1. Pertemuan

1525 Words
1. Pertemuan Bidadari itu datang menghampiri, Tanpa sayap, Hanya membawa sebongkah hati penuh duri. --- "Anna! Anna! Keluar atau ku dobrak pintu ini!" Teriakkan itu, memekakan, memecah hening sore yang mulai kelam. Anna hanya mampu menelan ludah susah payah. Merunduk menyembunyikan tubuh kecilnya di belakang tempat sampah. Dia menatap nanar rumah kecil bercat pudar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Rumah yang menjadi incaran tiga pria bertubuh kekar berpakaian serba hitam. Beruntung, Anna pulang sedikit terlambat, sehingga sebelum dia sampai di rumah, dia lebih dulu tahu keadaan rumahnya.Memang sudah hal biasa rumahnya didatangi preman-preman itu, sejak beberapa bulan lalu. Menagih pembayaran hutangnya. "Aku tunggu sampai besok. Jika kamu belum juga membayar, jangan salahkan kami rumah ini luluh lantak." pria bertubuh paling besar dari dua lainnya berbicara sendiri. Seolah tahu, sang pemilik rumah memang berada di dalam. Tak berapa lama, ketiga laki-laki itu meninggalkan rumah Anna, yang sontak membuat gadis itu menghela napas lega. Sore ini dia tertolong. Entah hari esok, dia tidak tahu. Preman-preman itu, sungguh tak punya malu, menagih hutang pada gadis belia yang bahkan belum lulus kuliah. Tetangga sekitarnya, tidak begitu peduli. Memilih menghindari dari pada mendapat masalah karena ikut campur. Dulu, pernah ada yang menolongnya dengan menantang preman-preman itu. Dan yang terjadi, bogem mentah diterima cuma-cuma. Setelah ketiga pria itu berjalan menjauh dan hilang di belokan gang. Anna keluar dari tempat persembunyian dengan usapan di dadanya. Merasa terselamatkan hari ini. Dia belum memiliki uang, sehingga memilih bersembunyi dari pada habis di maki-maki. Hari ini adalah tanggal tenggat waktu cicilan hutangnya. Hutang menumpuk yang entah dipakai siapa dan untuk apa. Yang jelas, hutang-hutang itu dilimpahkan pada neneknya. Dan setelah neneknya tiada, otomatis tanggungan itu jatuh padanya. "Harus berapa lama lagi aku hidup seperti ini," keluh Anna, mengusap peluh di dahinya. Dia melangkah lelah menuju rumah reotnya yang kalau hujan akan ada beberapa titik yang mengalami kebocoran. Jangankan untuk memperbaiki. Untuk makan saja, dia harus super irit. Hutangnya masih menggunung dan gaji kerja sampingan hanya cukup untuk membayar cicilan tiap bulan. "Atau, aku kabur saja." Pemikiran itu, seringkali terlintas di benaknya. Namun, tak pernah sekalipun Anna melancarkan aksinya. Terlalu takut, bahwa ke mana pun dia pergi, dirinya tetap akan ditemukan preman-preman itu. Andai, dia tak hidup sendirian, mungkin segalanya tidak sampai seperti ini. *** "Mereka datang lagi ke rumahmu?" Anna mengangguk lelah. Sedangkan wanita yang tadi bertanya padanya menatap prihatin. "Gajian masih lama, uang simpanan aku pakai buat ngurus tugas kampus," Hidup sendirian, yang kata banyak orang indah adalah pernyataan bullshit. Kenyataannya tidak bagi Anna, dia harus selalu waspada, bahkan mengambil resiko besar hanya untuk tetap bertahan. "Kamu nggak coba pinjam bos saja," Lia menyarankan. Dia sendiri ingin membantu, namun, perekonomiannya pun tak jauh berbeda dengan Anna. Anna menghela napas, "Aku udah banyak merepotkan bos," desahnya. Setahun lebih bekerja di club itu, Anna mendapat banyak perhatian dan keistimewaan lebih dari lainnya. Dia tidak bekerja sampai pagi menjelang, hanya sampai tengah malam, karena pagi harinya dia kuliah. Sedangkan yang lain, dari mulai tenggelam matahari sampai dini hari. Anna mengelap meja bundar dan membereskan gelas-gelas beserta botol minuman yang telah kosong. Tandas tak bersisa. Tadinya, meja itu, ditempati sepasang kekasih atau bukan. Entahlah, Anna tidak tahu, karena yang pasti mereka sudah berpindah ke ruang yang lebih private. Menghabiskan malam panas bersama. Bagi Anna, pemandangan seperti itu adalah familiar. Lihat saja, di setiap sudut sofa, pasti ada sepasang manusia, bahkan lebih dari sepasang, yang saling b******u. Berada di bawah pengaruh alkohol. Dan Anna menggenggam resiko itu. Kuat-kuat. Bukan hal tidak mungkin, jika dia pun dipandang semurahan itu. "Kamu kosong malam ini?" Seorang laki-laki, kisaran usia 40-an mencegah langkah Anna kembali ke pantry. "Mau menemaniku malam ini, berapapun kamu mau akan ku berikan," ucap lelaki itu, masih mencekal lengan Anna. Anna melirik tanpa minat, selalu terulang hal yang sama. Tawaran penuh bujuk dan rayu. Namun, berapa kali pun Anna mendapat tawaran yang nampaknya menggiurkan itu, dia memilih menolak. "Maaf Tuan, saya hanya tukang bersih-bersih di sini." tanpa senyuman sedikitpun, Anna melepas cekalan lelaki itu kemudian berlalu pergi. Jika Anna mau, karena tekanan hidup yang begitu mendesak. Mungkin, hutangnya bisa dilunasi. Namun, hati kecilnya menjerit. Memberontak. Bahwa harga dirinya tidak semurahan pekerjaannya. Sudah cukup baginya, mendapat predikat murahan dari beberapa orang karena pekerjaannya. Karena hanya pekerjaan ini yang ia mampu. Jam kerja sedikit dengan uang yang lumayan untuk menutup hutang. "Kamu sudah mau pulang?" tanya Lia, setibanya Anna di pantry. "Iya, udah lewat tengah malam," sahut Anna sembari membereskan sisa pekerjaannya malam ini. Lia sendiri biasanya pulang lewat pukul tiga pagi. Tentunya uang yang didapat lebih besar, apalagi Lia sesekali melayani pelanggan. Sekadar menemani minum atau menjadi pelampiasan lelaki hidung belang. "Kamu tidak meminta uang pada bos?" tanya Lia lagi, mengingat obrolan mereka tadi. "Bos nggak di tempat." Anna melenguh. Melepas celemek hitam yang menggantung di pinggangnya kemudian melipatnya rapi. Lia berjalan mendekat, mengusap sebelah bahu Anna. "Sori Ann, aku nggak bisa bantu." Anna tersenyum, pengertian. Ini masalahnya sendiri, dan dia tak berniat membebani orang lain. "Tapi, kalau kamu mau ... kamu bisa melayani pelanggan agar cepat mendapat uang." Mendelik. Anna memundurkan tubuhnya. Untuk satu pernyataan itu, dia sungguh tak ingin menyinggung. Terlalu sensitif. "Maaf Li, aku nggak bisa. Lebih baik aku terus-terusan sembunyi." Setelah mengatakan itu, Anna pamit pulang. Keluar dari club dengan tampilannya yang menyerupai lelaki. Meninggalkan Lia yang berdiri mematung. Wanita itu tahu, dia salah berucap. *** Hampir pukul satu malam, Anna menyusuri jalan gelap menuju rumahnya. Sepinya malam, membuat ia semakin waspada. Dia masih wanita meski tampilannya saat ini mirip lelaki. Jeans belel dengan bagian lutut sobek, jaket hitam dan topi yang menyembunyikan rambut hitam sepunggungnya. Sebuah ransel dekil tak lupa melekat di punggungnya. Sedang menikmati keheningan yang lambat laun terasa mencekam, tiba-tiba Anna dikejutkan suara meminta tolong. Anna menghentikan langkah seketika.  Memasang sikap siap menyerang. Namun, sekali lagi dia mendengar rintihan meminta tolong. Bulu kuduk Anna meremang, lebih satu tahun dia menjalani rutinitas pulang tengah malam, namun tak pernah sekalipun mendapati hal seperti ini. Dia sudah bersiap-siap untuk berlari. Jarak rumahnya dengan dia berdiri sekarang, kurang lebih seratus lima puluh meteran. Jika dia bisa berlari dengan kecepatan penuh, tidak sampai tiga menit dia sudah tiba di rumahnya. Namun, siluet seseorang di dekat tiang listrik membuatnya tersentak kaget. Butuh beberapa saat bagi dia memperjelas penglihatannya. Manusia kah? Atau makhluk dunia lain. Dengan keberanian tak seberapa, Anna melangkah maju, mendekati siluet itu. Hati kecilnya membisik untuk memastikan, bukan malah memilih kabur. "Manusia yah," desah Anna lega. Di depannya, seorang laki-laki tengah bersandar di tiang listrik dengan posisi meringkuk. Dia hampir mengukir senyuman kala kepala lelaki itu mendongak, membalas tatapannya. Namun, belum sempat Anna menarik sudut bibirnya, dia sudah lebih dulu menjerit. "Astaga! Anda terluka," Anna mendekat, merendahkan tubuh untuk semakin jelas melihat bola mata lelaki itu yang menyorot dirinya penuh harap. Sebelah wajah lelaki itu penuh goresan, seperti baru saja berciuman mesra dengan kerasnya aspal jalanan. Sedangkan, lengan yang dibalut jaket denim itu tampak terkoyak sebagian, menampilkan kulit dengan luka menganga. "Tolong ...." pinta lelaki itu, masih dengan wajah memelas penuh harap, juga ekspresi menahan sakit. "Saya harus bagaimana? Anda bukan orang jahat kan?" panik Anna. Dia menolehkan kepala kanan kiri mencari seseorang yang mungkin bisa membantu, selain dirinya. Sayangnya, gang depan rumahnya terkenal gelap dan sepi, jadi sangat jarang ada orang yang tengah malam melintas. Decapan lirih, terdengar dari cela bibir lelaki itu, yang membuat Anna mengerjap tak percaya. "Saya dibegal. Dan apa dari penampilan saya, saya nampak seperti orang jahat." Anna tak kuasa untuk tidak mendengkus. Lelaki di depannya belagu sekali. "Niat ditolong tidak sih?" akhirnya, dia naik pitam sendiri. Lelaki itu meringis. Meluruhkan raut wajah yang sempat sebal tadi. "Maaf, tolong antar saya ke klinik terdekat." Anna mengatupkan bibirnya, memindai tubuh lelaki di hadapannya lebih seksama. Lelaki itu, tampak berantakan sekali. "Tidak ada klinik di dekat sini," ucap Anna mengerutkan dahi. Jarak klinik yang paling bisa dijangkau lebih dari satu kilometer. Dan tidak ada angkutan umum tengah malam. "Anda bisa jalan sendiri?" lanjutnya bertanya. Lelaki itu mencoba berdiri, namun, belum tegak tubuhnya, ia sudah terhuyung, yang membuat Anna segera mendekat, meraih lengan lelaki itu. Anna memutuskan akan membawa pulang lelaki itu ke rumahnya. Ditinggalkan di jalan, bisa-bisa esok paginya lelaki itu sudah tak bernyawa. Menjadi makanan empuk preman-preman mabuk atau anjing jalanan. Bukan perkara mudah bagi Anna memapah lelaki asing itu. Tubuh lelaki itu cukup besar, dan tinggi. Mereka berjalan terseok-seok, sesekali berhenti sejenak. Mengambil napas, dan membenarkan letak lengan yang melingkar di bahu Anna. "Aku Bara, kamu?" Anna melirik lewat sudut matanya, suara lelaki itu sedikit lebih enak didengar. "Anna," Bara tersenyum, semakin lekat menatap wajah wanita yang tampak terengah memapahnya. "Terima kasih Anna," Tak ada sahutan. Anna fokus mengerahkan tenaga. Sedikit lagi sampai. Namun dia serasa ingin pingsan. Berat sekali tubuh lelaki yang dia tolong. Dan saat tiba di depan pintu rumahnya, Anna segera mendudukan Bara di kursi depan rumahnya. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. Sebelum akhirnya merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Anna lebih dulu masuk, menyalakan lampu depan dan ruang tamu. Barulah dia kembali ke hadapan Bara untuk memindahkan lelaki itu ke dalam rumah. Gadis itu tidak menyadari, jika tindakan sembrononya membawa orang asing ke rumahnya, menyulut percikan cahaya untuk hidupnya yang belakangan ini kelam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD