7.Kecurigaan

1603 Words
7. Kecurigaan Bahagia itu nggak muluk-muluk, Cukup saling percaya --- "Jadi ... bagaimana kehidupanmu dengan si lelaki asing?" Nuri bertopang dagu di atas meja, menatap Anna dengan sorot geli. Anna mencebik. "Biasa aja," dan dia berbohong akan hal itu. Lebih dari apapun, Anna bahagia. Setidaknya, sampai detik ini, Bara tidak melakukan hal-hal di luar norma kesopanan. Bara baik padanya, perhatian. Dan selalu membuat makanan untuknya setiap hari. "Oh ya?" kernyit Nuri, curiga. Setiap pagi, Anna semringah dan tak pernah sarapan di kantin. Juga sore hari ketika pulang, gadis itu akan berjingkat senang. Memang, perangai Anna seceria itu. Tapi, jika di perhatikan belakangan ini, sahabatnya berkali lipat lebih ceria. "Syukur deh," desah Nuri. "Kalau dia macam-macam, gantung aja." Ish ... Anna mengibaskan tangan. "Aku gantung di pohon cabe depan rumah." Nuri terbahak, gelegak tawanya menarik perhatian sebagian pengunjung kantin. Ada beberapa yang mengernyit ingin tahu, ada juga yang mendengkus. Merasa biasa dengan interaksi dua gadis itu. Mereka sedang nongkrong di kantin. Memang di mana lagi? Tempat paling mengerti ketebalan kantong mereka. "Nggak usah heboh," Anna mendecap, mengaduk es teh di hadapannya, embun dari es sudah mengelilingi gelas. Segar menggoda. Seketika, Nuri memelankan tawa. Dan kembali menyantap sepiring somay. Melahapnya penuh minat. Gratisan dari Anna. Jarang-jarang lho ya, jadi tidak Nuri sia-sia kan. Pamali juga rezeki di tolak. "Aku main ke tempatmu dong, kenalan sama Kak Bara," Nuri mengedip, penuh harap. "Nggak." Terlalu cepat Anna mengungkapkan penolakan. Dia menyesap tehnya. Berdehem pelan, melonggarkan tenggorokan. "Buat apa? Kak Bara sibuk kalau sore," Nuri belum mau kalah. "Sibuk apa? Memang sudah dapat pekerjaan?" "Belum. Lagi cari," "Lah? Berarti masih stay dong di rumah sepanjang hari." Anna tersenyum. Bara memang sibuk kok di rumah. Setiap ia pulang sore hari, lelaki itu pasti tengah bergelut dengan panasnya kompor. Memang tidak banyak yang Anna ketahui saat dia berangkat kampus. Bara entah melakukan apa di rumah, atau pergi ke mana. Yang dia tahu, rumahnya selalu rapi, dan wangi. Bara mungkin, tipikal laki-laki yang tak pernah membuat berantakan. Sedikit kekacauan, segera dirapikan lagi. "Pelit sumpah. Kenalin lah Ann, siapa tahu Kak Bara tipeku?" Nuri jahil, ingin menggoda sahabatnya. Tidak sepenuhnya benar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Semata hanya ingin membuat temannya itu terusik. "Bukan tipemu Nu, rambutnya panjang. Serem." ucap Anna bergidik, sedikit membuat raut wajah nyeremin. Usaha agar Nuri percaya, walau nampaknya jadi bualan receh. "Oh, maafkan aku Kak." Anna menggumam dalam hati. Bara tidak seram sedikitpun, meski rambutnya sedikit panjang. "Bohong. Bilang aja nggak ngebolehin aku ketemu. Ngeles mulu nih." raut wajah Nuri, berbanding terbalik dengan apa yang gadis itu suarakan. Dia menunduk, menyembunyikan senyuman geli. Anna tersadar. Dia mengerjap beberapa kali, mencerna kalimat yang Nuri katakan. Benar juga, kenapa dia tak membolehkan Nuri menemui Bara, hingga melontarkan begitu banyak alasan. Anna hanya merasa, tak ingin menunjukan Bara pada temannya, tidak untuk saat ini. Apa itu termasuk ingin memonopoli untuk diri sendiri. Tidak kan ya? Lupakan. Anna tidak peduli. Dia tidak merasa seperti itu kok. Bara jelas diberi kebebasan penuh. "Tapi ... aku penasaran deh Ann," Nuri mengungkap, kembali menatap lekat Anna. "Kamu nggak curiga sedikit pun gitu sama Kak Bara?" Curiga? Anna menggelengkan kepala. Bara sosok laki-laki yang tidak pantas dijatuhi kecurigaan. Ada banyak hal yang lelaki itu lakukan selama ini, untuk membantu dirinya. Memang tidak tersirat, namun Anna paham balas budi. "Curiga dalam hal apa nih?" Nuri memajukan sedikit tubuhnya ke arah Anna. "Benar, dia datang dari Bali untuk bekerja di sini? Bukan pelarian, misalnya?" Kenapa Nuri selalu tepat memikirkan banyak hal sampai sejauh itu. Hal-hal yang selalu luput dari pikiran Anna. Saat Bara bercerita tempat asalnya, Anna otomatis berpikir lelaki itu hijrah untuk mengubah hidup. Mencari kehidupan yang lebih layak, meski di kota ini tak semudah seperti yang dibayangkan. "Pelarian?" Anna bertanya, untuk satu kata ganjil itu. Nuri hanya tahu Bara dari cerita-ceritanya. Tapi, mampu menarik dugaan seperti itu. Sebenarnya, Anna yang terlalu mudah percaya, atau Nuri yang curiga berlebihan. Nuri mengedikkan bahu. "Mungkin saja. Menilik ceritamu, Bara dengan mudah memberimu uang kan?" Anna kembali ragu. Selama ini, dia memang tidak begitu banyak mengorek informasi tentang Bara. Obrolan-obrolan yang mereka lakukan setiap hari hanya bahasan sepele seputar metropolitan. Sebenarnya Bara itu siapa? Tanya itu hanya menggantung di benak Anna sampai dia pulang. Tanpa jawaban. *** Anna melirik Bara sesekali. Nampaknya sudah terlambat bagi dia kembali menaruh curiga setelah berhari-hari Bara tinggal bersamanya. Bara begitu baik. Baik banget. "Ada apa Ann? Kamu butuh sesuatu?" tanya Bara, menyadari lirikan mata Anna tertuju padanya. Anna menggeleng. Memakai sepatunya siap berangkat kerja. Bara tidak bodoh, sedari pulang ngampus sore tadi. Anna berulang kali tertangkap mata tengah memperhatikan dirinya. Bukan tatapan kekaguman seperti yang dia inginkan, namun sebuah kecurigaan. Menghela napas, Bara menuang segelas s**u coklat dingin. Dibawanya cangkir s**u itu, lalu diletakkan di meja depan Anna. "Minum dulu Ann," ucap Bara, menatap Anna yang menunduk mengikat tali sepatu. Anna menengadah. Mengerjap beberapa kali, menyadari cangkir putih polos miliknya berada di atas meja, tepat di hadapannya. Untuk kebaikan seperti itu. Setulus itu. Masih pantaskah Anna menaruh curiga. Selesai mengikat tali sepatunya, Anna menegakkan tubuh, sedikit salah tingkah karena Bara memperhatikannya sejak tadi. "Minum dulu sebelum berangkat," ulang Bara, menggerakkan dagunya menunjuk cangkir s**u yang teronggok tak tersentuh. Anna mengulum senyum sebisanya, meraih cangkir itu dan menyesap minuman di dalamnya. "Makasih Kak," ucapnya tulus, meluruhkan segala kecurigaan. Bara mengangguk senang. Karena tatapan Anna tak lagi nampak menelisik. "Mau aku antar ke tempat kerjamu?" tawar Bara, ketika Anna sudah beranjak dari duduk dan membuka pintu. Anna menggeleng. Menolak halus dengan ketenangan luar biasa. "Nggak perlu Kak. Aku biasa sendiri kok. Kak Bara istirahat saja." Untuk ke sekian kali, Bara mendapati penolakan Anna. Mungkin, dia memang belum cukup dekat dengan Anna. Tapi, dia khawatir dengan gadis itu. Akhirnya, Bara memutuskan keluar rumah, mengunci pintu rumah dan berjalan pelan mengikuti langkah kaki Anna yang semakin menjauh. Gadis itu sudah berbelok di gang depan. Malam ini, dia melancarkan aksinya membuntuti Anna berangkat kerja. Tak sabar karena terlalu khawatir dengan pekerjaan gadis itu. Berangkat kerja pukul delapan malam, lalu pulang lewat dari jam dua belas. Pekerjaan seperti apa yang Anna geluti selama ini? Itu adalah tanda tanya besar. Berulang kali Bara ingin mengajukan pertanyaan akan keganjilan pekerjaan Anna. Namun selalu dia urungkan. Merasa, belum memiliki alasan khusus untuk mengorek lebih dalam tentang kehidupan gadis itu. Iya, kalau Anna tidak tersinggung dengan ke kepo-annya. Kalau dia justru menyakiti, maka usaha Bara membuka lembar baru kehidupannya di tempat ini akan begitu cepat menguap. Bara tidak ingin. Setidaknya untuk saat ini, dia akan bertahan. Tinggal bersama gadis dengan senyuman terlampau menawan. Sesekali, Bara menghentikan langkah, merapat pada pohon atau tiang listrik di pinggir jalan. Semakin menunjukkan pada sekitarnya, dia adalah penguntit. Hingga akhirnya, Bara melihat Anna memasuki sebuah Kafe sederhana yang tampak ramai. Dinding kacanya menunjukkan seberapa penuh tempat itu. Mengulum senyum, Bara menyembunyikan diri di balik pohon, sekitar sepuluh meter dari Kafe. Dua manik matanya tak lepas menatap Kafe sesak di depan sana. Sesaat, dia mendesah lega ketika Anna ternyata bekerja di Kafe. Tidak seperti pekerjaan yang sempat melintas di pikirannya. Gadis sepolos dan sebaik Anna mana mungkin bekerja di tempat hiburan malam. Bara mungkin harus menurunkan sedikit kekhawatirannya. Tidak perlu sampai berlebihan memikirkan Anna. Aneh kah? Jika dia begitu ingin masuk ke dalam hidup Anna. Padahal baru mengenal dua minggu atau lebih? Hm, Bara tidak menghitung hari. Membalikkan tubuh, setelah cukup lama berdiri memantau, Bara berniat kembali ke rumah. Mungkin besok, atau lain kali dia akan menyambangi Kafe itu. Getar ponsel di saku Bara menghentikan gerak kaki lelaki itu. Dia merogoh ponsel di saku celana, kemudian mengangkat panggilan. "Sudah ketemu?" tanya Bara, selalu tanpa basa-basi. Mungkin, sudah tabiatnya, tak ingin membuang-buang waktu. Masih sama dengan sambutan sebelum-sebelumnya, lelaki di seberang telepon mendengkus kasar lebih dulu. "Sudah. Di markas Max." Bara membulatkan mata. Menghentikan langkah hanya untuk memastikan apa yang dia dengar. Dan ketika orang di seberang kembali mengulang jawaban. Bara meloloskan desahan kasar ke udara. Dia memejamkan mata. Rasanya ke mana pun dia menginjakkan kaki, masalah itu tak akan melewati dirinya begitu saja. Terlalu sayang mungkin jika sesaat saja membiarkan Bara hidup tenang, damai tanpa rentetan masalah. "Jangan pernah sebut namaku di sana." "Beres, aku pakai orang ketiga untuk transaksi." Bara berdehem, setidaknya untuk beberapa saat, dia bisa menyembunyikan diri. Tetap merangkum kedamaian di pinggiran kota dengan tinggal bersama Anna. "Dia minta berapa?" tanya Bara. Langkahnya terus terayun, menyusuri trotoar temaram. Sesekali dia berpapasan dengan sepasang kekasih yang tengah bergandengan tangan, atau justru mepet ke tembok dan pohon untuk saling b******u. Bara akan mendengkus kecil melihat itu, bukan karena iri. Lebih pada prihatin. Seolah norma kesopanan itu sudah menghilang. Terkikis zaman mungkin. Oh, dia lupa. Di mana tempat dia tinggal beberapa hari ini, tak jauh dari pusatnya hiburan malam. "250." "Juta?" tanya Bara, meski sudah tahu jawaban pastinya. Kevin di seberang telepon mengumpat. "s**t! Jangan pura-pura bodoh." Bara tertawa. Tak menduga motor lawasnya masih bisa ditawar dengan harga sefantastis itu. Ah, pasti pembegal motornya tidak akan menjual sampai semahal itu. Dia jadi menyesal. Kenapa saat dibegal kemarin tidak bernego saja, memberi uang tunai misalnya. Senilai motor itu dijual. Agar Bara tidak perlu berhubungan dengan pasar gelap. Yah, pemikiran absurdnya yang hanya mampu di telaah dia seorang. "Aku transfer besok pagi," "Bos mah bebas yah," kikik Kevin. Uang sejumlah itu mah, kecil bagi Bara. "Sekalian bonus dong," Bara mencibir. "Dapatkan tempat yang aku minta dulu," "Ck, belum ada yang cocok sesuai kriteriamu. Besok aku kabari lagi deh." "Hm, oke. Thanks ya, jangan sampai keceplosan namaku loh Kev." tekan Bara, was-was. Suka ember mulut temannya satu ini. Setelah mendapat balasan mantap dari Kevin. Bara menutup panggilan, kembali melangkahkan kaki pulang. Tak ingin berlama-lama di tempat yang mungkin banyak mata bisa mencurigainya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD