Karena tersesat, Elias tiba lima menit lebih lama dari yang dijanjikan. Ia memutar kemudi begitu melihat bangunan bertingkat dengan dinding batu dan sebuah pagar pembatas setinggi tiga meter di ujung jalan. Sebuah papan yang sudah berkarat memberi tahunya bahwa ia baru saja memasuki area tertutup di kawasan itu.
Bangunan tua yang dijadikan sebagai rumah sakit jiwa itu cukup luas. Tempatnya dikelilingi oleh dinding batu setinggi tiga meter yang dilapisi kawat dan pecahan keramik di atasnya untuk mencegah siapapun keluar dari sana. Hanya ada satu gerbang masuk di depan. Kawasannya dijaga cukup ketat. Ada sebuah kamera cctv di dekat sana. Seorang penjaga yang berjaga di pintu gerbang mengangguk sekilas kemudian meminta Elias untuk menunjukkan identitasnya. Segera setelah mendapat izin masuk, Elias langsung menginjak pedal gas dan membawa mobilnya masuk ke halaman belakang bangunan itu, tempat dimana ia dapat memarkirkan mobilnya. Para perawat tampaknya sudah pulang karena hanya dua mobil yang terparkir disana, kecuali tentu saja, orang-orang disana lebih suka berjalan kaki ketimbang mengendarai mobil.
Setelah memarkirkan mobilnya, Elias langsung bergerak turun. Seorang petugas dengan topi hijau yang berdiri di dekat dinding baru saja melambai ke arahnya. Elias mengamati petugas berseragam itu dari kejauhan sebelum meninggalkan mobil dan berjalan menghampirinya. Sang petugas sedang mengapit seputung rokok di antara jarinya. Ia mengisap putung rokok itu untuk kali terakhir, mengembuskan asap melewati lubang hidung dan mulutnya, kemudian melempar sisa putung rokok itu ke tanah berumput. Dalam jarak beberapa meter, Elias baru dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas: rahang persegi, rambut pirang, dan kulit pucat. Petugas itu masih cukup muda. Usianya mungkin mencapai akhir dua puluhan, dan dari perangainya, ia cukup santai. Bibirnya terbuka lebar ketika tersenyum dan genggaman tangannya terasa kuat.
“Elias Kermit?” sapanya.
“Ya.”
“Aku Rico Fritz. Amos pergi beberapa menit yang lalu karena urusan mendadak, dia memintaku untuk menunggumu. Aku yang bertugas sore ini, jadi aku akan mengantarmu berkeliling untuk melihat-lihat.”
Elias mengangkat kedua bahunya dan berkata, “oke. Maaf aku terlambat.”
“Lima menit,” Fritz tertawa, menolak untuk menjunjung formalitas dalam kapasitas apapun. “Tidak masalah. Aku jadi punya alasan untuk merokok.” Laki-laki itu berbalik, tingginya tidak sampai pundak Elias, tapi bahunya cukup lebar. “Oh, omong-omong, tidak boleh membawa rokok dan alat pemantik ke dalam. Kami menyimpannya di lobi. Jika kau..”
Elias mengangkat kedua tangan sebelum Fritz menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak masalah, aku tidak merokok.”
Fritz mengerutkan dahi, tampak seolah tidak memercayai ucapan itu. Tapi laki-laki itu kemudian mengangguk dan – lagi-lagi – menyeringai lebar. “Hebat. Kalau begitu langsung mulai saja.”
Fritz mengajaknya berjalan menyusuri lorong kosong di lantai dasar. Laki-laki itu menunjukkan beberapa ruangan dan menjelaskan fungsinya. Dalam hitungan menit, Elias sudah menghapal beberapa ruangan di lantai satu. Ruang kerja Amos terletak di sudut paling ujung lorong, tempat yang menurutnya terlalu gelap, terlalu sempit, dan terlalu pengap untuk menjadi ruang kepala rumah sakit. Sementara ruang staff dan dapur letaknya bersebrangan. Kebanyakan dari ruangan para perawat terletak di lantai satu, sedangkan ruangan bagi para pasien berada di lantai dua.
Sedikitnya ada lima belas ruangan yang berjejer di satu lorong, termasuk ruang tindakan dan ruang obat. Pintu-pintunya dibiarkan tertutup, hanya ada satu atau dua ruangan dengan pintu terbuka sehingga Elias dapat mengintip ke dalam dan melihat dua ranjang polos diletakkan dalam posisi saling berhadapan. Seorang pasien berusia senja dengan rambut keperakan, kulit bergelambir dan mengenakan seragam yang tampak kebesaran di tubuhnya terlihat sedang duduk meringkuk menempati salah satu ranjang itu. Kedua matanya menatap ke arah dinding kosong di hadapannya. Dahinya berkerut dan mulutnya terbuka seolah-olah ada sesuatu yang begitu menarik perhatiannya dari dinding itu.
“Namanya Michael. Dia sudah berada disini untuk waktu yang lebih lama dari yang bisa kuingat. Sebenarnya dia sudah ada disini sebelum aku bergabung. Dua puluh tahun yang lalu, kalau aku tidak salah.”
Elias mendekati pintu untuk mengamatinya lebih jelas. Kemudian pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. “Apa yang sedang dia lihat?”
“Bukan apapun,” sahut Fritz, “tapi dia punya obsesi terhadap monser berkepala dua yang merentangkan sayap merah lebarnya di dinding. Hmm.. terkadang aku berpikir monster itu benar-benar nyata. Percaya atau tidak, dia bisa duduk disana untuk mengamati dinding itu selama seharian,” Fritz menggeleng pelan, dahinya berjegit saat melanjutkan “.. makan dan buang air kecil di lantai. Menjijikan, bukan? Tapi jangan khawatir, kau akan segera terbiasa."
Elias mengedipkan matanya, kemudian berjalan mengikuti Fritz menyusuri sisa lorong.
“Dimana pasien lainnya?”
“Di taman. Mereka dibebaskan di jam-jam tertentu: pagi pada pukul sepuluh, dan sore pukul lima. Mereka harus kembali sebelum pukul enam. Jadi itu sekitar lima belas menit lagi.”
“Bisakah aku melihatnya?”
“Tentu, tapi jangan terlalu dekat, oke?”
Elias mengangguk pelan, kemudian berjalan mengikuti Fritz di belakang. Di ujung lorong, pintu lift terbuka. Elias hendak melangkah mendekati lift itu sebelum Fritz mencegahnya kemudian mengarahkannya melewati tangga.
“Jangan salah paham. Lift itu hanya digunakan untuk situasi darurat. Kebijakan baru dari Amos. Menurutnya terlalu berbahaya untuk pasien. Selain itu, kami harus mengirit biaya pengeluaran sejak dua bulan terakhir, jadi terkadang kami harus mematikan mesinnya dan kau harus membiasakan diri untuk menggunakan tangga.”
Elias masih menatap lift itu selama beberapa saat, tapi kemudian mengikuti Fritz menuruni tangga untuk kembali ke lantai dasar.
“Ada apa? Apa dananya tidak cukup?”
“Ceritanya panjang, tapi singkatnya begitu. Kalau masih penasaran, ingatkan aku jika kita punya kesempatan luang untuk mengobrol, oke?”
Elias tidak yakin tentang hal itu, tapi ia tetap mengangguk dan mengikuti Fritz sampai di taman. Ada lebih banyak orang yang dilihatnya disana, seolah seluruh penghuni bangsal dikumpulkan di tengah lahan berumput dengan sejumlah bangku panjang di setiap sudutnya. Dua orang pengawas dengan seragam yang sama seperti Fritz terlihat sedang berkeliaran di sudut lorong. Masing-masing dari mereka berdiri dengan waspada. Tatapannya tampak awas seolah-olah tahu bahwa hal buruk akan terjadi disana. Sementara itu Elias menghitung sedikitnya ada dua orang perawat yang turun langsung ke taman untuk mengawasi sejumlah pasien berusia paruh baya. Salah satu di antara pasien itu sedang duduk di kursi roda sembari menunduk dan mengamati rumput di bawah kakinya dengan serius.
Perhatian Elias sepenuhnya teralihkan oleh pasien wanita berambut merah yang sedang berputar-putar di atas rumput dengan bertelanjang kaki. Sepasang mata dan kedua tangannya terbuka lebar, wanita itu menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas, kemudian melompat, kemudian bergumam lagi seperti bocah kecil yang sedang bersukacita.
“Olive, pakai sepatumu!”
Seruan itu datangnya dari kejauhan. Elias mengamati seorang perawat berambut gelap yang sedang berjalan mendekati si pasien. Si pasien bernama Olive kemudian berlari kencang untuk menghindarinya.
“Olive, kemari! Olive!”
Dua orang petugas berseragam ikut turun tangan untuk menagkap pasien itu. Keributan kecil yang diciptakannya sekaligus membuat pasien lain menjadi gelisah. Beberapa diantara pasien itu mulai bergerak mondar-mandir di sekitar lorong, kemudian ada yang bergumam, sisanya masih berdiri diam sembari melongo mengamati keributan.
“Cobalah untuk mengabaikannya,” ujar Fritz di sampingnya.
Elias masih mengamati Olive berlari-larian di atas rumput, berusaha menghindari dua petugas yang turun tangan untuk menangkapnya. Kemudian ia menyadari bahwa perawat berambut gelap dengan papan nama Beth Caroll itu sedang melambai ke arahnya. Pada detik berikutnya, perawat itu berjalan mendekati Elias dan Fritz.
“Dokter Caroll,” sapa Fritz. “Perkenalkan Elias Kermit.”
Beth Caroll berusia akhir empat puluhan, memiliki tatapan yang hangat dan tinggi yang mengesankan. Ketika Elias menjabat tangannya, wanita itu menyipitkan kedua matanya dan bertanya, “kau mahasiswa yang disebut Amos itu, bukan?”
Elias mendengus keras, “tidak, aku tidak semuda itu untuk menjadi mahasiswa kuliah. Aku hanya sedang menyelesaikan tulisanku.”
“Jadi kau penulis?”
“Tidak secara spesifik, aku hanya membuat analisa dari observasiku.”
Beth mengangguk-anggukan kepala dengan penuh pemahaman. “Ah.. kau calon terapis.”
“Belum sejauh itu, tapi mungkin akan mengarah kesana. Aku masih belajar.”
Beth melambaikan satu tangannya di udara. “Well, kau berada tempat yang tepat kalau begitu. Jika kau butuh bantuan, kau bisa datang padaku. Aku akan sangat senang menejelaskan pekerjaanku disini.”
“Terima kasih, Dokter Caroll, mungkin nanti.”
Beth Caroll menyipitkan kedua matanya. Menggunakan jari-jarinya yang kurus dan panjang wanita itu meremas pundak Elias dan berkata, “cukup Beth. Aku punya firasat kita akan segera berteman.”
Fritz satu-satunya orang yang menertawai lelucon itu, tapi kemudian Elias membuka mulutnya dan ikut menyeringai. Momen canggung berlalu segera setelah Beth pergi. Elias masih mengamati perawat itu berjalan dengan terburu-buru masuk ke ruang obat ketika Fritz berbisik di belakang bahunya.
“Sedikit terlalu bersemangat, tapi kau akan menyukainya. Menurutku dia lebih baik dibandingkan perawat lainnya.”
Elias hendak bertanya berapa banyak ‘perawat lainnya’ yang dimaksudkan Fritz sampai wajah familier di ujung taman menyita perhatiannya. Persis seperti yang dibayangkannya, wanita itu duduk bergeming menempati bangku panjang di ujung taman. Tatapannya yang kosong terarah lurus pada rumput hijau di bawah kakinya, seolah-oleh keramaian dan suara bising di sekitarnya tidak begitu berarti. Ia adalah wanita yang sama, namun Elias nyaris tidak dapat mengenali wajah itu sekarang. Tidak seperti yang diingat Elias, sepasang mata biru cemerlangnya kini tampak lebih redup. Kelopaknya matanya yang sayup mulai mengendur. Warna kulitnya yang dulu tampak seputih s**u telah memudar dan menyisakan warna bening kekuningan dengan bintik-bintik kebiruan seperti daging yang membusuk. Rambut gelapnya dibiarkan tergerai memanjang melewati bahu. Panjangnya nyaris mencapai pinggul dan angin yang bertiup telah menyapu lembut rambut itu, memperlihatkan kekosongan dalam ekspresinya dengan lebih jelas.
Elias tidak membayangkan akan mememui Rachael Simone dalam kondisi seburuk itu. Siapa yang akan menyangka wanita yang tampak kusam itu dulunya adalah seorang psikiter muda yang cantik, yang namanya sering dielu-elukan dan dikagumi oleh hampir setiap pasien yang telah ditolongnya? Tidak seorangpun bahkan termasuk Elias yang sanggup membayangkan Rachael akan menghabiskan harinya untuk duduk dibangku pajang, tanpa berinteraksi dengan siapapun, dan hanya diam dikelilingi oleh belasan pasien dengan gangguan mental lainnya. Siapa yang tahu apa yang sedang dipikirkan Rachael saat itu? Elias berusaha menebak, mungkinkah Rachael masih memikirkan kejadian malam itu di rumahnya? Ketika seseorang menembak mati suami dan sahabatnya? Trauma sebesar apa yang mampu diciptakan oleh kejadian malam itu? Dan bagaimana hal itu mampu menjungkirbalikkan kehidupannya dalam sekejap?
“Itu Dokter Rachael Simone – setidaknya, dulunya begitu.”
Suara Fritz menyadarkan Elias dari lamunan. Ketika Fritz hendak membuka mulut untuk menjelaskan, Elias memotongnya dengan berkata, “aku tahu. Bolehkan aku bicara dengannya?”
Fritz mendengus seolah Elias baru saja menghiburnya dengan pertanyaan konyol. “Tidak, kau tidak bisa. Maksudku, dia tidak pernah berbicara sejak berada disini. Seluruh perawat sudah mencobanya, percayalah padaku, mereka menyerah pada yang satu itu. Dia juga tidak begitu menyukai orang asing, bagaimana itu akan berbeda denganmu?”
Untuk kali pertama sejak pertemuannya dengan Fritz beberapa menit yang lalu, Elias memutuskan bahwa ia tidak begitu menyukai pemuda itu. Jadi ketika Fritz berusaha mencegahnya, Elias menatapnya tajam dan mengulangi pernyataannya dengan tegas. “Aku tidak akan lama.”
Fritz mengendurkan kedua bahunya tanda menyerah. Rahangnya berkedut saat mengatakan, “baiklah. Tapi jangan terlalu dekat.”
Elias tidak mengindahkannya ketika berjalan mendekati Rachael. Ia dapat merasakan udara di sekitarnya menipis seiring dengan langkah kakinya yang bergerak semakin dekat. Di belakangnya, suara gumaman aneh, teriakan pasien, dan angin yang berdesau dengan ribut berusaha mengalihkan perhatiannya. Meskipun begitu, kedua matanya terus menatap Rachael. Elias menangkap kedutan kecil pada jari-jari Rachael sekilas. Sang psikiater itu mungkin telah menyadari kehadirannya, namun Racahel enggan memutar wajah untuk sekadar menatapnya. Baginya, rumput hijau di taman itu tampak lebih menarik dari Elias.
Fritz masih menunggunya di ujung lorong. Mata birunya terus mengawasi Elias dari kejauhan. Kedua tangannya terlipat, kepalanya dimiringkan seolah laki-laki itu cukup penasaran untuk melihat reaksi Rachael setelah Elias menemuinya. Tapi tidak ada yang terjadi bahkan setelah beberapa detik Elias berdiri di dekatnya. Wanita itu masih tidak bergerak, kelopak matanya tidak berkedip dan nafasnya berembus begitu pelan sampai Elias tidak dapat menangkap pergerakan bahunya.
“Dokter Simone,” mulai Elias dengan ragu-ragu. Untuk menyembunyikan kegugupannya, Elias menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku jaket, tiba-tiba merasakan angin dingin di sekitar sana mencekiknya.
“Aku Elias Kermit, kau boleh mengangkat wajahmu, aku tidak akan menyakitimu.”
Rachael tampaknya tidak peduli, namun kedutan kecil pada rahangnya memberitahu Elias bahwa wanita itu mendengar setiap ucapannya.
“Aku hanya datang untuk mengobrol. Kupikir kita bisa mengobrol..”
Hening.
“Dokter Simone, kau mendengarku? Apa kau akan mengatakan sesuatu? Aku bukan perawat disini, aku tidak akan menyuruhmu melakukan sesuatu, aku hanya ingin menjadi temanmu – jika kau tidak keberatan. Kenapa tidak coba mengatakan sesuatu, atau beri anggukan sebagai tanda persetujuan. Aku tidak akan memaksamu, jadi..”
Keheningan itu terasa mencekik lebih dari angin dingin yang menampar wajahnya. Elias memutar wajah untuk menyaksikan bagaimana Fritz bereaksi, namun laki-laki itu hanya mengerutkan dahinya, menunggu keajaiban muncul ketika Rachael membuka mulutnya dan mengucapkan kalimat pertamanya setelah hampir satu tahun berada disana. Tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, hanya sebuah kedipan yang tidak berarti.
Elias menunduk menatap rumput bawah kakinya kemudian mengamati Rachael sekali lagi. Namun beberapa detik telah berlalu dalam hening dan tidak ada satu hal-pun yang cukup menarik untuk mengalihkan perhatian Rachael dari rumput hijau di taman.
“Baik,” ucap Elias. “Sudah terlalu sore, kau mungkin kelelahan untuk mengobrol. Bagaimana kalau besok?”
Hening.
Elias mengangguk, berpura-pura untuk menghibur dirinya. “Aku akan kembali besok.”
Ketika berbalik, Elias sudah tahu apa yang akan dikatakan Fritz begitu ia sampai di dekatnya.
“Bagaimana hasilnya?”
“Dia kelelahan. Akan kucoba lagi besok.”
Fritz menyeringai lebar, namun laki-laki itu enggan mendebatnya alih-alih mengangguk dan mengantar Elias kembali ke gerbang utama.