Hari mulai gelap, matahari cerah tertutupi awan yang terlihat menghitam disertai angin kencang, seperti bumi ingin menjatuhkan tangisnya saat ini juga. Rintik hujan mulai turun, membasahi tanah dan seluruh tumbuhan yang ada di permukaan bumi. Makin lama hujan kian lebat, disertai semilir angin dingin yang makin membuat ngeri.
Derasnya hujan tak membuat seorang gadis beranjak dari tempatnya berpijak, bahunya bergetar hebat karena tangis yang tak kunjung mereda meski hujan telah membasahi seluruh tubuhnya. Air mata bening itu tidak terlihat lagi karena terus tersapu oleh rintikan air hujan, namun kedua mata yang memerah dan bengkak menandakan bahwa gadis itu tengah meluapkan kesedihannya.
Ia berdiri di atas tanah dan rumput seorang diri, saat semua orang telah pergi meninggalkan dirinya. Hanya tinggal kesedihan yang tersisa di sini menemaninya, ia terus menangis saat kehilangan separuh jiwanya. Saat orang-orang terkasih yang ia miliki pergi untuk selama-lamanya.
Gadis berambut pirang lurus itu mengamati dua buah nisan yang ada di sana, tertulis nama Adam Smith dan Lucy Smith di kedua nisan tersebut. Permintaan kedua orang tuanya untuk dimakamkan bersebelahan sebelum sebuah kecelakaan menyebabkan kedua orang tuanya meninggal dunia. Meninggalkan dirinya sebatang kara tanpa sanak saudara yang ia kenal, gadis muda itu memiliki nasib yang kurang beruntung dari sebagian orang.
Perlahan ia berlutut di antara kedua nisan tersebut mengabaikan pakaiannya yang akan kotor sambil mengusap lembut nama yang selalu ada di setiap harinya, namun semua itu tidak akan ada lagi. Tidak akan ada lagi dua orang yang selalu memanjakannya, tidak akan ada lagi dua orang tempatnya mengadu dan bercanda.
Dua orang yang selalu tersenyum kepadanya setiap hari, dua orang berhati malaikat yang telah membesarkan dirinya sejak kecil hingga dewasa. Segala pengorbanan orang tua yang akan ia kenang sepanjang hidupnya, segala kasih sayang yang telah diberikan akan ia hormati sampai ajal menjemput dan mempertemukan mereka kelak.
Suara seraknya terus memanggil nama 'Mommy and Daddy' seolah tak rela atas kepergian mereka berdua, disertai tangis sesegukan yang tak kunjung mereda. Ingin rasanya ia segera menyusul kedua orang tuanya itu, namun tiba-tiba seseorang datang dan melindungi dirinya dari derasnya hujan menggunakan sebuah payung hitam.
"Vanessa...?!" Panggil suara lemah lembut yang membuat Vanessa mengikuti arah suara tersebut.
Vanessa menoleh kebelakang, seorang wanita cantik tersenyum ke arahnya bagai seorang malaikat penolong. Vanessa yang tengah dalam keadaan kacau hanya bisa menangis, wanita tersebut kemudian membantunya berdiri. Menguatkan Vanesaa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan akan kepergian orang tuanya.
Wanita itu menggiring Vanessa meninggalkan nisan kedua orang tuanya, gadis itu sempat berbalik menatap dua pusara tersebut sebelum akhirnya melangkahkan kedua kakinya meninggalkan tempat tersebut. Memeluk tubuhnya sendiri mencoba menguatkan dirinya, tak menghiraukan hawa dingin yang sedari tadi menusuk hingga ke tulang dan nadinya. Vanessa mencoba untuk tegar demi orang tuanya...
"Kau tidak harus menjemputku tadi, itu hanya akan membuat penyakitmu bertambah parah." ujar Vanessa kepada Lisa, seorang wanita yang sudah ia anggap seperti Ibu kandung yang selama ini telah bekerja di rumahnya sejak dirinya kecil.
"Justru kau yang akan sakit jika terlalu lama di bawah guyuran hujan." balas Lisa seraya menghidangkan secangkir teh hangat kepada Vanessa, gadis itu terlihat menggigil dengan rambut yang masih basah kuyub dan tubuh terbalut selimut tebal.
Vanessa sangat khawatir dengan Lisa, wanita paruh baya itu memiliki penyakit asma yang sudah sangat parah. Bahkan dirinya sering mengantar Lisa untuk berobat ke dokter karena penyakitnya tak kunjung sembuh.
"Apa yang harus ku lakukan sekarang Lisa?" Tanya Vanessa, wanita tua itu sedikit terbatuk dan Vanessa sangat iba melihatnya.
"Kau bisa pergi ke luar kota Ness, kau masih muda dan memiliki banyak peluang." jelas Lisa dengan suara parau.
"Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri disini-"
"Kau masih sangat muda, pergilah! Aku akan baik-baik saja disini, percayalah." potong Lisa.
"Lalu bagaimana kau akan membayar obat-obatan sementara Ayahku sudah tiada..." sambung Vanessa.
"Percayalah, aku akan baik-baik saja." Lisa menggenggam kedua tangan Vanessa, mencoba meyakinkan gadis itu.
Vanessa menghembuskan nafas kasar, berbagai pilihan rumit terus mengelilingi benaknya.
Ia tidak mungkin terus berada disini sementara Lisa membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan. Namun jika ia pergi, Vanessa khawatir tidak ada yang menjaga Lisa seorang diri di rumah besar yang isinya telah habis terjual karena bisnis Ayahnya sedang dalam keadaan tidak baik sebelum kecelakaan tersebut.
Meskipun Lisa bukan anggota keluarganya, namun wanita paruh baya itu sudah seperti Ibu baginya. Lisa yang mengurusnya sedari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini, dan tentu saja Vanessa tidak akan pernah melupakan jasa wanita itu. Dan mungkin sekaranglah saatnya membalas segala kebaikan dan kasih sayang yang pernah Lisa berikan untuknya.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi kau berjanji akan selalu menungguku pulang bukan?" Kata Vanessa seraya tersenyum.
"Aku janji..." balas Lisa.
Keduanya akhirnya terlibat dalam obrolan ringan dan segala canda tawa, meskipun terkadang suara serak dan batuk yang diderita Lisa mengganggu indera pendegaran Vanessa dan membuat hatinya terenyuh. Dan Vanessa tahu, wanita tua itu berusaha menyembunyikan sakitnya dari Vanessa.
...
"Sudah semua!" kata Vanessa seraya mengangkut kopernya, sementara Lisa kesana-kemari guna mempersiapkan perlengkapan untuk dirinya.
Vanessa hanya tersenyum melihatnya, Lisa tak henti-hentinya mempersiapkan segala hal untuk Vanessa meskipun itu tidak perlu karena dirinya bukan anak kecil lagi.
"Kau ingat alamatnya?" Tanya Lisa dengan wajah khawatir.
"Tentu saja, aku dan Ayah sering mengunjungi Uncle Clark." jawab Vanessa seraya tersenyum, justru Vanessalah yang harus mengkhawatirkan keadaan Lisa selama tinggal seorang diri disini.
Ketika semua perlengkapan telah siap, kedua mata Lisa mulai memerah karena tak kuat dengan kepergian Vanessa.
"Lisa... sudahlah, aku akan kembali dalam beberapa minggu." ujar Vanessa seraya memeluk tubuh kurus Lisa dan mengelus bahunya dengan lembut.
"Kau sudah seperti anakku sendiri, jaga dirimu baik-baik Vanessa!" Ujar Lisa sambil menitikan air mata yang segera diusap pelan dengan jemari Vanessa.
Vanessa mengangguk seraya tersenyum ke arah wanita paruh baya tersebut, "aku hanya pergi bekerja Lisa, kau tak perlu mencemaskanku." kata Vanessa.
"Uh baiklah, apa sudah selesai acara menangisnya? Hari sudah hampir siang." kata seorang supir.
Vanessa lalu buru-buru memasuki taksi, detik-detik terakhir ketika ia melihat wajah cantik yang mulai berkerut itu untuk terakhir kalinya. Taksi mulai meninggalkan pelataran rumah, meninggalkan segala kenangan yang ada di rumah besar tersebut. Lambaian tangan Lisa dari kejauhan masih terlihat hingga beberapa saat, namun makin lama tubuh kurus itu sudah tak terlihat lagi tertutup oleh pohon-pohon yang ada di jalanan.