4. Dikejar preman

1534 Words
4. Di Kejar Preman Hei, ingin dengar satu fakta, Bersamamu, selelah apapun aku tetap bahagia. --- Anna menggenggam bolpoinnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya tengah menutup bibirnya yang menguap. Dia sudah menguap untuk yang entah ke berapa kali, sejak beberapa menit yang lalu. Kantuk menyerangnya tanpa permisi. Padahal tugas kampus masih menumpuk. Menyerah. Anna menyingkirkan lembaran kertasnya, kemudian memejamkan mata dengan kepala bertumpu di atas lengan. Sepulang kerja semalam, dia hanya memejamkan mata sekitar tiga jam. "Kamu selalu ketiduran," seorang laki-laki datang mendekat, menyampirkan jaket ke tubuh Anna. Setelahnya, bukannya pergi, dia justru mengambil tempat duduk di sebelah Anna. Memandangi wajah gadis itu dalam keterpesonaan tak terbantah. Sudah lebih tiga bulan dia mengejar, namun Anna selalu lebih cepat berlari. Menghindar. Sayangnya, untuk sore ini, dia tidak bisa menikmati wajah lelap Anna lebih lama, karena gadis itu sudah mulai mengerjap, dan membuka mata. "Sandi," panggil Anna, dia segera duduk tegap. Membuat jaket Sandi melorot jatuh. "Uhh, aku ketiduran lagi," gumamnya sembari mengucek mata. "Sudah biasa kan," Sandi mengukir senyuman. Dua lengannya bersedekap di depan d**a. Anna mendengkus. Tidak terima, meski itu kenyataan. Memang, hampir tiap hari dia menyempatkan tidur beberapa saat. "Jam berapa sekarang?" "Jam empat lebih sepuluh menit." sebut Sandi, melirik jam tangan bermerk miliknya. Anna melonjak kaget. Dia kelewatan. Dengan segera, dia merapikan lembar kerjanya di atas meja kemudian memasukannya ke dalam tas. "Aku pulang dulu," pamit Anna beranjak dari duduknya dengan mendekap beberapa buku. "Kamu mau pulang? Kenapa buru-buru," Sandi mengikuti Anna keluar perpustakan. Padahal dia ingin mengajak Anna makan sesuatu nantinya. Sekadar cemilan agar lebih banyak mengobrol. Anna tak melambatkan langkah, dia sudah kesorean. Mungkin saja, seseorang di rumahnya mati kelaparan karena tidak dia sediakan makanan yang cukup. Tapi, Bara bisa beli makanan di luar. Hal itu tidak cukup melegakan. Anna ingat, dia kembali meninggalkan memo, meminta Bara untuk tidak keluar rumah. "Anna, aku antar pulang?" Anna melambaikan sebelah tangan, menoleh ke arah Sandi dan mengukir senyuman. "Thanks San, tapi aku buru-buru. Mungkin, lain kali." Setelahnya, Anna berlari kecil, mengejar bus yang hendak berangkat dari pemberhentian. Untuk kali yang entah ke berapa. Sandi hanya berdiri mematung, menghela napas karena sekali lagi ditolak. "Yah ... mungkin lain kali," desah Sandi, tak sedikitpun meluruhkan harap. *** Bara keluar rumah, berjalan pelan ke arah mini market di ujung gang. Tepat di depan jalan raya. Dia mengambil beberapa bungkus mie instan, roti, peralatan mandi dan makanan ringan lain. Satu kantong plastik besar, ia tenteng keluar mini market dengan satu tangan yang tidak terluka. Sebelum kembali ke rumah, Bara menyempatkan diri mampir ke apotek, untuk membeli salep, antiseptik dan juga perban. Untuk kali pertama, dia keluar rumah Anna, melihat dengan lebih jelas kejadian perkara p********n dirinya. Jaraknya mungkin kurang dari tiga ratus meter dari tempatnya berdiri, tepat di atas jembatan. Pusatnya sepi ketika malam datang. Membuat aksi kejahatan semakin leluasa di sana. Bara menghela napas, bukankah ada hikmah di balik musibah. Dan dia mendapatkannya, dari seorang gadis. "Kakak di sini," Bara menoleh, tersenyum samar melihat Anna yang tampak terkejut mendapati dirinya. Tanpa menjawab, dia mengangkat kantong plastik di tangannya. Anna gelisah. Dia baru saja turun dari bus, ketika mendapati sosok laki-laki yang dikenalnya berjalan sendiri. "Harusnya, nunggu aku pulang," desahnya. "Kalau kamu pulang malam lagi, yang ada aku kelaparan." Anna tidak bisa memungkiri, yang dikatakan Bara memang benar adanya. Dia hanya meninggalkan sekotak nasi, bagian makan malamnya dari kelab malam. Sedangkan di rumah tidak ada bahan makanan apapun yang tersisa. "Ya sudah, biar aku bawa," tawar Anna, menilik tangan Bara yang masih terluka. "Nggak pa-pa, aku masih bisa bawa sendiri. Yang terluka kan satu tangan." Tak ingin mendebat, Anna mengiyakan. Beberapa meter dari rumahnya, Anna segera menghentikan langkah. Menyadari ada tamu tak diundang yang bertandang ke rumahnya. Mencekal lengan Bara. Anna sedikit menepikan tubuh, berharap tiga preman yang tidak bosan ke rumahnya itu tak menyadari. Namun nahasnya, satu di antaranya justru memergoki. "Lari Kak!" seru Anna, menggenggam jemari Bara untuk ikut berlari bersamanya. "Kenapa?" Bara kebingungan. Langkahnya yang tertatih dipaksa berlari tanpa persiapan. Anna sesekali melihat ke belakang, mendapati tiga preman mengejarnya. Membabi buta. Oh, jangan lupakan teriakan-teriakan itu, seolah Anna adalah seorang pencuri. "Mereka siapa?" sama seperti Anna, Bara melirik ke belakang. Kebingungannya semakin meningkat saja. "Duh, Kakak nggak bisa lari lebih kenceng." Bara mendecap, di tengah napas terengah. Ingin mengumpat, karena sepertinya Anna lupa akan luka di kakinya, juga lengannya yang kini Anna tarik. "Tanganku sakit." keluh Bara, melirik ke arah lilitan perban di lengannya yang mengeluarkan darah. Akibat tarikan Anna, kembali membuat lukanya membuka. Anna melupakan hal itu, dia meringis kecil, namun tak melepas genggaman. Sakit sedikit, tak apalah. Pikirnya. Di gang sempit yang hanya mampu dilewati satu motor, Anna berbelok, terus berbelok ke arah kanan, lalu ke kiri, tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan. Membuat Bara yang menenteng tas belanjaan hampir menubruk tembok karena tak seimbang. Menelan ludah, Anna memindai kiri kanan, mencari tempat persembunyian. Dia menarik Bara bersembunyi, di balik gerobak nasi goreng yang berada di sela-sela dua rumah. Berharap, preman-preman itu tak menyadari keberadaannya. Terengah-engah, Anna menempelkan punggungnya ke tembok, sedangkan Bara tepat berada di depannya. Cukup dekat karena celah antara gerobak dan tembok di sisi kanan Anna tidak cukup besar. "Mereka siapa?" tanya Bara dengan napas putus-putus. Anna mendongak, meletakan telunjuknya ke bibir. Bara mengernyit, namun menurut juga. Karena derap langkah terdengar begitu dekat. Dia menoleh ke samping, melihat tiga laki-laki yang berada di dekatnya, terhalang gerobak, tampak menoleh kanan kiri. "Sial. Di mana mereka? Kita kehilangan jejak." umpat salah satu preman. Memicingkan mata, Bara semakin memperjelas penglihatannya. Tiga preman itu adalah orang yang sama yang mendatangi rumah Anna kemarin sore. Bara sempat mengintip dari jendela kamar. Kembali pada Anna, Bara mengangkat tangannya yang terluka untuk kemudian mengelap dahi basah Anna dengan telapak tangan. Gadis itu mengerjap, kemudian menengadah. Dan Bara terpana akan mata jernih penuh kepolosan milik Anna. "Mereka sudah pergi?" tanya Anna lirih. Bara melirik lagi, kemudian menggeleng. Dua yang lain memang tidak terlihat, namun satu yang memiliki tubuh paling besar masih bertahan. Seolah tahu, jika yang ia cari tengah bersembunyi di dekatnya. Merepetkan tubuhnya, hampir seperti memeluk. Bara mengisyaratkan pada Anna untuk diam. Karena nampaknya, preman itu mulai curiga. Preman bertubuh besar itu memicing, dan berjalan mendekat. Jika Bara bersuara sedikit saja, dia yakin, dirinya akan habis sore ini. Memang, apa yang bisa dilakukan dengan lengan terluka dan kaki yang tidak mampu memasang kuda-kuda secara sempurna. Jangankan tiga orang terkalahkan, membuat mereka menerima pukulannya telak, lalu jatuh terkapar saja, Bara ragu. Beruntung, sebelum preman itu lebih dekat, beberapa bapak-bapak datang menegur. Tanpa sadar, Bara mendesah lega. Dia akan menuntut penjelasan pada Anna nanti. "Apa sudah aman?" Bara berjingkat, dan meringis menyadari wajah Anna menempel di dadanya. Dan entah sejak kapan satu tangan gadis itu bertengger di pinggangnya. Mencengkeram. Sedikit menjauh, sehingga Anna mampu untuk mendongak. Bara menatap lekat dua manik Anna yang jelas sekali gelisah. "Mereka siapa?" tanyanya tanpa melepas tatapan. Anna menelan ludah, ingin menghindar, namun tatapan Bara seolah menguncinya. Dia belum pernah mendapati tatapan intens seperti yang Bara berikan. Bukan tatapan menghakimi tapi lebih dari pada itu. "Mereka penagih hutang," Sebelah alis Bara terangkat. Memang sih, tampilan preman-preman seperti itu pastilah orang suruhan. Dan, jika Anna memiliki hutang, pantas mereka datang untuk menagih, utusan dari sang rentenir. "Berapa?" Anna meneguk ludah. "Lima juta," Bara mengetuk dahi berpeluh Anna, membuat gadis itu mengernyit kebingungan. Dan refleks mengusap bekas ketukan di dahinya. Ya Tuhan. Bara kira, tiga preman itu adalah penjahat, penculik, atau apapun itu. Hingga mengharuskan mereka untuk bersembunyi. "Ya sudah. Ayo ... antar aku ke Atm." ucap Bara, keluar dari persembunyiannya yang diikuti oleh Anna. Anna menatap punggung kokoh di hadapannya dengan penuh tanda tanya. Bara jalan lebih dulu, seolah lelaki itu paham jalan keluar komplek padat penduduk ini. "Kak, biar aku yang bawa," tawarnya, menyejajari langkah Bara. Bara menoleh, lalu menolak halus. "Nggak perlu. Antar aku ke Atm saja." "Buat apa?" pertanyaan bodoh memang, dan Anna tahu akan hal itu. "Tidak ada yang menjamin jika preman-preman itu tidak sedang menunggu di depan rumah." Anna tidak menimpali. Karena ia pun berpikir begitu, sama khawatirnya. Berakhirlah dia yang menemani Bara menarik uang. Seperti perkiraan, ketika mereka tiba di rumah, preman-preman itu sudah menunggu di sana. "Biar aku aja Kak, " Anna menahan langkah Bara. Tidak ingin melibatkan lelaki itu lebih jauh. Bara mendelik, mendecap, kemudian menyerahkan sejumlah uang yang Anna minta. Dia menolak untuk berdiri menjaga jarak, sedangkan Anna sudah mendatangi tiga preman itu. Wajah ketiganya tak lagi garang. Justru tampak semringah. Bara menunggu di lima langkah, tepat di belakang Anna. Matanya menyorot datar, siap membela andai tiga preman itu menyentuh Anna. Namun, dia justru mengernyit ketika preman itu mengukir senyum dan mengobrol hangat. "Kamu seharusnya lebih berani menemui kita." Setelah mengatakan itu, ketiga preman yang tak kunjung Bara tahu namanya, pergi meninggalkan Anna yang mendesah lega. Bara dibuat bingung. Dia merasa ada lubang besar tak kasat mata di dalam diri Anna dan rumah gadis itu. Keduanya saling bersinergi, membawa satu kesimpulan pasti yang tidak Bara ketahui. "Besok aku balikin Kak. Makasih ya," Anna mengukir senyuman. Dan Bara hanya mampu berdehem, menyahut. Tidak peduli andai Anna tidak mengembalikan uangnya. Dia masih memiliki cukup uang ditabungan. Lalu .... Yang jadi pertanyaan, kenapa dia masih bertahan di rumah sederhana ini. Tanpa fasilitas apapun. Mungkin besok, Bara bisa menjawabnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD