6. Teman Kampus

1683 Words
6. Teman Kampus Hidup itu, bukan cuma hitam dan putih, Ada abu-abu di tengahnya, Juga sapuan warna cerah jika kamu pinta Seindah itu, maka jangan biarkan kamu tenggelam dalam lingkaran abu --- Langit cerah, dengan matahari menggantung di atas sana, membuat senyum Anna yang terkulum semakin terlihat indah. Seolah tengah mengumbar pada dunia, bahwa senyumnya tak kalah mempesona dari cahaya matahari. Anna tidak peduli meski beberapa mahasiswa melirik ke arahnya dengan kernyitan di kening. Gadis itu terus melangkah memasuki kantin. Memindai sesaat untuk mencari Nuri yang katanya sudah berada di kantin. Kelas terakhirnya hari ini baru selesai, dan Anna segera melesat pergi. Tak sabar untuk bertemu Nuri dan bercerita tentang beberapa hal akhir-akhir ini. Di meja paling ujung, dengan jangkauan terjauh, Anna mendapati sahabatnya duduk sendiri di sana. Sebelum melangkah ke arah Nuri, Anna membelokkan tubuhnya ke counter minuman, memesan segelas jus jeruk dan beberapa cemilan. Baru saja Anna mengayun langkahnya mendatangi Nuri, tiba-tiba dia merasakan seseorang menubruknya dari belakang. Membuat dia limbung dan jatuh terantuk kursi kantin. Anna mengaduh, lututnya gemetar nyeri. Bahkan sesaat, dia merasa tak bisa menggerakkan sebelah kakinya. Seolah ada aliran listrik berkekuatan sedang menjalar tubuhnya. Meringis kecil. Anna melirik ke arah minumannya yang tumpah, beserta cemilannya yang berserakan di lantai. Sebagian minumannya lebih dulu membasahi pakaiannya, sebelum lepas dari genggaman. Suara kikikan perempuan membuat Anna enggan menoleh. Dia tahu pelakunya, dan sungguh tak ingin membuat masalah. Tapi ... "Jalan pakai mata keleus!" "Sekolah tinggi, tapi jalan aja nggak becus!" Kalimat cibiran itu terdengar memekakan telinga. Hilang kesabaran Anna, dia bangkit perlahan. Berpura-pura tidak merasakan sakit hanya untuk menghadapi si lidah ular. Anna menarik napas panjang, mengibas pakaiannya yang basah. Setelah itu, dia mendongakkan kepala dengan dagu terangkat. Menantang. "Minta maaf." tuntut Anna tegas, tanpa takut. "Kemarin-kemarin aku biarin, tapi kali ini jangan harap bisa leluasa gitu aja." Mitha menyeringai, dengan sebelah alis terangkat. "Lupa posisimu di sini. Murahan." Anna mengepalkan tangan, siap melayangkannya ke wajah Mitha, sebelum lengannya dicekal seseorang. Gadis itu menoleh, dengan kobaran amarah, melihat Sandi yang datang tiba-tiba. "Jangan diladeni," bisik Sandi, lalu menyeret Anna menjauh. Mitha tertawa. Meremehkan. "Ya ... pergi sana pasangan murahan!" Dengan mata membeliak marah, Anna menoleh ke belakang. Ingin rasanya dia mengacungkan jari tengahnya ke arah Mitha, tapi, di tahan. Masih di area kampus, tindak tanduknya jelas diperhatikan. Apalagi dia mahasiswa dengan beasiswa penuh. Sekali lagi, Anna mengalah. Dari pada tak bisa kuliah. "Lepas, San. Aku nggak bakal ribut." Anna menggeliat ingin lepas dari dekapan lengan Sandi di bahunya. Memang, jika Sandi tidak datang, Anna mungkin sudah berkelahi sekarang dan kelepasan. "Lho ... Anna, kenapa?" Telat.  Nuri menengadah, menoleh melihat Anna yang tengah berjalan ke arahnya. Gadis itu segera melepas earphone yang sedari tadi menyumpal telinganya, sehingga luput dari keributan yang terjadi beberapa meter di belakangnya. "Anna jatuh," Sandi yang menyahut. Menarik salah satu kursi dan mendudukkan Anna. "Kok bisa?" kernyit Nuri, dia memindai sekitar kantin. Anna mendecap. "Ada cacing kepanasan tadi," Sandi terkekeh, menggelengkan kepala melihat wajah sebal Anna. Yah, dia tahu kronologi terjatuhnya Anna tadi. Dia juga sempat mengepalkan tangan ingin melayangkan pukulan. Namun, mengingat dia laki-laki dan kebetulan tidak jauh dari kantin ada beberapa dosen tengah berbincang. Sandi memilih membawa pergi Anna, dan menerima dengan lapang luapan kekesalan gadis itu. Mencebikkan bibirnya, Anna melirik jengkel sosok laki-laki yang duduk di sebelahnya. "Nggak usah ketawa." Anna menggumam sengit. Yang justru dibalas dengan kekehan Sandi semakin panjang. Sedangkan Nuri hanya menaikkan sebelah alis tak mengerti. Interaksi Anna dan Sandi memang sesantai dan sesengit itu. Anna mengusap lututnya yang berdenyut, tidak mengeluarkan darah memang, tapi Anna yakin ada luka lebam membiru di sana. Mood-nya yang sempat menggebu tadi, lenyap seketika. Membuat dia ingin cepat-cepat pulang saja. "Aku ambilin obat ya," Sandi hendak beranjak, berniat ke klinik meminta obat, yang dia yakini lutut Anna pasti terluka. Meski tertutup celana panjang. Anna menahan langkah Sandi dengan mencekal pergelangan tangan cowok itu. "Nggak perlu, nggak sakit kok." dustanya. Menampilkan senyuman tipis, seolah nyeri di lututnya bukanlah apa-apa. "Luka di mana sih? Sini, aku lihat," Nuri nimbrung, memindai tubuh Anna atas bawah. Yang tidak ingin Anna lakukan adalah menggulung celana panjangnya untuk memperlihatkan luka di lututnya. Tidak pada Nuri apalagi Sandi. "Nggak ada luka, aku sehat walafiat." cengir Anna. Sandi menaikkan sebelah alis. "Kamu yakin?" Anna mengangguk mantap. "Yakin lah." Mendesah, Sandi mencoba percaya. Kalau sakit, nggak mungkin juga Anna bisa berdiri tegap dan mengikuti langkahnya saat diseret tadi. "Ya udah, aku ada janji tugas kelompok. Pergi dulu ya," Sandi pamit, mengukir senyum tipis, lalu menambahkan. "Hati-hati ya pulangnya," Nuri dan Anna mengangguk bersamaan. "Ya udah, aku juga pulang deh," Anna memundurkan kursinya dan beranjak berdiri. "Eh. Kamu mau langsung pulang?" Nuri bertanya, dengan sedikit kernyitan di dahi. "Aku sendirian dong." "Udah sore. Langsung pulang, mau istirahat." ucap Anna, lalu melambaikan tangan dan berlalu pergi, diiringi kekehan tawa renyahnya. *** Harusnya, Anna pulang dengan langkah terayun ceria. Berjengit-jengit bak anak kecil karena tiba di rumah sebelum matahari tenggelam. Tidak ada deadline untuk tugas-tugasnya, atau kerja sampingan dari teman-temannya, yang meminta dirinya membantu membuat tugas. Hari ini, Anna free. Niatnya ingin hepi-hepi, namun berubah prihatin karena harus mengayun kakinya dengan sedikit menyeret. Lututnya masih nyeri. Tadi, di depan teman-temannya, Anna bersikap bak super hero, yang terluka namun tak merasakan sakit. Hingga dia turun dari bus, dan berjalan melewati gang menuju rumahnya, Anna tiba-tiba tak ingin berpura-pura. "Kak Bara," Anna memanggil, membuka pintu rumahnya yang tak terkunci. Senyumnya mengembang ketika wangi masakan menyambut indera penciumannya. Sejak Bara tinggal bersama di rumahnya, Anna kembali merasa memiliki keluarga. Ada orang yang menyambutnya di rumah, menungguinya pulang ngampus dan menyiapkan makanan. Untuk yang terakhir, Anna merasa tidak enak. Karena Bara begitu memperhatikan pola makannya. Masakan sederhana yang kaya gizi dan lezat sekali. Dan Anna tidak bisa untuk mengatakan tidak. Anna menggeret kakinya untuk duduk di salah satu kursi, kemudian menaikkannya dan menggulung celana panjangnya, hingga menampilkan luka lebam tepat di lutut. Cukup lebar, dan membiru, pekat. Gadis itu meringis, ketika mengusap lukanya. "Lho, sudah pulang?" Bara muncul dari dapur dengan wajah yang tampak berminyak dan beberapa tetes keringat tampil di dahi. Anna mengukir senyuman tipis, menutupi lukanya dengan telapak tangan. "Iya. Kakak lagi masak yah?" Bara mengangguk. Menarik beberapa lembar tissu dari atas kulkas kemudian mengusap wajahnya kasar. "Baru aja selesai." serunya bangga. Tak ada sedikitpun raut keengganan di wajahnya ketika rutinitas hariannya hanya memasak. "Wanginya sampai ke depan rumah," decap Anna. Hidungnya kembali mengendus nikmat. Hingga, tanpa sadar, perutnya berbunyi, keroncongan. Refleks, Anna menutupi wajahnya dengan dua tangan. Malu. Berharap Bara tidak mendengar cacing nakal di perut yang selalu berontak ketika wangi masakan Bara mengudara. Memang sih, dia belum sempat makan siang. Jus alpukat dan cemilannya raib, menggelepar di lantai, tanpa sempat dia cicipi. Dan setelahnya, nafsu makannya menghilang begitu saja. "Kamu terluka?" Bara berjengit kaget. Duduk di dekat Anna dan melihat lebam membiru di lutut gadis itu. Anna membuka tangkupan telapak tangannya, melirik Bara yang sudah duduk di hadapannya dengan kotak P3k dipangkuan. Sejak kapan Bara mengambil kotak itu. Oh, mungkin kotaknya memang menetap di atas meja ruang tamu. Luka Bara juga belum sembuh sepenuhnya, sesekali Anna masih sempat membantu mengobati. "Nggak pa-pa Kak, hanya lebam," Anna mencoba menepis gerakan tangan Bara, yang akan mengoleskan salep lebam di lututnya. Terlambat, Bara lebih dulu menyentuh lebamnya. Membuat dia meringis nyeri. Beginikah memiliki seorang kakak? Diperhatikan. Dengan Bara, Anna merasa disayangi. Mungkin, dia memang berlebihan. Tapi ... jauh di dalam hatinya, dia teramat bahagia dengan kehadiran Bara. Anna tersenyum, ketika Bara begitu telaten mengobati lukanya. Mengusap lututnya begitu lembut. Menunduk, menatap saksama lebam Anna dan meniupnya. "Kenapa bisa begini?" tanya Bara, mendongak dan membuat tatapan matanya bersirobok dengan manik mata Anna. Beberapa saat, Bara menyimpan kuluman senyumnya, ketika Anna tampak salah tingkah. Gadis itu, begitu pintar menyembunyikan ekspresi. Lihat sekarang, kegugupan Anna sudah menghilang, berganti dengan senyuman tipis menawan. Ahh, Bara tak akan bosan melihat Anna menampilkan senyuman semenawan itu. Inginnya, dia kantongi dan dibawa ke pelukan. Bisakah? Tentu saja, itu hanya ilusinya saja. "Dicium meja," sahut Anna, malu. Sudah besar, tapi jalan saja masih salah melangkah. "Mejanya kurang kerjaan banget sih," decap Bara akhirnya. Menyudahi acara mengobati. Anna meringis, sekali lagi salah tingkah. Namun, dia juga mengangguk dengan senyum tipis terkulum. Setidaknya, Bara tidak bertanya macam-macam. Dan memilih percaya. *** Setelah masing-masing selesai membersihkan diri. Bara mengajak Anna untuk makan bersama. Yang selalu disambut gegap gempita gadis itu. Dan kini, mereka tengah asyik di ruang tamu. Kekenyangan. Bara melirik Anna yang duduk di sebelahnya, tengah menonton acara TV. Reality show yang setiap malam selalu ditayangkan, dan selalu ditonton karena hanya channel itu yang gambarnya lebih manusiawi. Selebihnya jangan ditanya. Semutnya memenuhi TV tabung 14 inchi itu. "Kamu tidak berangkat bekerja?" tanya Bara, karena jam sudah menunjuk pukul delapan malam, namun nampaknya tidak ada tanda-tanda Anna akan beranjak dari duduknya. Anna menoleh, lalu menggeleng. "Tidak. Aku sudah izin tadi," Meski kakinya sudah tidak sesakit sore tadi, namun Anna ragu untuk berangkat kerja. Iya kalau di club tidak membuat repot. Kalau justru membuat kacau, nanti gajinya dipotong. Jadi, semakin sedikit saja dia menerima gaji bulan ini. "Masih sakit?" "Tidak seberapa Kak, di banding luka Kak Bara kemarin," Bara mendengkus. Lukanya sudah sembuh, hanya di lengan yang belum kering sepenuhnya. Pastilah lama, karena tidak ditangani tenaga medis yang ahli. "Apa di tempatmu bekerja tidak membuka lowongan pekerjaan untuk lelaki?" Anna kaku, beruntung wajahnya menghadap ke TV sehingga Bara tidak menyadari. Dia tidak sempat mengira-ngira Bara akan menanyakan hal itu. Lebih tepatnya, dia tidak ingin memberi tahu Bara di mana tempatnya bekerja. "Kakak mau bekerja?" tanya Anna, dan itu adalah pertanyaan bodoh. Kedatangan Bara ke kota pasti untuk mencari kerja. Memang, untuk apa lagi? Bisa saja liburan kan? Nampaknya itu bukan jawaban. "Iya, bosan berdiam terus di rumah." Anna mengatupkan bibirnya, berpikir. Dia tidak mungkin menunjukkan tempat kerjanya pada Bara. Nanti, Bara menilainya macam-macam. Anna sudah lelah dipandang murahan. Sehingga, dia menutup pembicaraan tentang pekerjaan itu dengan teramat tenang. "Besok, aku coba carikan Kak, tanya ke temen-temen aku juga, ya," Bara tersenyum tipis menanggapi, diimbuhi anggukan kepala. Dan berakhirlah malam itu, mereka menonton TV berdua. Membahas apa pun yang tengah disiarkan. Membuat rumah yang biasanya selalu sepi, kembali hangat karena lontaran percakapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD