5. Makan Bersama

1664 Words
5. Makan Bersama Lagi pula, di sini ada matahari yang lebih indah, Dan itu kamu .... --- "Jadi ... sudah berapa lama, kamu dikejar-kejar seperti tadi?" Bara membuka kaleng soda yang baru diambilnya dari kantong belanja. Lalu diteguknya beberapa kali. Dua matanya tak lepas menyorot wajah gadis yang duduk tidak nyaman di depannya. Anna bergerak ke kanan kiri, begitu juga dengan dua bola matanya yang bergulir gelisah. "Anna," "Tiga hari ini," Anna menyahut singkat. Bara menghela napas. Mengambil sebotol minuman dan meletakkannya di depan Anna. Jelas bukan jawaban seperti itu yang dia harapkan. Tapi, ya sudahlah. "Itu sebabnya, aku tidak dibolehkan keluar rumah?" Anna mengangguk. Malu-malu mengambil minuman yang Bara berikan, lalu meneguknya. Lelah karena berlari dan bersembunyi. Hal ini, di luar yang Anna pikirkan. Dia bersyukur karena menyelesaikan tagihannya hari ini. Namun, sebersit khawatir juga menjelma di dadanya. Mungkin, apa yang dia pikirkan memang sedikit berlebihan. Karena dia khawatir, Bara akan terlibat pada urusannya. Yang tidak seharusnya Bara alami. Lelaki itu sudah cukup mendapat musibah di awal kedatangan. "Terima kasih Kak Bara suda--" "Nggak pa-pa, kalau tahu seperti itu, harusnya kamu bilang sejak awal." Sela Bara. Karena jika Anna mengatakan sejak awal, mungkin dia tak perlu berlari-lari dengan kaki sedikit pincang. Nyerinya bahkan semakin menjadi sekarang. Anna meringis. "Maaf," lirihnya. Dia tidak buta untuk tidak menyadari jika luka di tubuh Bara masih meninggalkan lebam dan pastinya sakit. Dia bahkan melihat lelaki itu membeli beberapa obat. Bara menghela napas, memutuskan untuk tak lagi mengungkit tentang preman-preman itu. Terlalu dini untuk ikut campur pada urusan Anna, saat dia baru saja mengenal beberapa hari. Setidaknya, dia akan menahan rasa penasarannya. "Aku lapar," keluh Bara. Padahal ada banyak makanan yang dia beli, namun tak ada satu pun menarik minatnya. "Kakak mau makan apa?" tawar Anna, dia mengaduk tas belanjaan Bara, mengeluarkan beberapa potong roti. Bara tersenyum, "Ingin makan di luar, sekalian melihat kota ini." Anna, tanpa bertanya banyak, hanya mengiyakan ajakan Bara. Setelah dia selesai bersiap, mandi dan mengganti pakaian, ia mengajak Bara keluar komplek yang masih ramai. Beberapa orang hilir mudik, entah baru pulang bekerja atau sengaja keluar rumah untuk mencari makan, sama seperti dirinya. Malam tampak cerah, dan kota tempat dia pijaki begitu hidup. Kebisingan, dan segala keramaian menyambut matanya. Bagi Anna, hal itu sudah biasa, namun Bara beberapa kali menggelengkan kepala dan berdecap. "Memang, seperti apa gambaran metropolitan dalam benak Kak Bara?" tanya Anna. Ingin tahu pandangan orang luar dari kota yang menghidupinya selama ini. Bara menoleh, tersenyum. "Sebising dan sepenuh ini memang," jawabnya jujur. Mereka terus melangkahkan kaki menyusuri trotoar. Di deretan tenda-tenda makan sederhana. Lampu-lampu kota berpendar terang, menunjukkan jika malam tak menyurutkan kesibukan. Yah, setidaknya sampai pukul sepuluh malam nanti. Jalan depan komplek rumah Anna akan seterang ini. Sebelum akhirnya, para pedagang menutup kedai dan beristirahat. "Oh, aku kira, gambaran metropolitan di benak Kakak adalah kota penuh keistimewaan. Apapun yang diinginkan bisa didapatkan di kota ini," "Seperti itu juga," kekeh Bara. Di tempat asalnya, siang dan malam sama saja, selalu dilingkupi keramaian. Andai, satu dua hal tak mengusiknya, mungkin dia tak akan terdampar di sini. Tapi ... Bukankah itu suratan. "Sate ayam, mungkin enak," gumam Bara, melirik tenda makan sederhana lima langkah di depannya. Tidak terlalu ramai, bahkan dari luar saja dia bisa melihat ada meja kosong. "Kak Bara mau makan di sana?" "Hm, aku sudah terlalu lapar." Mengikuti apa yang Bara mau, Anna ikut melangkahkan kaki memasuki tenda, memesan dua porsi sate beserta dua gelas teh hangat. Barulah dia menempati salah satu meja, duduk beralaskan tikar. "Kamu sering makan di sini?" tanya Bara, memecah hening di atas mejanya. Selagi menunggu makanan yang dia pesan diantar. Anna menggeleng. Hitungan jari dalam sebulan. Lebih hobi makan mie instan atau ceplok telor. Yah, untuk masalah pengeluaran dia cukup perhitungan. "Kenapa Kak Bara memilih Jakarta?" tanya Anna, mengaduk teh hangat yang baru diantar ke mejanya. Dia mendongakkan kepala, menatap Bara yang tersenyum memandangnya. Anna mengernyit, wajah tersenyum Bara nampaknya tak lelah disuguhkan. Membuat dia sangsi sendiri. Apa tidak capek? Selalu menarik bibir seperti itu. "Entahlah, tapi aku rasa, aku bakal nyaman di sini," sahut Bara. "Oh ya, kenapa? Bukannya parno, saat awal kedatangan di sambut sedemikian rupa," kikik Anna, menggeser gelasnya, memberi tempat pada sepiring sate yang diletakkan di atas meja. Wangi sate mengepul, membuat perut kelaparannya terasa melonjak bahagia. Dia harus menelan ludah, menjaga sikap agar tak segera menyantap. "Oh, itu takkan membuatku kapok. Lagi pula, aku merasa itu bukan musibah," Anna mengerjap, mengalihkan tatapan dari sepiring sate yang menggoda lidahnya. "Jika malam itu aku terus berjalan, saat ini, aku takkan duduk berdua denganmu di sini," "Tapi ... bukankah di sana juga kota besar?" Anna masih saja penasaran. Di dalam benaknya, Bara adalah salah satu orang dari puluhan orang yang dia tahu merantau ke kota besar untuk mengadu nasib. Sesederhana itu pemikirannya. "Hanya ingin mencari hal baru," Anna ber-oh ria. Tampilan Bara tidak terlihat seperti orang kesusahan sih. Justru Anna ragu jika Bara dari kalangan menengah ke bawah sepertinya. "Kamu belum pernah ke Bali?" tanya Bara ketika Anna hanya diam. "Belum." Anna menggeleng. "Apa Kak Bara akan segera kembali ke sana?" "Tidak. Lagi pula, di sini ada matahari yang lebih indah," "Dan, itu kamu..." imbuh Bara dalam hati. Anna tidak mengerti. Apalagi, Bara mengucapkannya dengan senyuman terukir manis. Yang Anna tahu, matahari di mana pun itu sama saja. Terbitnya memukau, tenggelamnya pun tak kalah indah. Justru di kota ini, yang nampak hanya deretan gedung-gedung tinggi. Bukan bukit hijau yang menyembunyikan indahnya matahari. Lalu, matahari seperti apa yang indah di mata Bara? Anna menggelengkan kepala sesaat. Enggan untuk kembali memikirkan. *** Anna terjaga dari tidurnya ketika semerbak wangi masakan menguar, menggoda penciumannya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum beranjak dari tempat tidur. Mengikuti bau harum masakan yang entah apa, Anna membawa langkahnya ke arah dapur. Setibanya di sana, dia sedikit berjengit kaget melihat Bara berdiri di depan kompor, dengan sebelah tangan sibuk membolak-balik masakan di penggorengan. Anna tersenyum tipis melihat kelincahan Bara di dapur. Seolah lupa jika sebelah lengan lelaki itu masih terbalut perban. "Kamu sudah bangun?" Bara membalikkan badan, dan melihat Anna yang bersandar di kusen pintu penghubung dapur dengan ruang tengah. "Kak Bara selalu mengganggu tidurku," decap Anna, namun tetap menyempatkan diri untuk menyungging senyuman. "Sori, lain kali aku akan-" Anna mengibaskan tangan. Mencegah Bara melanjutkan ucapan. "Aku senang kok Kak, rumah ini jadi terlihat hidup." Bara menaikkan sebelah alisnya. Gadis di hadapannya memang luar biasa. "Oh, begitukah?" "Iya. Selama ini aku jarang masak pagi-pagi," aku Anna jujur. Karena hampir setiap pagi, selepas subuh, dia akan kembali tertidur. Kecuali ada kelas pagi yang mengharuskannya datang lebih awal atau ada urusan lainnya. Anna pun lebih suka sarapan pagi hanya dengan roti, di samping lebih efisien, juga pertimbangan perekonomian. "Jadi ... aku boleh memakai dapurmu sesukaku?" tanya Bara, sembari mematikan kompor dan meniriskan masakannya. "Tentu saja," sahut Anna. "Asal jangan meledakkan dapurku saja," sembari bergurau, Anna melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Sudah akan menutup pintu ketika tawa renyah Bara menggema. "Tidak akan," sahut Bara yang membuat Anna ikut tersenyum dan barulah menutup pintu. Bara membagi masakannya ke dalam dua piring. Hanya omelet sederhana, dengan beberapa sayuran di dalamnya. Entah Anna akan suka atau tidak. Yang jelas, hanya masakan sederhana itu yang bisa Bara buat, dalam keadaan lengannya yang belum bisa bekerja maksimal. Menata piring di atas meja, Bara menyempatkan diri untuk menarik napas panjang. Sekadar menikmati kehidupan barunya, yang jauh dari ingar bingar pekerjaan dan segala tekanan di tempat tinggalnya dulu. Hingga dia teringat sesuatu, Bara segera beranjak masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Kemudian men-dial satu nomor di sana. Tidak menunggu lama, pada dering ketiga, seseorang di seberang mengangkat panggilannya. "Aku di Jakarta." ujar Bara tanpa basa-basi sedikitpun. "Apa? Sejak kapan?" Bara mendengkus mendengar sahutan penuh keterkejutan dari laki-laki di seberang telepon. "Motorku hilang, dibegal. Tepat saat aku baru memasuki kota." "Motor?! Bagaimana bisa? Ck ... cerita yang bener ngapa sih?" Menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bara melangkahkan kakinya ke arah pintu yang setengah terbuka, melongokkan sedikit kepalanya. Memindai apa Anna sudah keluar kamar mandi atau belum. Dirasa belum, kali ini Bara menutup rapat pintu kamarnya, dan mulai menceritakan kronologi kejadian pembegalannya pada sang sahabat di seberang telepon. "Kamu bisa kan, cari motorku di pasar gelap?" tanya Bara, ketika usai runtutan ceritanya. "Yakin motor itu dijual di pasar gelap?" Bara mendesah. Dia memang tidak sepenuhnya yakin, namun, mengingat pasti akan sulit menjual motor seperti itu pada orang biasa, Bara jadi berpikir sampai ke arah sana. "Kamu yang lebih paham pasaran di kota ini." "Ikhlasin aja sih. Lagipula, kamu bisa beli puluhan motor seperti itu," Mendecap. Bara tidak membantah pun mengiyakan. "Kalau kamu bisa menemukannya, aku turuti maumu." putus Bara. Beli baru memang mudah bagi Bara, namun mencipta kenangan di antaranya yang teramat sulit. Motor yang di begal ini adalah motor pertama yang Bara beli dengan uang hasil kerjanya saat masa kuliah dulu. Kevin, di seberang telepon terbahak. Seolah dunia baru saja berada di dalam genggamannya. "Siap deh ..." Diiming-imingi saja, mau tanpa banyak tanya. Bara baru akan mengumpat, ketika panggilan Anna dari luar kamar terdengar. "Kak Bara," Bara sedikit menjauhkan ponselnya. "Sebentar Anna," sahutnya, agar gadis di balik pintu kamarnya itu tak terus-terusan menyerukan namanya. "Kamu harus cari sampai ketemu." tekan Bara, mengingatkan, yang dibalas deheman penuh semangat Kevin. "Oh, sekalian carikan ruko atau apapun, yang dekat dengan kampus Wijaya." "Buat apa?" "Paling lambat satu bulan, kabari aku jika kamu mendapatkannya. Berapa pun harganya." Tanpa menunggu sahutan dari Kevin, Bara segera menutup panggilannya dan melemparnya ke atas ranjang. "Kenapa tidak makan dulu?" tanya Bara, ketika dia membuka pintu kamar dan melihat Anna hanya duduk diam di depan piring omelet buatannya. Anna mendongak. Wajahnya sudah lebih cerah dan segar setelah dibasuh. "Masa aku makan dulu, kan Kak Bara yang masak." dengan cengiran tipis mewarnai, Anna menyahut kalem. Selebihnya sih, ingin menjaga image di depan Bara. Minimal tidak mempermalukan diri sendiri lebih banyak lagi, karena bangun kesiangan. Bara terkekeh, lalu mempersilakan Anna untuk menyantap sarapannya. Dia sendiri duduk di depan Anna, menahan jemarinya untuk tak terangkat dan menggusak rambut gadis itu. Saking gemasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD