PROLOG
Siang pukul 11 di rumah Dokter Simone
Bulir keringat jatuh membasahi pelipisnya.
Rachael Simone duduk di tepi kasur sembari memandangi layar ponselnya dengan nanar. Kedua matanya terasa menyengat dan tiba-tiba sekujur tubuhnya bergetar. Ia meletakkan ponsel itu di atas meja dengan terburu-buru. Kini perhatiannya terpusat penuh pada jarum jam yang berputar sebelum jatuh persis ke arah dinding polos berwarna hijau di kamar itu. Keheningan menyelimutinya. Hanya ada suara detak jarum jam yang mengisi setiap sudut tempat di dalam sana – kemudian suara helaan nafasnya. Jari-jarinya menepuk lutut ketika ia akan bangkit berdiri.
Mungkin sudah saatnya.
Sore pukul 5.30 di rumah Dokter Simone
Denise belum juga tiba.
Itu tidak seperti biasanya. Laki-laki itu selalu tepat waktu. Tapi sore itu ford hitam yang dikendarainya belum juga muncul di depan gerbang. Sebelum kesabarannya habis, Rachael memutuskan untuk turun ke dapur, menuang vodka ke dalam gelas kosong, kemudian menghabiskannya dalam sekali teguk. Nafasnya terengah. Ia membutuhkan dorongan kuat untuk meluruskan niatnya. Pada momen itu, vodka adalah pilihan terbaik, jadi Rachael menuangnya sekali lagi – dan lagi – dan lagi.
Malam pukul 7 di rumah Dokter Simone
Tidak ada waktu. Rachael harus menghubungi laki-laki itu.
Tapi panggilannya masuk ke pesan suara. Rachael menimbang untuk mengucapkan sesuatu, tapi secepat kemunculannya, ia mengurung kembali niatan itu dan memutuskan sambungan telepon dengan cepat. Mungkin sebentar lagi, pikirnya. Tapi dalam situasi itu, sebentar lagi terasa seperti selamanya.
Rachael tidak bisa menunggu lebih lama.
Malam pukul 11.50 di rumah Dokter Simone
Rachael merasakan tangannya bergetar ketika membuka pelan laci kecil di tengah ruangan. Jari-jarinya merogoh ke dalam hingga menemukan sebuah kain berwarna biru gelap. Kain itu sudah terlipat rapi, aroma parfum yang tercium seperti perpaduan mawar dan lilac menguar dari sana. Selama beberapa saat, Rachael hanya memandanginya dengan getir, kemudian ia mengikatkan kain itu untuk menutupi kedua matanya.
Hawa panas di dalam ruangan membuat nafasnya tercekat. Kegelapan menyelimutinya.
Dini hari pukul 00.18 di rumah Dokter Simone
Sembari mengatur nafasnya, Rachael mengangkat senjata api, mengangarahkan larasnya ke samping kiri, ke depan, dan ke samping kanan. Ia hendak memejamkan kedua mata, tapi kemudian teringat kalau kain biru itu masih terpasang di kepalanya. Dua nyawa, batinnya berbisik. Dua nyawa yang harus dikorbankan malam itu juga.
Tiba-tiba sekujur tubuhnya menegang. Aroma vodka yang sebelumnya tertinggal di lidah kini hanya menyisakan rasa pahit di mulutnya. Perutnya bergejolak, cairan empedu seakan dipompa naik ke tenggorokannya. Rachael hampir muntah di atas karpet. Sempat terpikir olehnya kalau hal itu akan membuat Denise kesal. Tapi kali ini laki-laki itu tidak akan dapat mencegahnya – tidak ketika Rachael mulai mengarahkan laras senapan dan melepas pelatuknya.
Satu tembakan.
Darah memuncrat keras ke dinding, menghamburkan seisi kepala sasarannya. Tubuhnya menegang saat mendengar suara teriakan seorang wanita yang teredam, kemudian..
Dua tembakan.
Dan semuanya menjadi senyap.