Prologue
Ketika hari mulai larut, semua kegiatan yang ada di muka bumi terhenti sementara untuk beristirahat. Meskipun kegelapan mendominasi seluruh tempat, tapi sinar rembulan yang terlihat sangat cantik mampu memberikan sedikit cahaya untuk menyinari sekelilingnya. Angin malam yang dingin membuat tubuh membeku, hanya kehangatan yang mampu mencairkan segala kengerian malam yang mencekam.
Ketika semua orang tertidur lelap mengistirahatkan tubuh, namun tidak bagi sebagian orang yang memiliki hasrat berbeda ketika jam telah menunjukan tengah malam. Ketika aura dingin menembus kulit, ketika kegelapan mampu membuat gairah naik ke permukaan dan memberikan reaksi yang berbeda terhadap setiap jengkal tubuh. Dan hanya sinar rembulan yang mampu memperlihatkan tubuh erotis tersebut menggeliat di bawah kegelapan.
Meskipun angin dingin mulai mencekam di luar sana, namun tak menghentikan kegiatan panas yang dilakukan oleh dua anak manusia yang saling bertukar kehangatan. Tak menghiraukan suhu dingin, malah hal tersebut membuat suhu tubuh mereka makin memanas meski tanpa sehelai benangpun.
Deru nafas panas dan desahan makin membangkitkan gairah, suara kecupan yang semula ringan kini berubah menjadi liar demi memperoleh kenikmatan. Bertukar saliva membuat geraman dan desahan makin terdengar seksi. Meninggalkan beberapa bekas di lekukan leher dan d**a yang selalu menjadi candu bagi sebagian orang, begitu intens dan memabukan.
Gadis cantik itu terlihat mendongakan kepalanya seraya mendesah, menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh jemari besar di setiap tubuhnya. Lekuk tubuh gadis itu terlihat erotis, rambut pirang yang ia biarkan terurai indah terlihat menyala terkena pantulan sinar rembulan yang masuk melalui celah jendela.
Ia berdiri di samping ranjang, berhadapan dengan seorang pria yang duduk di tepi ranjang memainkan tubuhnya. Seperti jemari itu telah menjadi candunya, mengingkannya terus-menerus bermain di seluruh tubuhnya dengan sedikit remasan membuatnya terpekik. Brewok tipis milik pria itu turut menggelitik perut ratanya dengan kecupan-kecupan ringan di bawah sana, terasa seperti kupu-kupu yang beterbangan di perutnya.
"I love the way you explore my body." kata Vanessa seraya mendesah, kedua tangannya reflek ingin menyentuh bahu lebar pria itu, namun terhenti ketika kedua tangan besar milik pria itu menghentikan gerakannya. Vanessa merasa terkejut, ia lalu menatap pria itu. Kedua mata elang tersebut menatapnya tajam dengan pandangan penuh gairah namun terlihat kejam.
Kedua mata kecoklatan itu begitu indah, namun siapa sangka di balik segala keindahan yang dimiliki pria itu terdapat beberapa hal yang mengerikan.
Vanessa sempat bergidik ngeri begitu mengingat keganasan pria yang mampu membuat tubuhnya melemah dan menggeliat sekaligus karena perlakuan pria itu.
Pria itu menarik kedua tangan Vanessa dan menempelkannya di belakang tubuh gadis itu, Vanessa ingin sekali menyentuh kulit keras pria itu. Tapi sekali lagi, jemarinya tak mampu menggapai tubuh dengan pahatan paling indah yang pernah diciptakan oleh Tuhan tersebut. Pria itu tak pernah mengijinkan dirinya untuk melakukan hal tersebut, tak seorang pun dapat melakukannya.
Pria itu mulai beranjak dari duduknya di atas ranjang, berdiri menjulang di hadapan Vanessa yang mendongak menatap pria itu. Vanessa menelan salivanya sendiri, pria itu terlihat sangat sempurna baginya. Bagai Dewa Yunani, setiap jengkal di tubuhnya adalah pahatan sempurna ditambah dengan wajah rupawan. Bagi setiap wanita itu adalah hal yang biasa, namun pria di hadapannya ini mempunyai nilai tambah dengan memiliki geraman yang seksi.
"Apa yang kau lakukan?" Entah mengapa suara pria itu terdengar sangat mengerikan sekaligus seksi di telinga Vanessa, suara beratnya menggema di ruangan gelap itu membuat Vanessa hanya bisa terdiam sambil menatapnya.
"A-aku hanya ingin menyentuhmu..." kata Vanessa pelan seraya menundukan kepala, tak mampu menatap kedua mata setajam elang yang mampu membuat lututnya terasa lemas.
"Kau tahu itu tidak akan terjadi." kata pria itu.
Satu tangan pria itu kemudian menekan kedua pipi Vanessa dan menariknya dengan kuat, mengecup bibir kenyal Vanessa sementara tangan sebelah pria itu masih menahan kedua tangan Vanessa di belakang tubuh gadis itu.
Ciuman yang terasa menuntut dan Vanessa menahan pegal di lehernya karena harus mendongak terlalu lama, namun pria itu tak menyudahi ciumannya dan terus menggoda rongga mulut Vanessa hingga dirinya mulai kesulitan bernafas. Dan sepertinya pria itu menikmati segala kesengsaraan Vanessa seperti saat ini.
Pria itu menyudahi ciuman liarnya dengan tiba-tiba, menyebabkan bibir Vanessa memerah dan sedikit bengkak. Pria yang memiliki rambut kecoklatan tersebut sempat mengelus pelan bibir Vanessa sebelum akhirnya menekan bahu gadis itu agar berlutut di hadapannya. Vanessa berlutut dengan kedua matanya menatap pria itu, sungguh pemandangan yang indah.
Mungkin bagi pria itu, hal tersebut merupakan hal yang biasa. Pria itu selalu terbiasa melihat wanita yang bertelanjang tubuh di hadapanya, dan Vanessa hanyalah sebagian dari segelintir wanita yang pernah dikencani oleh pria itu. Namun bagi Vanessa, ini adalah suatu hal yang langka baginya. Sesuatu yang spesial yang pernah ia berikan untuk pria itu, meski pria itu menganggap ini adalah hal yang biasa.
Ketika semua telah dilakukan, ketika semua hasrat dan keinginan menjadi sangat menggebu, namun semua sirna ketika mengetahui hal yang tidak akan mungkin bisa terjadi itu tetap dilakukan. Ketika gairah memuncak, dan harus merelakan perih di d**a bahwa hanya ada satu jiwa yang mengharapkan cinta, sedangkan yang lain hanya menginginkan keuntungan semata.
Menjadi seorang pemuja yang rela menanggalkan seluruh pakaiannya hanya untuk mendapatkan belaian dari yang dipuja, menjadikan dirinya hanya sebagai gadis yang bodoh dan memiliki tekanan selama hidup karena terus mengagumi sosok tersebut.
...
"Hah..." Vanessa terbangun dari tidurnya, mentari pagi yang masuk melalui jendela yang terbuka menyilaukan pandangan. Masih teringat gerakan erotis dan desahan serta geraman yang selalu berputar di kepalanya, pada awalnya Vanessa berharap itu hanyalah mimpi. Namun melihat keadaannya yang kacau dan hanya terbungkus selimut tebal menandakan bahwa hal itu benar-benar terjadi.
Jam menunjukan pukul 8 pagi dan ia hampir terlambat. Vanessa melihat sekitar, baru menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya. Ia segera berlari ke kamar mandi guna membersihkan diri, Nathan pasti sudah menunggunya sedari tadi.
Beberapa saat kemudian, ia mengendap keluar. Sedikit terkejut ketika melihat punggung seseorang membelakanginya.
"Nate?" Panggil Vanessa.
"Hey, kau sudah bangun? Aku dan Ayahku sudah menunggu sedari tadi di ruang makan." sapa lelaki berambut ikal dengan kedua mata biru safir yang tak lain adalah sahabat baiknya itu.
"Untuk apa?" Tanya Vanessa bingung.
"Sarapan pagi."
"Oh, i-iya. Maaf, aku terlambat lagi." kata Vanessa kikuk.
Mereka berdua menuju ruang makan, dari kejauhan terlihat seorang pria yang tak lain adalah Ayah Nathan duduk di sana sambil membaca koran paginya.
Vanessa yang merasa gugup lalu duduk di sebelah Nathan, sementara sahabatnya itu terus mengoceh tak jelas sedari tadi.
"Daddy, Vanessa di sini." Kata Nathan kepada Daddy-nya.
Pria yang duduk berhadapan dengan Vanessa itu menurunkan korannya, membuat Vanessa tertunduk malu dan tak ingin memandang pemilik netra kecoklatan yang sangat indah tersebut.
"Uhm, terimakasih telah mengijinkanku untuk bekerja di sini Mr. Watson." ucap Vanessa gugup, tenggorokannya terasa kering saat berbicara dengan pria itu. Vanessa bahkan tidak sanggup jika harus mendengar suara besar yang selalu berhasil mengintimidasi dirinya itu.
"Hmm..." sahut Leonard, pria yang tak lain adalah Ayah kandung dari Nathan. Vanessa bahkan sempat menggigit bibir bawahnya sendiri mendengar geraman itu keluar dari mulut Leonard. Mengingatkan dirinya dengan kejadian semalam yang membuatnya mampu mencapai klimaks yang hebat.
Akhirnya Vanessa mencuri pandang dengan pria itu diam-diam, melihat pria itu yang duduk rapi berseberangan dengannya sambil menatap tajam ke arah Vanessa.
Kedua netra kecoklatan dan rambut dengan warna senada yang ditata serapih mungkin. Serta bahu besar yang tertutupi jas kerja, yang sayangnya tak dapat ia sentuh....