? Rani Pov ?
Di luar hujan kelihatan sudah reda dari tadi, aku baru sampai dibawah dan mulai melanjutkan pekerjaanku kembali. Yang sempat aku tinggalkan,
Disaat aku mau mengambil pesanan pengunjung restoran, sahabatku datang dan bertanya dengan nada khawatirnya.
"Raniii ... Kamu kemana aja sich, dari tadi aku cariin nggak ada. Aku lihat tas dan jaket kamu, masih di ruang pegawai?" tanya Talita, dengan hebohnya.
"Hehe ... maaf, sudah membuatmu binggung dan mencariku. Padahal aku berada di belakang restoran, aku izin istirahat sebentar," jawabku sedikit berbohong, karena sebenarnya aku tidak bisa jujur, kalau tadi asmaku kambuh.
Talita sama sekali tidak tahu, jika aku punya asma selama ini. Aku tahu dia amat menghkawarkanku, apalagi tadi hujan dan udara sangat dingin.
Pasti Talita akan lebih khawatir, karena itu sudah jadi kebiasaannya yang selalu khawatir tentang keadaanku. Aku tidak mau mendengar super cerewetnya, begitu tahu keadaan ku yang sebenarnya. Makanya aku tidak mau memberitahunya tentang keadaanku padanya.
"Tadi rame sekali restoran, jadi capek sekarang," ucap Talita sambil mengeluh.
"Nggak apa ... hitung-hitung sambil olah raga, 'kan kamu," jawabku seadanya sambil terkekeh.
Tak lama kami mulai melanjutkan pekerjaan kami lagi, sambil menunggu waktunya kami pulang.
'Kenapa kepalaku terasa pusing,' batinku.
'Tapi aku harus bekerja seperti biasa, nggak boleh manja,' gumanku menyemangati diriku sendiri.
Waktu sudah mulai larut malam, dan sebentar lagi juga waktunya jam pulang. aku tidak sabar ingin cepat istirahat di kasurku.
? Juan Pov ?
Setelah aku memakai jasku kembali, aku memutuskan kembali ke bawah. Saat berada dalam lift, aku merasa menghirup samar-samar harum wangi parfum gadis itu seketika membuatku senang.
Saat sampai di bawa wah aku langsung menuju ruangan khusus yang di sediakan untukku, bila sewaktu-waktu aku datang berkunjung dan memeriksa kinerja para pegawai ku.
Saat aku duduk di kursi ruangan khusus, aku bisa melihat dia dari jauh dan memantau para pegawai yang lain.
Aku masih mengkhawatirkan keadaan nya, namun saat aku melihat gadis itu bekerja dengan semangat, membuatku sedikit lega. Semoga asmanya tak kambuh lagi, itu doaku dalam hati.
'Kenapa dia begitu semangat, saat dia bekerja. Bukanya tadi saat asmanya kambuh, dia sangat kesakitan bahkan wajahnya pucat. Tetapi sekarang dia, bekerja seperti tidak pernah merasakan sakit,' batinnya juan, sambil terus memperhatikan gadis gendutnya.
? Author Pov ?
Waktu semakin larut, dan para pegawai sudah bersiap untuk pulang. Diantara pegawai itu, terlihat dua gadis yang masih jomblo begitu berbinar. Karena sebentar lagi pekerjaan mereka selesai dan waktunya untuk pulang.
"Ran ... enak ya, kalau kita punya cowok bisa jemput kita pas pulang kerja. Kita nggak perlu naik angkutan umum lagi," ucap Talita sambil melihat pegawai yang di jemput kekasih, maupun saudaranya.
"Iya, aku juga pengennya gitu. Apalagi pas malam minggu seperti sekarang ini, pengen dech ngerasain nonton bareng pria tampan, dan mau menggenggam tanganku walau jalan di keramaian," Rani menjawab, dengan berhayal. Sambil membayakan ada pria tampan, yang mencintainya.
Mereka terus bercerita apa saja, dengan diiringi canda tawa mereka. Hingga suara tawa mereka terkadang sampai di telinga orang lain yang tidak jauh dari mereka.
Rani dan Talita sudah berada di halte, mereka tidak mendapat tempat duduk. Karena tempat duduk di halte sudah penuh, dengan para pegawai yang sama baru pulang seperti mereka.
Sesekali Rani membetulkan letak jaketnya, karena udaranya lumayan dingin. Namun tidak seperti waktu hujan tadi, suwiter yang ia pakai tidak terlalu tebal dan itu membuat ia merasa kedinginan.
Rani mencoba melindungi dirinya sendiri dari rasa dingin dengan tangan gempalnya, dengan cara melipat tangannya di d**a. Sesekali juga ia memegangi kepalanya yang mulai terasa pusing.
Talita yang di samping Rani, mulai mengkhawatirkan keadaan sahabanya itu.
"Ran ... kamu nggak apa-apa 'kan? Kenapa dari tadi kamu kayak nggak nyaman gitu?" tanya Talita penuh khawatir.
"Hmm ... hanya sedikit pusing mungkin karena kecapean," jawab Rani jujur pada sahabatnya.
"Ya sudah, sampai rumah jangan lupa langsung istirahat, ya. Jangan begadang dan membaca n****+ terus," ujar Talita mengingatkan.
" lya, cerewettt," jawab Rani, sambil memegang hidung sahabatnya gemas.
Rani bersyukur karena masih ada seseorang yang memperhatikannya, walau pun itu hanya sahabatnya saja.
'Tapi ... tadi ada Tuan pengunjung restoran yang mempedulikanku, apa Tuan itu masuk dalam hitungan. Sebagai orang yang memperhatikan aku juga,' batinnya Rani.
"Aahhh ... Pasti aku sudah gila, bagaimana mungkin pria tampan dengan penampilan kaya raya begitu mau mengkhawatirkan aku. Pasti alu sudah gila ... tapi saat pria itu memakaikan jas dan menggenggam tanganku lembut, sepertinya Tuan itu mengkhawatirkan aku," bukan Rani lirih.
**
Di lain sisi
Juan terus memperhatikan gadis gendut itu hingga keluar dari lobby restoran, dengan sahabatnya. Ia mendengar suara tawa gadisnya, dan itu membuatnya tanpa sadar ikut menyunggingkan senyumannya meski teramat tipis.
Robert yang berada di samping tuannya, dan melihat tuannya sedikit tersenyum terkejut. Karena selama ini tuannya ia kenal selalu terlihat datar dan dingin pada siapa pun.
"Baru kali ini saya melihat Tuan bisa tersenyum, saat Tuan melihat dua di depan sana sedang tertawa. Saya berharap Tuan akan selalu tersenyum setiap harinya," batinnya Robert senang.
Karena selama ini Robert yang mengetahui bagaiman jatuh bangunnya kehidupan Juan Alexander, dan membuat tuannya berubah menjadi dingin seperti sekarang.
Tetapi saat ia melihat tuannya tersenyum seperti sekarang ini, ia yakin pasti suatu saat tuannya akan mendapatkan kebahagiaan, yang tidak pernah di dapat tuannya selama ini.
Robert yang masih berada dunia lamunannya, tidak menyadari kalau tuannya sudah mulai menuju mobil mewahnya. Seketika saat ia sadar, dan melihat tuannya sudah menjauh. Ia langsung berlari dengan cepat, lalu membukakan pintu mobil untuk tuannya.
"Silahkan, Tuan," ucap Robert sopan.
"Apakah kita akan kembali ke mansion atau ke club seperti biasa, Tuan?" tanya Robert saat mobil baru berjalan sebentar.
"Berhenti di sini sebentar," Jawab Juan, tanpa membalas pertanyaan Robert.
Juan yang berada dalam mobil mewahnya menyuruh sopir menghentikan mobilnya, dan mobil itu berhenti tidak jauh dari halte tempat Rani dan Talita menunggu angkutan umum.
Juan terus memperhatikan gadisnya, saat pandangannya mengarah pada Rani. Sebagai ketua mafia, ia mempunyai insting, dan penglihatan yang tajam. Ia bisa menerka-nerka situasi dengan apa yang dilihat oleh netranya.
Jika biasanya Juan menggunakan instingnya untuk mencari kelemahan lawannya, kali ini ia menggunakan instingnya melihat gadis yang menarik perhatiannya saat ini.
'Apakah dia kedinginan, atau asmanya kambuh lagi?' guman Juan mulai khawatir.
'Pasti dia kedingainan karena sweater yang dia pakai itu kelihatan tipis, dan sudah tidak layak pakai lagi apalagi untuk badan besarnya itu?' tanyanya dalam hati.
'Apa dia tidak bisa membeli jaket baru, karena tidak mempunyai uang. Tidak, gaji dari restoran cukup untuk beli per lengkap nya seharusnya dia bisa beli. Atau dia memang bodoh sekali, sudah tahu punya asma tapi tidak mau pakai jaket yang tebal,' guman Juan kesal.
Juan terus menggerutu sendiri, hingga tanpa sadar di dengar supir dan Robert sang tangan kananya.
"Apakah Tuan membutuhkan sesuatu?" tanya Robert penasaran, karena sedari tadi tuannya terus gelisah dan menggerutu sendiri.
"Tidak!" jawab Juan seperti biasa datar.
Namun beberapa detik kemudian, Juan berbicara lagi.
"Ingatkan aku nanti, saat sampai di mansion untuk menelfon perancang jaket terkenal " ucap juan panjang.
"Baik, Tuan," jawab Robert sopan, sambil berpikir ada apa dengan tuannya.
***
Setelah cukup lama angkutan umum yang do tunggu datang, Rani bersama sahabatnya masuk dan mobil angkutan mulai melaju dengan kecepatan normal.
Ketika mobil angkutan umum itu sudah melaju, tanpa tahu di belakangnya ada mobil mewah yang mengikuti kemana pun angkutan umum itu pergi.
Ya, Juan sedari tadi memperhatikan sampai gadisnya masuk ke angkutan yang akan membawanya pulang ke rumahnya. Juan yang melihat mobil yang di tumpangi Rani mulai melaju, ia menyuruh sopir untuk mengikuti kemanapun angkutan umum itu pergi.
"Jalankan mobilnya, dan ikuti angkutan umum yang ada di depan itu. Jangan sampai ketinggalan jejak," titah Juan datar pada sopirnya.
"Baik, Tuan," jawab sopir sopan.
Robert dan supir mobil mewah itu sedikit binggung, kenapa tuannya menyuruh mengikuti angkutan umum. Namun mereka tidak berani bertanya, dan hanya bisa patuh meskipun penasaran.
Juan terus memperhatikan angkutan umum itu dengan tenang, dan cukup jauh ia mengikuti kemana arah rumah gadis gendut itu. Karena sedari tadi angkutan umum itu masih melaju, dan belum menandakan gadisnya akan turun dari angkutan umum itu.
"Apakah masih jauh rumahnya?
Kasihan sekali dia, bila setiap hari harus pulang bekerja di malam begini," batinnya sedih.
Akhirnya angkutan umum itu berhenti, dan gadis gendut itu mulai turun. Rani mulai berjalan ke area rumahnya mini malis namun nyaman dan sangat sederhana itu.
Sebelum Rani masuk, ia mengambil kunci cadangannya. Ia mulai membuka pintu dan masuk ke dalam, lalu menutup pintu kembali.
Tanpa ia tahu jika sedari tadi ia diikuti oleh sang penolongnya, sekaligus pengagum rahasianya.
Juan yang masih mengikuti gadisnya hingga dekat area rumah Rani, sedikit merasa lega. Karena ia bisa memantau dan melihat sendiri, gadisnya pulang sampai rumahnya dengan selamat.
Juan takut jika sewaktu-waktu asma Rani kambuh, dan kesakitan sendirian. Mengingat rute jalan ke rumah Rani dan restoran yang cukup jauh.
Bisa saja Juan menyuruh bawahannya, namun tetap saja ia akan khawatir karena ia tidak akan tenang. Tapi dengan ia melihat gadisnya memasuki rumahnya, dengan selamat, itu membuat Juan merasa tenang.
Bahkan selama ini Juan tidak pernah sekali pun peduli dengan wanita-wanita yang mendekatinya. Bahkan kekasihnya sendiri.
Saat Juan bersama kekasihnya, ia tetap memperlakukan sama kekasihnya seperti wanita-wanita malam lainnya. Yang menghabiskan malam panasnya, namun untuk malam panas bersama kekasihnya Juan sama sekali tidak mau menyentuh kekasihnya itu.
Walaupun kekasihnya menjadi wanita tercantik sekalipun, dan banyak di gilai pria - pria manapun. Tapi Juan tidak akan pernah mau, karena ia tahu kekasihnya tidak pernah mempunyai perasaan tulus padanya.
"Jangan sakit lagi," batinnya Juan berharap, sambil melihat kamar yang baru menyala lampunya.
Menandakan bahwa kamar paling depan itu milik gadisnya.
Setelah cukup puas lama memperhatikan rumah mini malis, lebih tepatnya kamar yang baru menyala itu. Juan menyuruh supir menjalankan mobil mewahnya.
"Jalankan mobinya, kita kembali ke mansion," ucap juan datar pada supirnya.
"Baik, Tuan," jawab supir, langsung melakukan apa yang dikatakan tuannya.
**
Di dalam rumah sederhana itu, terlihat Bu Asih memanggil anaknya.
Tok, tok!
"Nak ayo makan dulu, nanti baru istirahat," ajak Bu Asih, sambil masuk kamar anak gadisnya.
Tapi yang di tanya, malah sudah bergelung sama selimut tebalnya.
"Nggak usah,Bu. Lagi nggak napsu makan nih" jawab Rani mengeluh.
"Ya sudah, kalau lapar kamu tinggal hangatin saja ya, Nak. Pasti kamu kecapean, tidak apa kamu istirahat dulu," Bu Asih mengingatkan, sambil membelai kepala putrinya penuh sayang.
"Iya, Bu. Rani mengerti, sekarang pengen tidur dulu," jawab Rani dengan nada manjanya.
"Ya sudah istirahat, ya. Selamat malam, Sayang," ucap Bu Asih, sambil mencium kening putriya.
Saat Bu Asih mencium kening Rani, ia merasakan suhu tubuh putrinya panas seketika ia merasa khawatir.
"Nak, kamu demam, ya?" tanya Bu Asih khawatir
"Mungkin karena kecapean saja, Bu.Besok juga sembuh kok," jawab Rani menenangkan.
Bu Asih tidak berkata lagi, karena ia tahu betul sifat anaknya yang tidak pernah mau ke rumah sakit. Jika saat sakit Rani tidak mau minum obat, jika dia sudah tifak kuat dengan rasa sakitnya baru dia mau minum obat.
Setelah memastikan putrinya tertidur, Bu Asih melangkah keluar membiarkan putri nya beristirahat.
***
Di mansion Juan baru saja sampai di mansionnya, setelah ia mengikuti gadis yang sudah ia anggap miliknya.
Saat melihat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul 01.00 larut malam. Ia mulai memasuki manstion dengan di sambut seperti biasa oleh para pelayannya.
Ketika juan akan berjalan ke arah tangga, ia memerintahkan dan mengingatkan pada pelayan kepercayaan nya, untuk mengantung jas yang ia pakai saat ini di lemari tanpa harus dicuci.
"Bungkus jas ini dengan rapi, dan taruh di lemari khususku. Jangan sampai ada yang berani menyentuh jasku selain kamu, Nancy!" titah Juan pada kepala pelanyan kepercayaannya, sambil mengulurkan jasnya.
"Baik, Tuan," jawab kepala pelayan patuh, sambil meraih jas yang di ulurkan tuan besar padanya.
Robert yang mengikuti tuannya, baru teringat akan pesan tuannya tadi.
"Maaf Tuan, saya mau mengingatkan. Kalau seharusnya Anda saat ini, harus menghubungi perancang busana untuk membuatkan jaket," ujar Robert sopan, sambil mengikuti Juan dari belakang.
Juan hanya mendengarkan, lalu kembali berjalan menuju kamarnya. Ketika ia sampai di dalam kamar, ia langsung menghubungi perangcang pakaian yang menjadi langganannya.
Drrrttt!
? Sonya
"Hallo ... Sonya aku membutuhkan bantuanmu!" ujar Juan to the poin.
"Hallo ... juga Mr. Juan, apa yang bisa saya bantu?" jawab seseorang dengan nada sopan.
"Buatkan aku jaket atau semacam switer, untuk seseorang berbadan besar. Buatkan dengan bahan yang terbaik, sederhana namun elegan saat di pakai gadiaku nanti. Aku tunggu hingga besok sore, jaket itu harus sudah ada di kantorku," ingin Juan datar tanpa penolakan.
"Baik, Tuan. Nanti saya akan mengusahakan agar cepat menyelesaikan rancangan jaket atau switer seperti yang Anda mau, Tuan," jawab Sonya sopan.
"Oke ... aku mengandalkanmu," ujar Juan lagi, setelah itu ia mematikan ponselnya.
Juan pun berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur, ia ingin cepat beristirahat.
Karena sudah tidak sabar ingin cepat bertemu dengan gadisnya lagi, dan ingin memberikan kejutan untuknya.
Bersambung