8.Kelab Malam

1466 Words
8. Kelab Malam Tidakkah satu kebohongan, Hanya untuk menutupi kebohongan lain, Terus seperti itu, sampai kamu lelah dan tak lagi ada kita. --- Mungkin, ini sudah menjadi rutinitas harian Bara yang begitu menyenangkan. Mendatangi tukang sayur di depan rumah setiap pagi. Memilah sayuran, dan berpikir, akan masak apa nanti siang. Lelaki itu hanya berusaha menyederhanakan harinya. Setidaknya ingin menikmati kebebasannya untuk sementara. Meski tak sepenuhnya dia dibebas tugaskan dari pekerjaan yang dia tinggalkan. Lewat ponsel dan laptop yang sengaja dia bawa, dan beruntung tidak ikut dibawa begal. Bara mencoba tetap bertanggung jawab, dia memang tidak secara langsung menangani, namun keputusan darinya tetaplah menjadi pertimbangan utama. Oh, jika Anna tahu dia tak sepenuhnya jujur, mungkin gadis polos itu akan langsung menyeretnya keluar rumah. Bara pun sejujurnya bertanya, mengapa dia bertahan tinggal dengan Anna. Padahal dia bisa menyewa rumah lebih layak huni yang di lengkapi fasilitas memadai. Dan seberapa sering pun Bara menanyakannya, jawabannya tak kunjung terganti. Sebab, detak jantungnya selalu berdebar menyenangkan saat bersama Anna. "Ayam sama kangkung deh Bang," Bara berujar, sembari masih memilah sayur lain. Dia sudah mirip bapak rumah tangga. Hobi masak. "Oke bos, tambah buahnya?" sahut si abang tukang sayur. Bara mengulum senyum, menganggukan kepala, kemudian mengambil seplastik mangga. Biasanya sih, Bara hanya belanja sendiri. Namun pagi ini, tiga orang ibu-ibu serempak mendatangi. Dan segera menempatkan diri di sekeliling Bara. "Mas ini siapanya Anna? Saudara atau pacar?" tanya salah seorang ibu dengan daster merah bata. Bara yang hendak beranjak karena belanjaannya sudah dibayar, mengurungkan langkah. "Duh, ibu-ibu nggak usah kepo. Dilihat dari wajah dan perilaku. Mas ini orang baik kok," Abang sayur menyela. Menengahi serbuan ibu-ibu yang ingin tahu. "Bukan itu Bang, kami nggak mikir buruk kok. Malah, ingin bilang ... titip Anna," ibu berbaju batik menyahut kalem. Kali ini, Bara sepenuhnya membalikkan badan. Menghadap pada tiga ibu-ibu yang menyerbunya dengan pertanyaan pagi ini. Bara tergelitik. Untuk satu pernyataan. Titip. Memang, ada apa dengan Anna? "Saya temannya Anna, Bu," Bara mengulum senyum. Senyuman termanis yang membuat ketiga ibu itu menganga. "Kebetulan, saya dari luar kota, jadi menumpang tinggal di sini sebelum mendapat pekerjaan." Semuanya mengangguk serempak. Tampak maklum dengan pendatang baru. "Mas nya ganteng banget. Ya ampun," Bara hanya mengukir senyuman mendengar selorohan ibu paling gemuk dari yang lain. Ibu baju merah bata mendekat. Mengabaikan jika abang sayur mungkin ingin berkeliling lagi. "Hanya teman? Tahu nggak, Anna kerja apaan?" Bara menyipit, curiga. Meski dia sudah tahu Anna bekerja di mana. Kepalanya tetap saja menggeleng. "Nah kan," ibu baju batik, bertepuk tangan. "Anna tuh super licin," Kali ini, ibu bertubuh gemuk yang mendekati Bara, menepuk sebelah bahu lelaki itu. "Kami percaya kamu temannya, jadi titip Anna yah, tolong jagain dia di kelab. Kami sudah lelah menasehati." Kelab? Bara mengerjap. Menaikkan sebelah alisnya. Memasang telinga baik-baik, menyimak. Apakah yang dia lihat semalam, bukan tempat kerja Anna yang sesungguhnya? Menilik dari raut wajah tiga ibu-ibu itu, ditambah abang sayur yang menunjukkan muka khawatir perhatian. Bara tak bisa memungkiri untuk tidak percaya. "Anna gadis baik, hanya saja kehidupan yang terlalu keras seiring waktu membuat pola pikirnya pun keras kepala. Dia sudah tidak mau lagi mendengarkan omonganku. Bekerja di tempat seperti itu, bahaya bagi gadis seusianya." Ibu bertubuh gemuk, bercerita sendu. Bara ingat, sesekali dia memergoki ibu itu berdiri di depan rumah, tepat di samping rumah Anna. Menatap dirinya, yang sesekali tengah berbincang dengan Anna saat pagi hari, sebelum gadis itu berangkat ke kampus. Bara masih diam, ingin mendengar apa pun perihal tentang Anna. Kini, hanya tersisa tiga orang, Bara, ibu berbatik dan ibu gemuk. Abang sayur dan ibu berdaster merah sudah pergi, kembali menjalani rutinitas. Membiarkan Bara, bergosip dengan dua ibu lain. Tapi, tidak sepenuhnya gosip? Jika apa yang dibicarakan adalah fakta. Hingga beberapa waktu terlewat, barulah obrolan itu dihentikan. Kedua ibu itu pamit undur diri, sedang Bara masih berdiri di depan pagar besi rumah Anna yang sudah berkarat. Dia mendongak, memindai rumah tua di hadapannya. Dari obrolan Bara dan ibu-ibu tadi, Bara jadi tahu, jika Anna hanya tinggal bersama neneknya, yang dua tahun lalu baru saja tiada. Sedangkan kedua orang tua Anna, entah di mana. Karena menurut kesaksian dua ibu itu, Anna dan neneknya pindah ke rumah ini berdua saja. Bara menghela napas. Gambaran hidup Anna yang pontang-panting sendirian dua tahun ini, mencubit ulu hatinya perlahan. Membuat Bara semakin yakin, untuk tidak meninggalkan gadis itu sendirian. *** Bara duduk di depan sebuah ruko dengan tampilan minimalis bercat monokrom. Berada di lokasi strategis, tepat di sebelah perempatan lampu merah. Di deretan ruko mewah yang membentang beberapa puluh meter. Halamannya luas, cukup untuk parkir motor beberapa dan mobil, juga trotoar bersih tanpa pengendara nakal. Ruko dua lantai itu, memikat Bara untuk segera memiliki. Sesuai keinginan, berada kurang lebih satu kilo meter dari kampus Anna. Bara mengulum senyum. Di dalam kepalanya, sudah tergambar, akan dia apakan gedung dua lantai itu. "Ya ampun Sob, kangen banget deh aku," Bara mendengkus, ketika Kevin tanpa salam apa pun, mendatangi dirinya dan langsung merangkul bahunya. Dia memang mengatur janji dengan Kevin untuk bertemu. Meninjau lokasi yang Kevin tawarkan. "Gimana kabar? Tega bener, ke sini nggak bilang-bilang. Berdecap, Bara melangkah menjauh dari ruko untuk duduk di kursi besi, tepat di bawah pohon. Kevin mengikuti, dan duduk di sebelahnya. "Sampai detik ini, masih bisa napas," Itu adalah balasan paling tidak peduli dari Bara. "Syukurnya," Kevin terkekeh. "Sadar nggak? Kamu itu kena karma. Karena kabur dari rumah lalu ke sini tanpa bilang padaku." "Bukan karma, tapi anugerah." seloroh Bara, mengulum senyuman. Bukankah sejak malam itu, Bara tidak menyesali sedikitpun. Hidupnya baik-baik saja selama ini, bersama Anna. Gadis manis yang keras kepala, namun begitu pandai beramah tamah padanya. "Jadi, kamu menginap di hotel mana?" tanya Kevin. Mengabaikan selorohan Bara yang terdengar janggal. Tidak ada p********n yang membawa anugerah bukan? Jika orang itu masih normal-normal saja. Bara tersenyum miring. Menyahut nyeleneh. "Tempat luar biasa, yang tidak akan kuberi tahu padamu. Terlalu berharga jika kamu monopoli." Kevin berdecap. Sekali lagi, mengabaikan ucapan Bara. Lelah jika saling menyahut tak jelas seperti itu. "Kamu yang selesaikan semua ya, terserah berapa harganya," ucap Bara setelah melirik jam tangan yang melingkar pergelangan tangan kirinya. "Jadi, kamu setuju dengan tempat ini," desah Kevin mendongak, menatap bangunan dua lantai di hadapannya. "Iya. Telepon aku, jika transaksinya selesai. Aku harus pergi sekarang." "Cepat sekali, kita bahkan belum sempat makan?" Kevin terheran-heran melihat kelakuan Bara. Padahal mereka baru bertemu setelah berbulan-bulan tak pernah bertukar cerita. Terakhir kali bertemu, yah, saat dia bertandang ke Bali. Dan kedatangan Bara ke Jakarta adalah pertama kalinya di tahun ini. Tanpa pemberitahuan apapun. Bara menepuk sebelah bahu Kevin pelan, pengertian. "Aku sibuk, lain kali saja. Selesaikan transaksinya dengan baik ya bro." "Hm, jangan lupa bonusnya." "Iya Kev. Ingatkan saja terus. Sampai aku bosan." Kevin tergelak. Sejujurnya, dia tak peduli dengan bonus-bonus yang selama ini dia selorohkan. Hanya, sedikit pemanis lah baginya. "Oke deh. Aku pergi dulu. Thanks buat semuanya. Sebagai tambahan, motornya biar tempat kamu saja dulu." Setelah mengatakan itu, Bara berlalu pergi. Menghentikan taksi dan melambai pada Kevin yang duduk dengan bibir cemberut. Dia membiarkan Kevin bertemu pemilik gedung dua lantai itu untuk transaksi. Sedangkan dia, menjemput separuh hatinya. Ah, dia nampak seperti remaja yang tengah dimabuk cinta. Tiba di depan gerbang kampus Wijaya, Bara meminta berhenti. Turun dari taksi setelah memberi ongkos sesuai tarif. Bara menyugar rambut panjangnya, duduk menanti Anna yang entah sudah keluar kampus atau belum. Hanya mempertaruhkan keajaiban, agar bisa bertemu Anna. Siapa tahu mereka punya chemistry. Apa pun bisa terjadi bukan? "Kak Bara?" Nah. Bara mengulum senyum, menoleh menatap Anna yang berjalan menghampirinya dengan kening berkerut. Bertanya-tanya. Padahal belum genap lima belas menit, namun separuh hatinya sudah datang menghampiri. "Halo Anna," sapa Bara ceria. Beruntungnya, gadis itu hanya sendirian. Membuat Bara tak perlu terlalu banyak memberi alasan. "Kak Bara sedang apa di sini?" Tepat seperti yang Bara pikirkan, akan pertanyaan pertama yang Anna lontarkan. "Habis keliling kota, sekalian menghapal jalan. Eh, nggak sengaja tiba di depan kampusmu," Anna mengangguk. Tidak curiga sedikit pun. Dia justru duduk di samping Bara menunggu bus. "Untung nggak nyasar Kak," desahnya. Bara tersenyum tipis. Melirik Anna, dan kembali mengingat perkataan ibu-ibu tetangga pagi tadi. Dia tak bisa membiarkan, jika Anna betulan bekerja di tempat seperti itu. Mereka diam, menunggu. Hingga gerobak asong pedagang buah potong melewatinya. Bara menghentikan, membeli beberapa potong semangka dan melon. Setelahnya memberikannya pada Anna, masih dengan senyuman manisnya. "Lumayan, buat seger-seger," "Makasih Kak," Anna tersenyum, mengambil sepotong semangka dan menggigitnya. Segar memang, seperti yang Bara katakan. Kenapa sesederhana ini, mampu membuat dia nyaman. Bara ikut menggigit semangka, seperti milik Anna. Dengan tatapan tak lepas dari wajah gadis itu. Hingga dia menyadari sesuatu. Serta merta, Bara mengulurkan tangan, mengusap dagu gadis itu dengan jemarinya. Ada tetesan air semangka di sana, yang tidak Anna sadari. Anna termangu, berkedip beberapa kali dengan semburat merah muda yang perlahan menjalari pipi. Dia tidak tahu, sedikit perhatian dari Bara, menggantungkan begitu banyak harap. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD