4

1348 Words
Catatan harian Rachael Simone Ditulis pada: Juli 2016 (4 tahun sebelum pembunuhan) Pagi ini aku terbangun dengan menyadari kalau aku mencintai laki-laki itu lebih dari sebelumnya. Itu terasa menenangkan mengetahui bahwa aku masih bisa merasakannya, tapi itu juga terasa aneh - dan menakutkan. Aku bertahan selama bertahun-tahun untuk menyakini bahwa aku dapat mengendalikan segalanya, dan ketika Denise muncul, semuanya berubah begitu saja. Laki-laki itu adalah sesuatu yang tidak bisa kukendalikan, itulah mengapa aku mencintainya. Tapi aku bukan Rachael yang dulu, aku tahu apa yang kuinginkan dan aku akan mendapatkannya. Denise setuju denganku, itulah mengapa aku berpikir bahwa kami memiliki kesamaan. Dia sering menyebut kami sebagai pasangan muda yang ambisius dan aku suka caranya mengatakan itu - aku hampir memercayainya. Kami begitu bagus dalam pekerjaan kami, kami sudah sejauh ini dan dia percaya kalau segalanya akan menjadi lebih baik dengan sebuah pernikahan. Ketika hubungan kami menjadi lebih serius, kuberitahu Denise kalau aku tidak menginginkan pernikahan karena aku tahu kemana ini akan mengarah. Denise tidak mempermasalahkan hal itu pada awalnya. Dia tidak keberatan menempati apartemen yang sama denganku tanpa sebuah pernikahan. Dia mengatakan kalau kami pasangan modern, kami bisa hidup dengan itu. Tapi kemudian orangtuanya mengunjungi kami malam ini dan mengatakan padaku secara halus kalau mereka tidak ingin putra bungsunya menjalani sebuah hubungan tanpa status. Jadi kuberitahu mereka kalau kami sudah membicarakannya dan Denise sama sekali tidak keberatan tentang hal itu. Tapi aku tidak tahu kalau pengakuan itu justru hanya mengacaukan malam kami. Orangtuanya marah, menolak untuk percaya kalau Denise benar-benar sepakat tentang itu. Mereka mengatakan padaku - secara jelas, bahwa putranya sudah bermimpi memiliki keluarga kecil dan pernikahan yang bahagia sejak dulu dan itu membuatku kacau. Untuk satu titik tertentu, aku merasa bahwa aku tidak benar-benar mengenal pria ini. Jadi kami berdebat malam ini. Aku merasa marah karena dia tidak jujur padaku bahwa dia tidak pernah mengatakan hal itu pada orangtuanya. Kupikir aku sudah menjadi begitu rasional tentang hal itu. Dia bilang tidak ada yang perlu disembunyikan di antara kami - jadi aku memercayainya. Tapi aku keliru, dan sekaligus benar. Ada beberapa hal yang tidak akan pernah kau bagi dengan siapapun, jadi aku memaafkannya. Dan dia memintaku untuk menikahinya. Dan aku berpikir.. Mungkinkah? Mungkinkah pernikahan itu benar-benar dimaksudkan untukku? Aku terpikir untuk menolak, tentu saja. Tapi itu adalah reaksi yang akan kutunjukan dulu, dan aku bukanlah Rachael yang dulu - jadi kujawab ‘ya’. -  “Kau yakin tidak mau minum sesuatu? Aku bisa meminta seseorang membawakannya untukmu.” Elias tersenyum lebar seolah Abe baru saja mengatakan sesuatu yang konyol. Setahunya tempat itu tidak pernah bermurah hati untuk memberinya secangkir kopi atau teh. Pikirnya Abe berusaha membuat pertemuan mereka menjadi lebih nyaman bagi Elias, tapi Elias menatap ke sekelilingnya dan menyadari kalau ia tidak akan pernah merasa nyaman selama masih berada disana. Jadi Elias menggeleng untuk menolak tawarannya. “Baiklah, sampai dimana kita tadi?” “Gadis itu..” “Ah, ya!” Abe membenahi posisi duduknya di atas kursi sebelum membetulkan kaca mata yang merosot di atas tulang hidungnya yang lurus. Ada sesuatu yang khas tentang cara laki-laki itu duduk selagi mendengarkannya. Abe akan menyilangkan satu kakinya di antara satu kaki yang lain, membiarkan punggungnya bersandar selagi mencari posisi nyamannya di atas kursi. Ia akan membenahi kaca matanya setiap beberapa menit sekali, seolah-olah gerakan itu sudah menjadi refleks alaminya. Kemudian kerutan di dahinya akan muncul setiap kali pertanyaan yang muncul di kepalanya tertahan di ujung lidah. Namun itu sekaligus menjadi hal yang membuat Elias merasa nyaman. Elias dapat duduk berlama-lama di ruangan tertutup itu, berhadap-hadapan dengan Abe dan membuka pikirannya secara gamblang selagi tatapannya menelunsuri permkaan dinding kosong yang mengelilinginya. Jendela yang selalu tertutup rapat tidak mengizinkan kebisingan untuk masuk dan mengusik percakapan mereka, dan Abe lebih seringnya mendengar. Terkadang Elias berpikir laki-laki itu tidak nyata, ia hanyalah wujud lain dari pikiran kedua yang akan mendengarkan setiap kalimat yang disampaikan oleh pikiran pertamanya dengan hati-hati. Mungkin begitulah seharusnya seorang terapis bersikap. Mungkin satu-satunya hal yang perlu dipelajari untuk menjadi terapis yang baik hanyalah seni untuk mendengarkan orang lain. “Jadi, apa yang membuatmu tertarik tentang gadis ini?” Elias menunduk menatap lantai polos di bawah kakinya. Lampu yang menggantung di langit-langit menjadi satu-satunya sumber cahaya yang membanjiri seisi ruangan. Elias menekuk jari-jarinya selagi ia merasakan kehangatan menjalar ke setiap pori-porinya, kemudian pikirannya sibuk mencari-cari sebuah alasan untuk menjawab pertanyaan terakhir Abe. Apa yang membuatnya tertarik? “Bukan apapun,” katanya. Abe tersenyum, tatapannya yang hangat sama sekali tidak menghakimi bahkan ketika ucapan berikutnya mengatakan sebaliknya. “Dia pasti berarti sesuatu jika kau masih mengingatnya.” “Mungkin, ya.” “Jadi?” “Aku sering melihatnya berdiri di belakang jendela, dari hari ke hari.” “Apa yang dia lakukan?” Kedua bahu Elias terangkat, tatapannya kosong sedang pikirannya berkelana ke sebuah tempat yang tidak berharap akan diingatnya kembali. Namun Elias mendapatinya dirinya akan terkurung di tempat itu, mencari-cari jawaban yang ia tahu tidak akan pernah ia temukan hingga detik itu, hingga kehidupannya berubah. “Dia tidak melakukan apa-apa. Dia hanya menatap keluar jendela – dia melihatku berdiri di kebun rumah keluargaku, tapi ketika aku melambai, dia tidak membalas, tidak menunjukkan reaksi apapun. Baru aku sadar kalau dia tidak sedang mengamatiku. Pikirannya berada di tempat yang jauh.” “Siapa gadis ini?” “Aku tidak tahu, dia tidak pernah memberitahu namanya. Tapi aku suka memikirkannya sebagai Madison, kupikir nama itu cocok untuknya. Dia pernah tinggal di seberang rumahku. Dia gadis kecil yang kesepian, tampaknya seperti dia menjalani kehidupan yang baik-baik saja. Tapi aku salah. Aku hanya tidak melihat apa yang dia sembunyikan. Dia tidak punya adik atau kakak, dia hanya sendirian dan dia suka menulis. Kadang aku melihatnya duduk dan menulis. Tapi bahkan ketika sedang menulis, dia suka melihat keluar jendela. Untuk gadis kecil seusianya, kupikir dia sedang membayangkan kehidupan di luar sana.” “Kehidupan apa?” “Aku tidak tahu, kehidupan yang tidak dia miliki.” “Dan apa yang dia miliki?” Elias menyipiskan kedua matanya, berusaha memikirkan kalimat yang tepat sebelum menyerah pada satu kata: “kesedihan.” Abe tersenyum lagi. Ketika Elias pikir laki-laki itu akan mengatakan sesuatu, ia justru terdiam. “Dia bisa berdiri di belakang jendela selama berjam-jam, tidak melakukan apapun selain melihat ke luar. Terkadang dia menjadi objek yang tepat untuk lukisanku.” “Aku tidak tahu kau suka melukis?” “Tidak terlalu sering,” kilah Elias. “Hanya ketika inspirasi itu datang.” “Dan gadis ini.. sumber inspirasimu?” Pertanyaan itu mengusiknya, namun Elias tidak dapat mencegah dirinya untuk tersenyum dan berkata, “kupikir begitu.” “Apa yang kau suka darinya?” “Aku tidak yakin aku menyukainya, aku hanya penasaran – atau tadinya kupikir begitu sampai aku tahu apa yang diperbuat orangtuanya pada gadis itu.” Hening. Suara helaan nafasnya menggantung di udara. Dalam keheningan itu, Elias dapat merasakan suhu udara yang meningkat memicu bulir keringat bermunculan di atas dahinya. Namun tidak sepertinya, Abe dapat duduk dengan nyaman di atas kursi tanpa keinginan untuk membuka jendela dan membiarkan angin segar masuk dan menyikirkan hawa panas di dalam sana. Tapi seharusnya tidak ada yang salah dengan suhu udara di dalam ruangan, bahkan seharusnya suhunya menurun karena udara di sekitarnya mulai terasa dingin. Jadi itu pasti disebabkan oleh adrenalinnya. Jantungnya memompa udara lebih cepat dari yang seharusnya dan Elias dapat membaca tanda-tandanya dengan sangat mudah: tangan bergetar, jari-jari kaki yang menekuk, kedipan mata yang tidak beraturan. “Cobalah untuk mengatur nafasmu!” pinta Abe dari tempatnya. Elias memejamkan mata dan menuruti apa yang dikatakan Abe. Laki-laki itu benar, bukan karena ia selalu begitu, tapi karena Abe mampu membacanya dengan sangat baik, bahkan terkadang lebih baik dari dirinya sendiri. Seperti dugaannya Abe adalah pikiran keduanya. Dan ketika bersamanya Elias dapat mengatakan apa saja. “Kau tidak perlu menceritakannya sekarang jika kau tidak ingin.” “Aku ingin!” tegas Elias sembari menggertakan giginya dengan kesal. Persis seperti dugaannya, Abe menggeleng pelan. Laki-laki itu akan melawannya, tidak dengan cara keras, tapi entah bagaimana Abe selalu menang. “Kau belum siap,” ucapnya. Elias hendak menggeleng keras, tapi jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa laki-laki itu selalu benar.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD