2. Sebuah nama

1713 Words
2. Sebuah Nama Bukan pengeran berkuda putih, Hanya seorang lelaki malang yang meminta pertolongan. --- Anna sedang mengobati luka Bara dengan bibir yang sesekali meringis. Lelaki itu bercerita, jika seseorang menyabet lengannya dengan parang dari arah berlawanan, kemudian menendang motornya yang melaju tidak stabil. Bara terjatuh dan salah satu kakinya tertindih badan motor. Belum cukup sampai di situ, dua orang pelaku pembegal itu melayangkan tendangan ke wajah dan tubuh Bara berulangkali. Barulah setelahnya membawa pergi motor Bara. Meninggalkan Bara yang pura-pura mati. Mungkin, jika tidak pura-pura mati, Bara sudah mati sungguhan. Miris bukan? Dunia saat ini memang semakin kejam saja. Orang tak bersalah menjadi sasaran, hanya untuk memenuhi nafsu duniawi. Ego dan keinginan untuk memiliki namun tanpa berusaha. Jika bisa bekerja, kenapa harus menyakiti orang dengan merampas yang bukan haknya. Tidak memiliki hati, tak apa, namun setidaknya ada empati pada sesama manusia. Sesama makhluk sosial yang harusnya saling menghargai, bukan malah saling membunuh. Namun, semakin ke sini, ada beberapa yang justru bahagia dengan penderitaan sesamanya. Tertawa melihat si korban tak berdaya, seolah apa yang dilakukan adalah perbuatan superhero menyelamatkan dunia. Tch, itu adalah kebiadaban. Yah memang, kasus Bara hanya satu dari sekian puluh bahkan ratusan kasus lain di kota besar ini. Geram karena hal itu, Anna tanpa sengaja menekan luka lebam di tulang pipi Bara. "Shhh, pelan-pelan," Bara meringis, melirik wajah Anna yang merasa bersalah. Anna menggumam maaf, dan kembali menyelesaikan acara mengobatinya. Begitu fokus, hingga tidak menyadari mata Bara menusuk tajam rona wajahnya. "Anna," "Hm," Anna mendongak, bertemu tatap dengan manik mata Bara yang begitu dekat. Hitam kecoklatan namun tampak kelam. Menghanyutkan. Bagaimana itu? Yah, sejujurnya Anna tak bisa mendeskripsikannya. "Apa namamu hanya Anna?" Tak mengerti, gadis itu justru mengerutkan dahi. "Namaku Gema Bhatara," Membulatkan bibirnya, Anna menganggukan kepala. "Sudah kenalan kan tadi," sahutnya. Setelah bercerita tentang tragedi p********n dirinya, Bara memang meminta untuk tak lagi bicara terlalu formal. Bara mendesah, salahnya dia yang hanya memperkenalkan nama panggilan diawal tadi. "Iya, tapi aku ingin tahu namamu?" Anna tersenyum, sebuah senyuman yang mampu membius kesadaran Bara. Oh, laki-laki itu menjadi ragu, dia terkena musibah atau kejatuhan bintang. Karena nampaknya, sedikit banyak, dia mulai bersyukur. "Namaku tak semenakjubkan namamu Kak," Sampai beberapa detik, Bara yakin napasnya terhenti. Dia melupakan rasa sakit yang mendera hampir sekujur tubuhnya. Digantikan dengan desir darah yang mengalir begitu cepat. Ya Tuhan. Gadis di hadapannya mungkin masih usia belasan tahun. "Kenapa tidak, semua nama itu bagus. Jadi ...." Bara sengaja menjeda, memberi waktu bagi Anna untuk membalas tanyanya. Anna menghela napas, menekan luka Bara di tulang pipi dengan begitu lembut. "Defianna Mentari," sebutnya, lirih. Bara termangu, terpesona bukan sekadar karena wajah, senyuman, atau pun ketulusan. Namun juga karena sebuah nama. "Bagaimana?" tanya Anna, ketika Bara justru tak kunjung bersuara. Mengomentari atau apalah itu. Tersadar, Bara mendecap. "Wow," setelahnya, dia mengutuk. Bagaimana bisa dipertemuan pertama, dia sudah dibuat gugup oleh gadis yang dia taksir usia belasan ini. "Wow?" kernyit Anna. "Yah, Wow. Namamu indah dan menakjubkan," Tersipu sesaat, Anna menggeleng. "Kakak berlebihan," ujarnya. Karena sampai detik sebelum Bara memuji, tak ada orang yang memuji namanya. Dan bagi dirinya pun, nama itu biasa saja. Sederhana. Dia bahkan sempat ingin mengganti nama dulu, mengingat jika nama itu adalah pemberian kedua orang tuanya. Anna tidak suka. Karena setiap mengingat. Setiap itu pula dia tidak pernah ingin menjadi seorang Anna. Menyimpan senyuman, Bara tak lagi bertanya apapun. Dia hanya menikmati momen Anna mengobati lukanya. Dari wajah, lengan dan kaki kanannya. Sesekali dia pun mengedarkan pandangan pada rumah sederhana yang tampak tua. Cat di dalan rumah, tidak jauh beda dengan yang di luar, sama-sama telah memudar, seolah menunjukkan betapa tuanya umur rumah itu. Hingga dia tersadar akan sesuatu. "Kamu tinggal sendiri?" Anna mendongak, mengalihkan tatapan dari luka di kaki kanan Bara. Luka gores yang tampak dalam dan lebar. Akibat tertindih badan motor. "Sampai saat ini aku sendirian. Kenapa?" Bara sedikit berjengit. "Sungguh?" Memicing, Anna melempar tatapan tajam. Waspada. Sesaat mengutuk kebodohan karena membawa orang asing ke rumah. "Kakak orang jahat yah?" Sebelum menjawab, Bara lebih dulu terkekeh pelan. "Aku orang baik. Percaya deh." ujarnya, sembari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Jaminannya?" Bara mengernyit. Lalu mengukir seringai tipis. "Jaminannya diriku. Bagaimana?" Anna mendesah. Dia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. Dia belum sempat memejamkan mata seharian ini. "Itu bukan jaminan Kak." dengkusnya. Selesai mengikat luka di kaki Bara dengan perban. Anna membereskan peralatan mengobatinya. Beruntung, dia masih memiliki sedikit obat. "Apa ada luka lain?" tanya Anna, memindai tubuh Bara. Bara menimbang, bagian punggung dan perutnya masih terasa nyeri sampai saat ini. Yang ia yakini pasti meninggalkan luka lebam. "Ada, tapi kamu cukup menyiapkan air hangat untukku," Anna menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa?" "Dan handuk kecil jika ada. Aku ingin mengompres beberapa luka." Tidak membantah, Anna berjalan ke dapur. Mengambil baskom kecil beserta air hangat dan handuk kecil. Dia meletakkan peralatan itu di meja, dan duduk menunggu. "Kamu bisa masuk kamar saja," pinta Bara, meringis kecil. "Memang kenapa? Luka di mana lagi sih?" Anna geregetan karena Bara berbelit-belit. Jika masih ada luka, ya, biarkan dia yang membantu mengobati. Bara menggerakan bahunya. Dia sadar ada beberapa pukulan yang di terima tubuh bagian belakangnya. Dia cukup bersyukur, masih dalam kesadaran penuh sehingga bisa menepi mencari bantuan. Anna yang mengerti arah gerakan Bara tak lagi bertanya banyak. Bungkam karena paham letak luka itu. "Tapi, Kakak mana bisa mengobati," Anna menggumam, ragu jika Bara bisa mengobati luka di punggungnya sendirian. "Biar aku saja." Bara mengerling. "Kamu yakin?" Mengetatkan rahangnya, Anna mendesis. "Jika Kakak berbuat macam-macam, aku pukul pakai kursi." Terkekeh. Bara mengulurkan tangan, berusaha menyahut baskom air hangat. Namun, tangannya justru ditepis. "Ayo, buka baju Kakak." Anna harap, dia tidak mengambil tindakan salah. Di mana pun tempat, bukankah menolong seseorang adalah hal baik. Bara menyerah. Dia melepas kaus oblong nya, menampilkan punggung tegap dengan luka membiru hampir memenuhi punggung. Tidak berbeda dengan yang di punggung, di bagian perut pun sama. Ada beberapa luka di sana. Anna mendelik. Bukan terpesona, namun iba. Bagaimana bisa ada seseorang yang sampai sebiadab itu. Sama sekali tidak saling mengenal namun tega menganiaya. Tanpa mengatakan apa pun, Anna mendekat, memeras handuk di baskom air hangat dan mulai mengompres lebam di punggung Bara. Tangannya kali ini bergetar, hati-hati. Sesekali jemarinya menyentuh lembut kulit punggung Bara. Tidak membuatnya tersentak, namun mengalirkan sengatan kecil di tubuh Bara. Beberapa saat hanya ada hening. Hingga Bara merasa jemari Anna menjauh, barulah ia menyela. "Bagian depan biar aku saja, Anna." Dia lelaki dewasa, dengan feromon tinggi. Membiarkan seorang gadis menyentuh kulitnya, meski itu dalam keadaan terluka, Bara tidak yakin pada dirinya sendiri. Anna mengerti, dia meletakan handuk ke dalam baskom, dan sedikit menjauh. Memberi ruang gerak pada Bara. "Kakak tidak punya saudara di sini?" tanya Anna. Dia beranjak dari duduknya, hendak membereskan kamar neneknya, yang lama tidak dia tempati untuk dipakai Bara beristirahat nantinya. "Tidak." sahut Bara. Karena kedatangannya ke Jakarta adalah satu hal tak terduga. Sejujurnya dia tanpa tujuan. Hanya mengikuti gerak roda motornya melaju. Sampai lelah, sampai dia bosan dan akhirnya memutuskan berhenti. Dan takdir membuat dia berhenti di sini. Di paksa berhenti. "Lho, memang Kakak berasal dari mana?" Anna kembali bertanya. Ingin tahu. "Bali," Bara menyahut lesu. Sesekali meringis, ketika luka tepat di ulu hatinya di usap sedikit keras. Gerakan kaki Anna terhenti seketika. Dia menolehkan kepala dengan raut terkejut. Tidak menduga jika lelaki yang ditolongnya berasal dari tempat yang begitu jauh. Bahkan, belum pernah dia kunjungi. Anna kira, nama Bhatara tidak serta merta dimiliki oleh lelaki yang berasal dari pulau Dewata. "Jadi, boleh aku tinggal di sini, sementara waktu." pinta Bara, entah kenapa dia begitu ingin tinggal di rumah reot itu. Anna mengerjap, ingin mengiyakan, tapi pikir-pikir lebih dulu. Namun, nalurinya sebagai manusia membuat dia iba. Dan akhirnya mengiyakan dengan setengah hati. Setengahnya lagi masih waspada, menimbang-nimbang, akankah membawa keuntungan baginya, atau justru membuat perekonomiannya tambah terpuruk karena menampung satu jiwa lain. "Aku akan menyewa kamarmu dan menjamin kehidupanmu selama aku tinggal di sini." Seolah ada angin segar. Mata Anna berbinar bahagia, tak lagi berpikir macam-macam dan segera membereskan kamar neneknya. Hingga semuanya beres, barulah Anna sadar akan satu hal. "Memang, Kakak masih punya uang?" Bara terkekeh. Dia yang sesaat tadi hampir terlelap, tiba-tiba kembali terjaga. "Motorku yang dibawa, dompet masih ada, Anna." *** "Kamu percaya begitu saja pada lelaki itu?" Nuri, sahabat Anna memekik tak percaya mendengar penuturan Anna. Pasalnya, Anna dengan mudah membawa laki-laki asing ke dalam rumah, menyediakan tempat tinggal. Tanpa lebih dulu memperkirakan dampak buruknya. "Bagaimana jika laki-laki itu perampok?" pekik Nuri lagi. Anna menghela napas, merasa jika usahanya menceritakan tentang Bara pada Nuri adalah hal salah. "Nggak ada barang berharga di rumah, paling kulkas butut sama terlevisi yang banyak semutnya." "Kalau dia oknum penjual manusia bagaimana? Kamu diperdaya lalu diculik, setelahnya menjual organ tubuhmu." Untuk satu pernyataan itu, Anna mempertimbangkannya juga. Semalam, bahkan sampai pagi tadi, dia tidak memikirkan hal itu. Tidak sampai sejauh itu. "Tapi, dia sewa loh Nu di rumahku." bela Anna, mengingat bagaimana ia begitu berbinar, menerima sepuluh lembar uang seratus ribuan dari Bara semalam. Nuri mendesis. "Kamu terbuai karena beberapa lembar, sedangkan dia bisa mendapatkan satu milyar untuk organ tubuhmu yang nantinya dijual." Anna cemberut. Sahabatnya hanya membuat dia semakin parno, bukannya memberi saran. Atau apalah lainnya. "Nanti kamu usir aja sampai rumah. Itu kalo rumah kamu masih utuh, nggak digarong." kikik Nuri, menikmati tindakannya menakut-nakuti. Tapi jujur, dia memang khawatir pada Anna. Saat dia tahu Anna bekerja di kelab malam saja, dia melarang sejadi-jadinya. Tapi, apalah daya jika uang yang berbicara. Karena dia sendiri juga tak berlimpahan harta, jadi hal yang tidak mungkin untuk membantu Anna dalam perekonomian. "Ya Tuhan. Ucapan itu do'a Nuri," Nuri menghentikan kikikan lirihnya, berganti dengan usapan lembut di bahu Anna. "Sori, bercanda. Tapi jujur, lebih dari apapun, aku bangga," "Ha?" "Dalam kesusahan aja kamu masih sempet mikirin orang lain, orang asing untuk kamu tolong. Yang bahkan kamu tidak tahu wajah aslinya. Entah sungguhan orang baik atau sebaliknya." Anna mengukir senyuman tipis. Inilah sahabatnya, salah satu orang yang selalu ada untuk mendukungnya. Membesarkan hatinya ketika dia ingin menyerah pada dunia. Tidak jarang, karena terlalu lelah pada hidup yang semakin rumit. Anna ingin pergi saja. Bukan untuk sementara namun selamanya. Namun Nuri, gadis cerdas berkacamata itu mengajarkan dirinya arti hidup yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin Anna akan menyerah ketika ternyata dia tidak sendiri di dunia ini. Setidaknya ada Nuri yang selalu mendukungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD