya tegang dia sama sekali tak berharap Gugun membocorkan kalau dia sudah membela Retta. Tengsin! "Dia ngomong apa?" tanya Alvin dengan wajah datar seolah tidak menaruh minat pada apa yang akan diceritakan Retta. "Gak ngomong apa-apa." Retta mengangkat telepon dari ibunya, ternyata Lidia sudah sampai rumah jadi dia bisa segera pulang. Retta pun berpamitan pada Alvin dan menutup pintu kamar Alvin. Baru saja Alvin menghela nafasnya dan mengusap d**a karena takut Retta membicarakan hal itu, Retta sudah kembali dengan menekan gagang pintu, wajahnya melongok ke kamar Alvin dengan senyum yang sumringah. "Gugun bilang, lo mukul dia pas dia ngerjain gue waktu itu. Hehe makasih yaa udah bela gue." Ucap Retta malu-malu, diapun segera meninggalkan Alvin dan keterkejutannya dengan setengah berlari. Dan sejak itu dapat dipastikan perasaan Retta pada Alvin semakin dalam tak hanya cinta monyet atau cinta pertama, karena untuk pertama kalinya dia merasa ada yang laki-laki yang melindunginya. *** "Hubungan lo sama pacar lo gimana? Masih baik kan?" tanya Alvin, saat ini Retta sedang menonton televisi di ruang tengah rumahnya. Alvin yang baru saja selesai mandi memutuskan bermain ke rumah Retta, lagipula sudah lama sekali sepetinya dia tidak menjejakkan kaki kerumah itu. Retta sendiri mengenakan piyama tidur bergambar teddy bear dan tangannya asik memasukkan snack ke mulut, sambil matanya tak lepas menatap program reality show komedi. "Kenapa nanya-nanya?" jawab Retta judes. Dia sedang tak ingin membahas hubungannya dengan Theo saat ini. "Judes banget, sini bagi!" Alvin menarik toples cemilan berperisa keju dari tangan Retta dan mengambilnya lalu mulai menyuapi makanan itu satu persatu. Ketika Retta ingin mengambil juga, toplesnya justru di jauhkan oleh Alvin. Membuat Retta manyun. Dan terpaksa Alvin menyuapi Retta juga. Dengan senang hati Retta membuka mulutnya kapan lagi disuapin cowok cuek macam Alvin. "Pacar lo sendiri gimana kabarnya?" Retta memutar tubuh ke pegangan sofa dan merebahkan diri sementara kakinya diletakkan diatas paha Alvin, tanpa protes berarti dari pria itu. "Ditanya balik nanya, dasar!" sesekali Alvin menyuapi snack itu ke Retta. "Pijitin Vin, pegel gue seharian berdiri." "Udah disuapin, sekarang minta pijitin pula... warbiyazah sekali hidup lo!" sungut Alvin. Alvin memperhatikan noda lebam kebiruan di pergelangan kaki Retta diapun memajukan wajahnya untuk melihat lebih jelas. Sementara Retta masih memusatkan perhatian ke Televisi. Alvin meletakkan toples snack itu di pangkuan Retta. Dan dia menekan tempat lebam tersebut. "Sakit gak?" tanya Alvin. "Enggak, udah biasa lebam begini kalau kelamaan berdiri. Jadi teller tuh ternyata gak mudah Vin. Capek banget. Gue berharap cepet-cepet naik jabatan kerjanya di depan meja kerja aja, gak di depan orang-orang begitu." Retta mendesah pelan, Alvin pun mulai memutar kaki Retta dengan pelan dan cukup lembut. Membuat Retta mengantuk, Sesekali dia menguap. "Ini beneran lebam karena kelamaan berdiri?" Sesekali Alvin memijit bagian betis kaki Retta dan dengan sopannya Retta mulai memejamkan mata. "Enggak juga sih.. hmm iya Vin disitu tuh sakit banget. Jadi tadi gue sempet jatoh pas turun dari bis. Tapi karena ditambah berdiri seharian ya jadi kayak gini, apalagi hari ini banyak banget nasabah." Retta mengaduh ketika Alvin menekan keras bagian yang dibilang sakit oleh Retta. Dia tak jadi tertidur. "Pelan-pelan Vin, ini kaki bukan Drum!" sengit Retta. "Iya maaf." Desis Alvin, "mulai besok bareng gue aja kerjanya daripada jatuh lagi kayak begini." Tambahnya. "Takut ngerepotin ah," Retta kembali memejamkan matanya, mengusir gundah yang tiba-tiba menggelayut di hatinya. Ketika di Surabaya dahulu, dia selalu diantar jemput Theo dan mau tak mau hal itu membuatnya merasa ketergantungan oleh pria itu. Seolah Retta sangat membutuhkan Theo dan tidak bisa hidup tanpanya, Theo yang memanjakannya sekaligus menyakitinya. Theo yang... ah Retta selalu ingin menangis mengingat perlakuan Theo padanya. Tapi kali ini dia tak ingin membiarkan air mata lolos dari matanya, setidaknya dia tak ingin Alvin tahu masalah yang dialaminya. Sekarang belum waktunya dia terbuka dengan sahabat sejak kecil sekaligus cinta pertamanya itu. Dia hanya ingin menikmati masa-masa seperti sekarang ini, dimana dirinya dan Alvin bisa dekat tanpa ada kecanggungan. Dan dia sangat menyukai hal ini, hal yang mungkin nanti tak akan bisa terulang lagi. "Tidur dikamar Retno!" Alvin mengacak poni Retta yang menutupi sebagian wajahnya. "Gendong Vin, masih sakit nih kakinya buat jalan." Alvin mencebikkan bibirnya, dia memindahkan kaki Retta ke sofa dan berjongkok di bawah. "Cepetan, lo kan berat gendong belakang aja hayo," Retta tersenyum lebar dan meloncat ke punggung Alvin di peluknya leher Alvin dari belakang, terhirup olehnya aroma sabun yang menguar dari tubuh Alvin, Alvin berdiri dan memegang kaki Retta, dia tak sampai hati jika melingkarkan tangan di belakang tubuhnya yang memungkinkan menyentuh b****g Retta. Lidia keluar dari kamar dan menggeleng melihat kelakuan putrinya. "Kalian nih kayak anak kecil aja main gendong-gendongan seperti itu." Lidia membuka pintu kamar Retta dan membiarkan Alvin masuk ke kamar itu. "Masih sakit kakinya mah," "Lagi kumat manjanya budeh," Imbuh Alvin sambil menurunkan Retta ke tempat tidur. "Makanya nak, besok bareng nak Alvin aja berangkat kerjanya, jadi gak usah pakai terjatuh begitu di bis. Kalian searah juga kan?" Lidia masih berdiri di depan pintu kamar Retta. Kamar Retta lebih besar dari ukuran kamar Alvin, kasurnya berukuran Queen size. Dengan cat berwarna coklat dan beberapa furniture berwarna putih yang memberi kesan luas. Dia memang tidak suka berantakan dan melihat benda-benda yang berceceran, karena itu di sepanjang kamarnya banyak terdapat laci-laci yang berfungsi untuk meletakkan berbagai benda pernak-pernik milik perempuan. Ketika dia di surabaya pun kamar itu tidak ditempati oleh kakaknya yang memang tinggal disitu. Jadi tidak terlalu banyak perubahan sejak SMA hanya catnya saja yang berubah, jika dulu dia menggunakan warna biru dan pink untuk kamarnya. Kini dia menggunakan warna-warna pastel. Alvin menurunkan Retta dari punggungnya ke atas kasur, sementara setelah mengoceh, Lidia memilih pergi meninggalkan mereka berdua. Dia tahu sejak kecil Alvin dan Retta memang sering bermain bersama jadi percaya saja pada mereka yang berada dalam satu kamar seperti sekarang ini. Terakhir Alvin masuk ke kamar ini sepertinya ketika mereka SMP itupun karena mengerjakan tugas bersama. Alvin tak terlalu suka berada di kamar perempuan. Tidak seperti Retta yang bahkan sering tertidur di kamar Alvin dulu ketika terpaksa dititipkan oleh ibunya. Retta menarik selimut, matanya nampak mengantuk sekali. Alvin pun paham dia segera undur diri setelah memastikan bahwa besok akan berangkat kerja bersama Retta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD