3. Rumah sederhana

1712 Words
3. Rumah Sederhana Jangankan rumah sederhana Gubuk reot pun aku tinggali Asalkan hidup beramamu, --- Anna pulang setelah maghrib, mengendap-endap di jalan menuju rumahnya. Waspada untuk setiap suara. Terkadang, dia menepi di tembok, sembunyi di balik bunga milik tetangganya. Dirasa cukup aman, dalam artian tak ada preman-preman yang menagih hutangnya. Anna melenggang ke dalam rumah. Lampu di dalam rumahnya sudah berpendar, temaram. Tanpa mengetuk pintu, karena ia membawa kunci pengganti, Anna segera masuk dengan diiringi desahan napas lega. Baru saja dia meloloskan napas lega, detik berikutnya tercekat karena tampilan Bara. Lelaki itu tampak segar. Rambut sedikit panjangnya basah, menjuntai dan membuat tetesan air. Belum cukup sampai di situ, saat Anna menurunkan tatapan. Netranya disuguhi pemandangan yang membuat dia ingin melempar sepatu. Sialan. Umpat Anna dalam hati. Bara tidak memakai baju, menampakan d**a dan perut berbentuk. Apa yang dia lihat saat ini, jelas beda dengan apa yang biasa dia lihat di club. Dia merasa wajahnya memanas, malu sendiri. Padahal bukan dia yang shirtless. Bara jelas lebih tampan dari kebanyakan pria yang datang mengunjungi club tempatnya bekerja. Lebih putih, lebih bersih. Pokoknya lebih segalanya. Oh, jangan lupakan senyuman yang membuat Anna ingin memberikan masker pada lelaki itu. Manis sekali, Ya Tuhan. Membuat dia yang notabene seorang gadis iri setengah mati. "Kamu baru pulang?" tanya Bara, memicingkan mata. Anna mengangguk, mengalihkan tatapan. Lalu tersadar akan sesuatu. "Kakak pakai handukku." hardiknya. Melirik tidak suka pada handuk biru muda kesayangannya. Bara meringis. Kemudian mengikik geli. "Tidak ada handuk lagi. Dan aku nggak bawa handuk," ujarnya tanpa rasa bersalah. "Oh, aku juga memakai sabunmu, shampomu, dan pasta gigi baru milikmu ..." Anna cemberut. Salahnya dia juga yang tidak menyiapkan beberapa hal yang mungkin Bara butuhkan. Tak ingin lebih mendebat, Anna merelakan begitu saja beberapa barang miliknya digunakan Bara. Yah, bagaimana lagi, lelaki itu hanya seorang perantauan yang hijrah ke kota, namun nahasnya nasib buruk menyambutnya. Hingga akhirnya, Anna teringat satu hal yang membuatnya pulang gelap dan mengendap-endap. "Apa tadi ada yang datang?" tanyanya. Bara menyugar rambut basahnya ke belakang. Dengan gerakan pelan, yang membuat feromon penuh kharismanya menguar tanpa malu. "Ada," sahutnya singkat. Melotot. Anna dibuat was-was. "Terus, Kak Bara bukain pintunya?" "Enggak. Kamu bilang di memo, jangan membuka pintu meski ada gedoran di pintu depan, atau pun iring-iringan pejabat." Anna mendecap. Merasa tidak menulis sesuatu sampai berlebihan seperti itu. "Nggak ada iring-iringan pejabat di gang sempit. Lagian, aku nggak nulis itu kok." Bara terkekeh. Dan gerakan perutnya yang bergetar tak luput dari tatapan Anna. "Kakak pake baju dulu deh. Punya baju kan?" Melirik ke tubuhnya yang toples. Bara justru mengacak kembali rambutnya. Menikmati raut kemerahan di wajah Anna. Ingin sedikit menggoda gadis polos di hadapannya. Padahal, sebelumnya ia tidak berniat melakukan hal itu. Hanya, lucu saja melihat raut malu-malu Anna. "Aku pakai baju dulu deh." Merasa sudah cukup puas, Bara membalikkan tubuh. Hendak masuk ke dalam kamar yang seharian ini dia tempati. Namun tertahan oleh panggilan Anna. "Luka Kakak sudah sembuh?" meski itu pertanyaan bodoh karena baru sehari luka itu diobati. Namun, Anna penasaran juga, karena Bara tampak biasa. Seolah laki-laki itu tak mendapatkan luka apapun. Menolehkan kepalanya, dan menatap Anna. Bara tersenyum tipis. "Aku punya kekuatan menyembuhkan diri." kekehnya lalu menghilang di balik pintu. *** Bara keluar dari kamar setelah memakai stelan lengkap. Celana pendek dan kaos oblong warna abu-abu. Rambut setengah basahnya, dia biarkan saja, berantakan. Dia mengernyit, ketika melihat sekitarnya tampak sepi. Bibirnya baru akan memanggil Anna namun diurungkan, karena melihat gadis itu tidur meringkuk di kursi kayu yang muat dua orang. Menyungging senyum tipis, Bara menyeret kakinya melangkah ke arah Anna. Luka di kakinya memang tidak terlalu parah, namun tetap saja butuh beberapa waktu untuk kembali seperti semula. Sedangkan luka sabetan di lengannya. Jangan di tanya, saat ia memaksakan diri untuk mandi, dia harus menahan rasa teramat perih yang menjalar tanpa permisi. Andai dia memang memiliki kekuatan menyembuhkan diri. Mungkin, dia tak perlu bersusah payah untuk membersihkan diri. Sudah dua hari dia tidak mandi, dan tubuhnya luar biasa lengket juga bau. Beruntung semalam, Anna masih tahan dengan bau tubuhnya yang menguarkan asem dan kecut, mungkin. Bara membaui tubuhnya, mengangkat lengan yang menguarkan wangi mawar. Sabun mandi Anna, terbukti ampuh membuat tubuhnya kembali wangi. "Anna," panggil Bara lirih, setibanya dia di depan Anna. Berniat membangunkan gadis itu agar pindah ke kasur yang jelas lebih nyaman untuk tidur. Lengannya masih sakit, dan hal tidak mungkin baginya untuk memindahkan tubuh Anna dengan tangannya sendiri. Bara menyerah. Tak ingin mengganggu. Mungkin, Anna sedang begitu kelelahan. Nyatanya sampai ketiduran sebelum sempat berganti pakaian. Dia tersenyum tipis, maniknya menatap lekat wajah terlelap Anna. Gadis itu yang sudah menjadi malaikat penyelamatnya. Membawanya masuk ke dalam rumah cuma-cuma, tanpa bersikap lebih siaga. Demi apa pun, Bara merasa begitu bersyukur. Semakin dilihat, semakin cantik saja wajah gadis di hadapannya. Bulu mata lentik dan hidung bangir yang begitu pas proporsinya. Kemarin, dia berpikir jika seseorang yang mendatanginya adalah laki-laki. Mengingat pakaian yang dikenakan. Namun, semakin jelas mendengar suaranya, Bara segera melunturkan anggapannya. Menghela napas, Bara beranjak menjauh. DIa masuk ke dapur, dan memindai. Adakah sesuatu yang bisa ia makan? Pasalnya, Anna hanya memberinya roti untuk satu hari ini. Dapur Anna tidak lebih baik dari tampilan ruang tamu yang merangkap meja makan. Justru tampak lebih berantakan. Bara ragu, jika Anna pernah menggunakan dapur. Perutnya sudah berbunyi, berulang kali. Bara memutuskan untuk membuka lemari pendingin dan yang dia temukan hanya beberapa butir telur dan botol-botol air dingin. Tak ada sayur, tak ada daging, ataupun ikan di dalam sana. Lemari pendingin itu, sama sepinya seperti rumah yang dia tinggali sekarang. Bara berdecap. Mengambil dua butir telur dan mie instan dari dalam kulkas yang tinggal satu-satunya. Mungkin besok, dia akan belanja. Sekadar memenuhi isi kulkas Anna. Hari ini, dia harus berbesar hati, hanya dengan beberapa potong roti pagi tadi dan malamnya mie telur. Disibukkan dengan acara memasaknya yang ala kadarnya, Bara sesekali melirik sekitar dapur. Tidak seburuk yang dia pikirkan, karena table kitchen yang cukup bersih dan juga peralatan memasak yang tersimpan dalam keadaan mengkilat. Seperti baru. Jelas, Bara bercanda akan hal itu. Sembari menunggu mie di dalam panci matang, Bara menyiapkan bumbu ke dalam mangkuk. Tepat saat dia menuang mie-nya, suara benda jatuh terdengar keras dari ruang tamu. Disusul pekikan kesakitan setelahnya. Bara terkekeh pelan, mempertahankan aktivitasnya tanpa rasa ingin tahu. Sedangkan di ruang tamu, Anna berulang kali mengumpat. u*****n sederhana yang justru terdengar lucu di telinga Bara. Membawa serta satu mangkuk kosong lainnya beserta sendok, Bara berjalan ke ruang tamu. "Kamu sudah bangun?" Bara menyambut, yang dibalas decakkan kasar Anna. Gadis itu sedang mengusap lengannya dan bagian tubuh lain, masih mempertahankan diri berada di atas lantai. Tempat yang menerima tubuh jatuhnya dengan begitu gembira. "Gara-gara Kakak." jengkel Anna, melirik Bara yang meletakkan mangkuk di atas meja, dekat dengannya. Bara menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa aku?" "Bau masakan Kakak, membuat aku nggak konsen tidur." Tergelak. Bara menggelengkan kepala, sembari mengaduk-aduk mie kuah sotonya. Ada gitu, tidur butuh konsentrasi. Jika benaran ada, lalu Bara yang tidak mengetahuinya atau apa. "Aku masak mie kamu, boleh ya?" Bara menaik turunkan dua alisnya. "Sudah ku duga," desah Anna. Dia melirik ke arah jam dinding dan merengut. Satu jam lagi, dia harus berangkat kerja. Padahal, ia merasa baru saja memejamkan mata. Bara menghirup wangi mie masakannya. Dia, hitungan jari menyantap masakan instan seperti ini. Bahkan, saat perjalanannya dari Bali, dia selalu menyempatkan diri makan di restoran. "Kamu mau mie?" Anna menggeleng. Namun, matanya melirik penuh minat. Hanya saja, mengingat jika seharian ini, dia meninggalkan Bara dalam keadaan terluka dan beberapa potong roti. Anna meneguhkan egonya. Dia bisa makan di tempat kerja saja, nanti. Tadi, niatnya sih, mau membelikan nasi bungkus atau apalah untuk Bara. Namun tidak jadi, khawatir jika Bara tidak membaca memo yang dia tinggalkan lalu habis d pukuli preman-preman. Tak lagi bertanya atas penolakan Anna. Bara bersiap menyantap, namun suara perut Anna menghentikan gerakannya. Bara mendongak dengan senyum geli tertahan. Sedangkan Anna, menggigit bibir bawahnya malu-malu. Mengutuk cacing-cacing di perutnya yang tidak mau berkompromi sebentar saja. "Ayo, kita makan bersama." ajak Bara, lalu memindahkan sebagian mie olahannya ke dalam mangkuk lain. Anna bergeming di tempatnya. Sejak siang, dia memang belum sempat makan. Karena uang yang Bara berikan ia simpan untuk menyicil hutangnya nanti. "Anna, ayo ... ini mie dan telurmu, jadi di sini, posisiku yang meminta." Begitu halus, dan tak pernah menghapus senyuman. Bara tampak begitu memukau, dan menjadi sosok pembimbing yang baik. Menahan malu, Anna bangkit dari duduknya dan menghampiri Bara. Menggumam terima kasih ketika lelaki itu menyodorkan mie bagiannya. Mereka makan dalam diam, cepat-cepat menghabiskan sebelum dingin. "Kakak nggak lapor ke polisi?" tanya Anna, meneguk minum dari gelas yang juga diambilkan Bara. Padahal, yang sedang teluka lelaki itu, tapi justru dirinyalah yang dilayani. "Nggak. Buat apa." jawab Bara, mengerti arah pembicaraan Anna. "Motor Kakak kan hilang ...." "Mau buat laporan apa? Nggak ada saksi dan aku nggak paham wajah pelaku atau pun plat motor pembegal." Anna menganggukan kepala. Benar juga, yang di bilang Bara, tapi .... "Kakak ikhlas motornya hilang." "Tentu saja tidak. Tapi, kalau motor itu masih berjodoh denganku, pasti akan kembali." Jelas saja Bara tidak akan rela, motor senilai ratusan juta, raib begitu saja, mengakibatkan dirinya terluka pula. Juga ada puluhan cerita antara dia dan motor itu, yang tidak mungkin bisa Bara ulang. "Berjodoh?" Anna berminat untuk satu kata itu. "Iya. Segala yang ada di dunia ini, memiliki jodohnya masing-masing. Percaya?" Dengan polosnya, Anna menggelengkan kepala. Dan Bara maklum akan hal itu. Maka, dibiarkannya Anna masuk ke dalam kamar, sedang dia yang membereskan  mangkuk dan peralatan masaknya. Bukan untuk dicuci, tapi dibiarkan teronggok di tempat cuci piring. Tangannya masih sakit, dan alasan itu yang akan dia gunakan. Bara kira, Anna masuk ke dalam kamar untuk tidur. Namun, gadis itu justru kembali keluar dengan pakaian lengkap. Celana panjang plus jaket. Sama persis dengan tampilan saat pertama kali bertemu. "Kamu akan ke mana?" tanya Bara penasaran. Sudah pukul sembilan malam, dan akan ke mana kah gadis muda seperti Anna. Anna tersenyum, dia mengikat tali sepatunya dan menyahut jujur. "Aku berangkat kerja Kak," Otomatis, sebelah alis Bara terangkat. Baru dia akan bertanya lagi, Anna sudah membuka pintu rumah. "Aku bawa kunci lain. Jadi, dikunci saja pintunya." Setelah mengatakan itu, Anna melangkah pergi. Tanpa sempat Bara menimpali. Lelaki itu berjalan ke pintu depan, melihat Anna yang berjalan menyusuri gang sendirian. Segala pertanyaan berkecamuk di benaknya. Melahirkan rasa keingintahuan yang mendalam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD