08: PENDAPAT

2290 Words
Sesuai dengan perintah sang tabib, Bella diam-diam memasukkan ramuan ke dalam makanan kakaknya. Ia hampir saja ketahuan tadi, saat ia ingin menuangkan karena pelayan yang lain datang untuk mengambil sesuatu di dapur. Ia memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada yang mengetahui apa yang ia lalukan. Ia kemudian pergi setelah menyelesaikan misinya, berharap ramuan akan bekerja dengan baik. Hampir saja terkejut, Bella memegang dadanya, ia menatap Vodo yang berdiri sambil menatapnya penuh heran. “Apa yang sedang kamu lakukan malam-malam begini, Bella?” Vodo tidak biasa melihat putri bungsunya keluar dari kamar ketika malam hari. Bella menghabiskan malam dalam ruangan sepi atau terkadang telah tertidur. Ia jadi ingin tahu alasan Bella masih terjaga. “Aku haus, Ayah. Jadi, aku pergi ke dapur. Kebetulan, air minum yang ada di kamar sudah habis.” Untung saja, Bella tahu apa yang harus dikatakan oleh sang ayah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bagaimana pun, ia tidak punya kesempatan selain memasukkan ramuan pada makan malam Della. Kalau harus mencari celah di pagi atau siang hari, sepertinya akan sulit, mengingat banyak pelayan yang akan masuk ke dapur. Vodo mengerutkan kening heran. “Jika kamu mengambil air minum, kenapa kamu tidak membawa gelas, Sayang?” tanyanya sambil memerhatikan perubahan wajah Bella yang terkejut karena ucapannya. Sepertinya, putrinya lupa kembali membawa gelas yang dibawa, memang Bella kadang suka lupa akan sesuatu. Ia mengenal putrinya dengan baik dan berharap Bella bisa memperbaiki kebiasaan buruknya. Tidak berpikir sampai ke situ, Bella tersenyum gugup. Ia harusnya sadar kalau sang ayah tidak mungkin bisa dibodohi begitu saja. “Aku lupa membawanya, maka aku akan kembali ke kamar untuk mengambil.” Bella tertawa canggung setelahnya, ia bisa melihat sang ayah menggelengkan kepala. Bersyukur karena Vodo pasti akan mempercayai ucapannya dan ia bisa kembali ke kamar dengan selamat. “Kamu ini ya, kebiasaan.” Vodo mengelus puncak kepala putrinya, tidak menyangka kalau sekarang Bella sudah menjadi perempuan yang dewasa. Seingatnya, ia masih sering mengajak putrinya bercanda agar tidak menangis. Akan tetapi, waktu cepat bergulir sehingga kadang ia sulit untuk bisa bicara dengan Bella. “Kalau kamu sudah mengambil gelasmu, Ayah ingin bicara denganmu. Kamu punya waktu bukan?” Bella sempat melongo karena permintaan sang ayah, pasalnya Vodo jarang meminta izin ketika ingin bicara padanya. Ia takut kalau Vodo akan membahas masalah salah paham yang diutarakan oleh Yuna. Ia begitu tenang saat bisa menjelaskan dengan baik tanpa harus menyalahkan ibunda Daniel yang saat itu sepertinya menginginkan agar ia dimarahi. Ia mengangguk sebagai jawaban setuju. “Aku akan menemui Ayah setelah mengambil gelas. Ayah ingin kita bicara di mana?” “Di ruang kerjaku saja. Kalau begitu aku mau ke dapur dulu untuk mengambil camilan. Malam-malam begini perutku lapar akan tetapi malas makan.” Sebagai seorang raja, Vodo jarang menyuruh pelayan untuk melayaninya. Ia lebih suka melakukan segala sesuatu seorang diri karena ia kadang suka kekurangan kegiatan. Malam ini, ia meninggalkan istrinya di kamar untuk menganjal perut. “Baik, Ayah. Aku akan menemui Ayah di sana. Ayah sebaiknya jangan telat makan karena aku tidak ingin Ayah sakit lagi.” Bella suka khawatir dengan kondisi ayahnya yang mulai renta. Ia tidak bisa melihat Vodo kembali berbaring lemah di atas ranjang karena sakit, baginya kesakitan sang ayah merupakan kesedihan baginya. Walaupun Vodo memiliki sikap yang agak keras, ia tetap menyayangi ayahnya. “Kamu jangan cemas begitu, aku selalu makan dengan baik. Aku ke dapur dulu ya.” Vodo mengusap bahu putrinya sambil berjalan menuju dapur. Ia tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai kondisinya yang memang sudah sering sakit-sakitan. Tidak tega kalau harus melihat putrinya begitu khawatir akan kondisinya. Semenjak kondisi tubuhnya rapuh, ia tidak melupakan untuk tetap makan guna menjaga kesehatan agar bisa melihat putrinya menikah. Salah satu impian yang sebentar lagi akan terwujud. Bella keluar dari kamar tanpa menuju dapur, ia langsung menuju kamar sang ayah sambil membawa gelas yang terisi penuh. Ia tidak boleh membohongi Vodo, akan tetapi apa boleh buat, ia tidak memiliki rencana lain. Ia mengetuk pintu ruangan kerja sang ayah, berharap Vodo sudah ada di dalam, jika tidak ia akan kembali ke dapur karena pasti ayahnya masih berada di sana. Pintu ruangan terbuka dan menampilkan Vodo dengan senyum merekah, ia mempersilakan putrinya untuk masuk. Ia sendiri kemudian duduk di kursi sambil memerhatikan Bella yang menaruh gelas di meja lalu memandangi ruangannya. “Sudah lama bukan kamu tidak mengunjungi ruangan ini? Bagaimana? Aku membenahi sedikit barang-barang agar terlihat lebih rapi.” Lupa kapan terakhir kali datang ke ruang kerja sang ayah akan tetapi Bella ingat kalau tidak ada lemari besar di ujung sana. Beberapa letak perabotan berubah, buku-buku yang semula tertata berantakan menjadi rapi. Perubahan yang membuat matanya jauh lebih enak dalam memandang. “Benar, sangat lama untuk bisa menuju ruangan ini lagi. Aku suka sekali dengan tata letaknya, mengagumkan jadi terasa lebih lega.” Vodo tertawa. “Aku setuju denganmu. Waktu itu, setiap kali berada di ruangan ini, aku merasa sempit sekali karena banyak yang berserakan di lantai. Akan tetapi untungnya aku memiliki waktu untuk membereskannya sehingga menjadi seperti ini. Aku tahu kalau seharusnya membenahi dari dulu andai aku bisa mempercayakan beberapa prajurit untuk melakukannya.” Bella tahu kalau sang ayah terkadang tidak mempercayai seseorang untuk menyentuh barang pribadinya, itu bukan masalah yang besar akan tetapi menjadi lebih sulit saat ia harusnya membutuhkan bantuan orang untuk merapikan. “Aku pikir bukan masalah apabila Ayah ingin membereskannya sendiri. Toh, kita memang tidak tahu kan, barangkali saja ada yang berkhianat di istana ini.” “Aku tidak berpikir semacam itu, akan tetapi sadar bahwa tidak selamanya manusia mempunyai niat baik kepada kita. Sebaiknya kamu duduk sekarang, apa tidak capek berdiri saja?” Vodo lupa menyuruh putrinya untuk duduk, padahal ia sudah menyiapkan kursi agar mereka bisa bicara dari jarak yang dekat. Ia menoleh saat pintu ruangan diketuk kemudian melangkah mendekati pintu yang dikunci. Saat pintu terbuka, Bella bisa melihat Jeana datang. Sepertinya ada yang kehilangan suaminya karena tidak kunjung kembali ke kamar. Ia mengalihkan pandang pada meja kerja yang dipenuhi oleh buku. Ia seketika mengambil buku yang menarik perhatiannya sebelum kembali menaruh dan menoleh ke belakang. Ibunya tersenyum kikuk padanya sambil mengamati ruangan. “Kamu meninggalkanku di kamar sendirian karena ingin menghabiskan malam dengan putri kita. Ini sungguh tidak adil, harusnya kamu menemaniku tidur. Hari sudah malam, apa kamu sudah makan malam, Bella?” Masih ada rasa kesal dalam hati Jeana saat melihat putri bungsunya akibat pembicaraan siang tadi. Yuna bahkan memberi tahu kalau Bella terlihat sekali tidak ingin pernikahan Della dan Daniel terjadi, padahal sedari dulu ia memimpikan Daniel menjadi menantunya. Meskipun tidak mengatakannya, Bella tahu kalau ibunya pasti masih kesal dengan dirinya. Jeana mengatakan jujur mengenai pendapatnya dan membela Yuna habis-habisan. Ia tidak memaksa ibunya untuk menyetujui ucapannya akan tetapi ingin lebih memikirkan lagi. Sang ayah bahkan tidak keberatan dengan pendapatnya mengenai pernikahan itu. Mungkin ibunya memang ingin pernikahan terjadi. Bukan salah Jeana, orang tua pasti menginginkan putrinya menikah apalagi calonnya seperti Daniel yang dikenal baik hati. Vodo yang tahu suasana hati istrinya mendekati Jeana. “Bella sudah makan malam, aku bertemu dengannya di dapur dan mengajaknya untuk bicara. Kamu tidak boleh cemburu pada putri kita. Sebaiknya kamu kembali ke kamar, aku tidak akan lama.” Vodo membujuk Jeana untuk menuruti ucapannya meskipun tidak yakin kalau sang istri akan luluh. Ia tidak ingin Jeana dan Bella berdebat seperti membicarakan mengenai masalah pernikahan. “Sungguh disayangkan,” kata Jeana. “Kamu mengusirku dengan sangat baik. Padahal, aku ingin tahu pembicaraan kalian akan tetapi tidak diizinkan. Apa boleh buat, aku harus pergi dari sini kan?” Merasa Vodo memang tidak menginginkan kehadirannya, Jeana melangkah menuju pintu tanpa peduli suaminya yang mengatakan agar dirinya tidak marah. Jujur saja, ia takut Bella membuat Vodo berubah pikiran mengenai pernikahan Della. “Kamu jangan merajuk seperti ini,” kata Vodo sambil memeluk istrinya. “Aku tidak ingin membicarakanmu dengan Bella, jadi kamu tunggu di kamar ya. Aku juga ingin kamu memaafkan Bella, dia hanya mengutarakan pendapatnya.” Ada rasa tidak nyaman dalam hati Vodo saat tahu Jeana tidak menyukai pendapat Bella, ia merasa kalau tidak mudah untuk membuat mereka berbaikan kembali apabila memang tidak ada yang mengalah. Jeana menatap suaminya tidak percaya. “Aku sudah pasti tidak akan bisa marah padanya, dia putriku, Vodo. Akan tetapi, aku begitu bahagia saat Della mengatakan ingin menikahi Daniel, aku berupaya untuk memahami keputusannya walaupun aku tahu Daniel belum menyetujuinya. Seiring berjalannya waktu, Daniel pasti akan setuju dan mencintai Della. Aku bukan tidak menghargai pendapatnya, aku hanya ingin Bella bisa tidak memaksakan pendapat.” “Sebaiknya kita membicarakan hal ini di kamar saja, tidak enak kalau sampai Bella mendengar.” Vodo membiarkan Jeana berjalan menjauhi ruang kerjanya. Ia kemudian kembali menutup pintu dan menguncinya. Ia tersenyum pada Bella lalu duduk di kursi, entah mengapa kini ia merasa canggung untuk bicara dengan Bella. Ini pasti karena kehadiran Jeana tadi, memang efeknya besar sekali. “Aku harap kamu tidak memikirkan ucapan ibumu tentang pendapatmu mengenai pernikahan. Bagiku, kamu hebat telah membicarakan celah dalam rencana pernikahan sehingga kami bisa berusaha lagi untuk membuatnya terasa cocok dan utuh.” Sebenarnya Vodo tidak ingin membicarakan soal pernikahan, akan tetapi ia tahu kalau Bella terlihat berbeda sejak kedatangan Jeana. Jadi, ia perlu membahasnya sedikit. Bella tersenyum tipis. “Bukan masalah, Ayah. Aku tahu keinginan kalian untuk menikahkan Della. Aku juga berpikir kalau pendapatmu tidak akan bisa diterima, mengingat keluarga kita dan Daniel sudah kenal sejak lama. Sepertinya tak patut apabila aku mengabaikan perasaan Della juga. Aku hanya ingin mengutarakan pendapatku saja dengan harapan kalian akan memikirkannya.” Vodo mengenal Bella lebih baik daripada Della karena sejak kecil putri bungsunya sering menghabiskan waktu dengannya. Meski tidak bicara mengenai kekhawatiran dalam hatinya, ia tahu Bella ingin yang terbaik untuk Della dan Daniel. Jeana juga tidak bisa disalahkan akan tetapi belum benar sebab Daniel bahkan terang-terangan menolak pernikahan sehingga perlu tahu mempertimbangkan dari segala sudut pandang. “Aku mengerti maksudmu, maka aku berniat untuk kembali membicarakan pernikahan esok hari. Aku ingin kamu ada di sana nanti agar aku bisa mengetahui apa saja yang perlu dibenahi dan rencana apa yang perlu disusun.” Kehadiran Bella pasti akan membantu walaupun tidak disenangi. Ia berharap pula Daniel akan mengutarakan isi hatinya dengan benar karena ia memiliki prasangka kalau Daniel menyukai Bella. Ia tidak ingin berpikiran seperti itu, akan tetapi kemungkinannya cukup besar. Tidak tahu harus menjawab apalagi, Bella mengangguk saja. Ia tahu kalau pernikahan mungkin akan tetap dijalankan meskipun ia sudah berpendapat. Mereka pasti akan menekan Daniel untuk menerima karena orang tuanya tidak akan mengorbankan Della yang terlihat begitu sedih akan penolakan Daniel. Istilahnya, mereka pasti akan melakukan berbagai cara agar pernikahan tetap terlaksana tanpa persetujuannya atau tidak. “Sebaiknya kita singkirkan dulu pembicaraan tentang pernikahan. Aku tahu kalau itu terasa berat untuk dibahas. Aku ingin bicara denganmu mengenai Daniel. Aku sudah mengenal Daniel sejak lama, akan tetapi tidak sedekat kamu mengenalnya. Menurutmu, Daniel ini orangnya seperti apa?” Vodo perlu tahu penilaian Bella terhadap Daniel agar ia semakin yakin untuk menikahkan putri sulungnya. Meskipun tidak tahu alasan sang ayah membicarakan Daniel, Bella akan menjawab semampunya. “Aku tidak berpikir kalau Daniel cukup istimewa. Dia sama seperti lelaki pada umumnya akan tetapi memang benar apabila dia sering menolong tanpa pamrih. Dia agak pendiam walaupun bisa berubah cerewet. Aku rasa dia bukan lelaki yang akan menuruti permintaan orang tuanya saat ia tidak ingin. Agak keras kepala.” Sepertinya memang sikap keras kepala Daniel terlihat begitu jelas meskipun terkadang lelaki itu penurut, Vodo jadi merasa agak pusing memikirkan solusinya. “Apa dia pernah bercerita padamu mengenai perasaannya? Maksudku, apa dia pernah membicarakan suka dengan perempuan atau bagaimana? Aku cukup penasaran tentang hal itu, perlu tahu lebih lanjut sebelum memutuskan pilihanku tidak salah membiarkan Della dijaga olehnya.” Sekarang Bella tahu kalau sang ayah ingin mengenal Daniel lebih dalam. Ia tentu aman membantunya dengan terus mengingatkan apabila Daniel tidak setuju dengan pernikahan itu. “Dia belum pernah bicara mengenai perempuan yang disuka, akan tetapi dia konsisten sekali sehingga aku agak lumayan takut kalau dia akan melukai Della dengan ucapannya. Penolakan Daniel begitu spontan tanpa memikirkan perasaan.” “Selama kamu berteman dengannya, apa kalian pernah bertengkar?” Vodo menatap Bella yang tengah berpikir. Ia tidak tahu karena putri bungsunya jarang membicarakan Daniel. Kedekatan mereka tidak membuat ia lantas mengetahui segalanya sebagai seorang ayah. Bella sulit sekali diajak komunikasi kadang-kadang ditambah sepertinya ia tidak nyaman dengan pembicaraan ini. “Aku tidak pernah bertengkar dengannya, kami hanya suka adu mulut apabila berbeda pendapat. Daniel selalu mengalah kepada perempuan dan dia akan membujukku untuk tidak marah kembali. Dia cukup baik untuk dijadikan calon menantu, jadi sebenarnya tidak salah apabila ibu menginginkan Daniel menikah dengan Della.” Meski tidak membicarakan pernikahan, tetap saja Bella tahu ayahnya sedang menilai Daniel lewat dirinya. Vodo sekarang mendapatkan penggambaran Daniel lewat Bella, terlepas dari ia yang selalu menilai sendiri tingkah laku putra dari Baron dan Yuna. Jeana tidak salah langsung menyetujui pernikahan Della dengan Daniel karena lelaki yang sudah ia beri mandat untuk menjadi kepala prajurit, memang begitu mengagumkan dengan tingkah lakunya. Ia kemudian menatap Bella yang terlihat masih memerhatikannya. “Kamu sendiri, apakah kamu pernah mempunyai keinginan untuk menikah dengan Daniel?” Bella menatap sang ayah dengan terbelalak. Ia tidak tahu kalau ayahnya akan menanyakan hal semacam itu. Ia memang mengenal Daniel lebih dari siapa pun di istana akan tetapi bukan berarti ia memiliki perasaan terhadap Daniel. Bukan berarti ia merasa kalau Daniel tidak cukup menarik perhatian, hanya saja, ia tahu kalau tidak nyaman rasanya menyukai teman yang sudah seperti saudara. “Lupakan saja pertanyaannya,” ucap Vodo. “Kamu bisa kembali ke kamarmu dan aku juga. Terima kasih waktunya, Sayang. Aku harap kamu tidak menyesal telah berbagi mengenai pendapatmu tentang Daniel. Aku ingin kamu juga mendoakan agar pembicaraan pernikahan lancar. Jangan lupa untuk datang juga, aku buru pendapatmu.” Vodo bangun dari kursi sembari berjalan beriringan dengan Bella yang merasa kalau ada yang aneh dari tingkah ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD