Terik matahari siang ini membuat Sabina sedikit mendesah sambil mengelap butir-butir keringat yang menetes di keningnya. Kemudian mengambil sebotol air mineral di dalam tas dan menenggaknya hingga setengah botol.
“Semoga kali ini berhasil.” Gumamnya seorang diri. Kembali merapihkan tatanan rambut dan bajunya sebelum benar-benar masuk ke dalam menuju resepsionis. “Selamat siang mbak, saya ada janji wawancara hari ini.” Ucap Sabina sopan.
“Mbak Sabina Laurensia?” Tanya Resepsionis dengan nama Rita yang tertera di nametagnya itu.
“Iya mbak benar.” Jawab Sabina sambil tersenyum.
“Silahkan menuju lantai tiga puluh empat yah mbak, pak Burhan sudah menunggu di sana.” Ucap Resepsionis itu lagi sambil menyerahkan kartu kunjungan untuk bisa mengakses lift dan sebagainya. Sabina menerimanya sambil tersenyum kemudian mengangguk sopan sebelum melangkah menuju lift yang tidak jauh dari tempatnya itu.
Ketika pintu lift yang di naikinya hampir tertutup, seseorang menahannya dan masuklah dua orang laki-laki dan perempuan dengan pakaian yang terlihat mahal. Sepertinya mereka bukanlah karyawan biasa di kantor ini menurut pandangan Sabina. Gadis itu memang tidak paham soal fasion atau merek ternama, tapi baju yang kedua orang itu pakai sekilas memandang saja sudah terlihat mahal sehingga Sabina bisa menyimpulkan mungkin kedua orang ini adalah orang penting di kantor ini.
“Nanti mas jemput kamu kalau mas udah selesai Meeting yah? Abis itu kita jemput Vena.” Sang laki-laki bersuara.
“Nanti Nana pulang bareng mas Miko aja mas jadi mas Raven nggak bolak-balik ke sini.” Balas sang perempuan. Sabina tidak berani memperhatikan kedua orang ini sekalipun dia penasaran. Dia hanya terus menunduk sambil mendengarkan.
“Nggak ah, mas jemput aja biar barengan. Lagian Miko nanti mampir kemana-mana.” Sang lelaki terlihat keras kepala. Tapi Sabina tersenyum merasakan cinta dari kalimat keras kepalanya itu.
Bagi Sabina kata-kata bernama Cinta atau sayang itu tidak pernah dia dapatkan seumur hidupnya. Hal itu membuatnya begitu haus dengan kasih sayang sehingga kalimat bernada perhatian sedikit saja sudah mampu di tangkap oleh kepekaanya.
“Kamu masih aja dendam masalah itu.” Kekeh sang perempuan geli. “Waktu itu mas Miko nggak sengaja ketemu sama temennya pas ngajak Nana. Dan temennya juga nggak tahu kalau Nana sudah memiliki suami dan anak makanya ajak Nana kenalan. Mas aja yang cemburuan.” Tambah sang perempuan yang Sabina ketahui bernama Nana itu dengan nada geli. Membuat Sabina kembali tersenyum tipis diam-diam. Baginya interaksi kedua orang ini terasa begitu manis.
“Ya gimana nggak cemburu, kamunya cantik begini.” Balas sang laki-laki dan Sabina kembali tersenyum lebar. Tidak sadar bahwa saat itu Nana telah melihat ke arahnya dan tahu gadis itu tersenyum.
“Ahh maaf ada orang di sini, maaf yah mbak.” Ucap Nana dengan wajah memerah yang terlihat jelas di mata Sabina setelah dia menoleh.
“Ahh tidak papa buk,” Balas Sabina dengan senyuman sopan. Raven ikut menoleh setelah mendapatkan pelototan istrinya terkait kalimat gombalan memalukannya yang terakhir tadi.
“Wawancara kerja?” Raven bertanya.
“Iya pak.” Jawab Sabina lagi dengan tak kalah sopan.
“Semangat dan sabar yah, pemilik perusahaan ini sangat pemilih dan menyebalkan.” Ucap Raven dan sukses mendapat pelototan dari istrinya. Lalu pintu berhenti tepat di lantai yang Sabina tuju.
“Saya duluan pak, buk. Terimakasih sarannya.” Pamit Sabina sopan. Nana tersenyum kemudian mengepalkan tangannya memberi semangat pada Sabina. Membuat gadis itu tersenyum penuh haru karena dia malah mendapatkan semangat dari orang lain bukan dari keluarganya sendiri.
Sabina mendesah, terlalu pahit jika mengingat tentang keluarganya, terlalu sesak jika memikirkannya lagi. Untuk lepas dari semua masa lalu dan demi masa depannya sendiri, hari ini Sabina berada di sini. Di sebuah perusahaan besar yang menjadi harapan terakhirnya karena sebelumnya dia telah di tolak oleh beberapa perusahaan.
Di lantai ini Sabina pikir akan ada beberapa ruangan pekerja, tapi rupanya hanya ada satu ruangan dengan pintu besar yang terlihat begitu mewah. Gadis itu kemudian kembali merapihkan bajunya dan berusaha mengurangi kegugupannya. Ini adalah harapan terakhirnya sekarang, karena itu dia tidak boleh sampai gagal.
“Semangat Sabina! Ayok kita hadapi hari ini dengan sukses.” Gumamnya pada diri sendiri. Kemudian menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan apakah benar ini ruangan tempat wawancara tapi tidak ada orang satupun. Karena itu Sabina memutuskan untuk masuk saja karena resepsionis di bawah mengatakan dia sudah di tunggu oleh pak Burhan. Mungkin saja laki-laki itu sudah menunggu di dalam. Tapi ketika Sabina sampai di dalam ruangan yang sangat besar itu, dia juga tidak menemukan ada orang. Membuatnya sedikit ragu apakah dia masuk ruangan yang tepat atau bukan. Tapi dia yakin tadi dia memencet lantai tiga puluh empat seperti yang resepsionist itu katakan dan di lantai ini hanya ada satu ruangan saja. Itu artinya dia tidak mungkin salah bukan?
***
“Iya bun, Miko ngerti kok. Miko bukannya nggak mikirin calon istri tapi belum nemu yang cocok.” Desah Miko lelah. Entah pembahasan yang keberapa dalam minggu ini. Laki-laki itu rasanya ingin berteriak kencang karena kesal.
“Kapan nemu yang cocoknya sih Mik? Lihat tuh adik kamu aja udah kasih bunda cucu loh. Davena udah mau lima tahun masa kamu belum juga bawa calon istri sih. Bunda pusing nih jadinya.” Yuli-Ibu Miko mendesah kesal karena putra pertamanya ini tidak kunjung menikah padahal teman-teman seumurannya sudah memiliki anak lebih dari satu.
“Iya Bun, iya udah yah? Miko hampir sampai tempat Meeting nih nanti telpon lagi yah?” Balas Miko berusaha mengakhiri sambungan telpon yang topiknya selalu sama dan membuat kepalanya berdenyut itu.
“Ya sudah pokoknya dimata Bunda Laras yang paling baik Mik, jadi daripada kamu pusing nyari mendinga sama Laras aja oke?” Ucap Yuli lagi dan membuat Miko kembali mendesah.
“Sudah dulu Bun, miko udah sampai. Assalamu’alaikum.” Balas Miko kemudian mematikan sambungan telponnya dan berteriak frustasi.
“Jangan ketawa lo Bob, gue pecat lo ngetawain gue.” Ancam Miko pada supir sekaligus sekertarisnya yang kali ini sedang tertawa ringan mentertawakan penderitaan atasannya itu.
“Pecat aja gue pak! Nanti gue masuk ke perusahaan sebelah.” Kekeh Bobi geli. “kali aja gue dapetin si Rina yakan?” Tambahnya lagi sambil tertawa. Bobi memang sahabat Miko sejak SMP. Dia satu-satunya teman yang Miko anggap paling tulus dan pekerja keras. Karena itu ketika Miko berhasil mendirikan perusahaannya, Bobi adalah orang pertama yang dia ajak untuk bekerja padanya. Kebetulan pendidikan yang Bobi ambil ketika kuliah dulu sesuai dengan bidang yang Miko butuhkan.
“Diem lo! Ayuk keluar. Kerja!” Ucap Miko ketus sambil keluar dari mobil mewah yang mereka kendari. Diikuti oleh Bobi yang mengekor di belakangnya.
Meeting kali ini berhubungan dengan pembukaan kantor perwakilan perusahaan miliknya di Singapore. Jika sebelumnya Miko hanya merambah pada bidang jasa terutama dalam komputer dan teknologi. Sudah lebih dari dua tahun belakangan ini miko menekuni bisnis penyedia layanan baca buku Online. Dimana di dalam bisnis ini, Miko mengumpulkan penulis-penulis potensial untuk menulis n****+ di aplikasinya. Mengingat kesuksesan yang Miko raih di Indonesia, kali ini laki-laki itu ingin mengembangkan sayapnya menuju pasar Asia sehingga dia memilih Singapore sebagai negara yang tepat untuk membuka kantor perwakilannya.
Alasannya adalah karena Regulasi yang di tawarkan oleh pemerintah Singapore sangat ramah terhadap usaha. Selain itu Singapore juga memiliki potensi geografis yang strategis di Asia, sehingga Miko bisa menjangkau negara-negara di sekitarnya.
Semua berjalan sesuai dengan keinginannya dan Miko tersenyum puas. Bukan hanya perihal pekerjaan saja yang membuatnya puas, tapi jika rencana bisnis ini berjalan lancar itu artinya dia harus pindah sementara ke Singapore untuk memulai segalanya dan bisa menghindarkan dirinya dari gangguan Laras, teman adiknya yang mengejar-ngejarnya sejak kurang lebih enam tahun lalu. Dan sekaligus bisa lari dari ocehan bundanya yang membuatnya sakit kepala itu. Karena itu senyuman puas Miko kali ini jauh lebih lebar dari biasanya dan itu menarik perhatian Bobi.
“Gue tahu, pasti di kepala lo yang rumit itu sedang bersorak gembira karena rencana tersembunyi di balik pekeejaan ini berjalan lancar kan?” Ujar Bobi mencibir.
“Rencana tersembunyi apaan? Ngarang lo.” Sanggah Miko tidak mau mengakui. Bobi terkekeh.
“Melarikan diri dari perempuan jadi-jadian bernama Laras dan ocehan nyokap lo itu kan?” Balas Bobi tepat sasaran. Miko diam saja dan mempercepat langkahnya kembali menuju parkiran karena enggan mengakui bahwa Bobi tepat sasaran. Bobi hanya tersenyum geli sambil terus mengimbangi langkah Miko. Dia tahu bahwa di balik sikap dingin dan perfectsionis Miko, laki-laki itu cukup pemalu dan tertutup perihal perasaan.
“Abis ini kita kemana?” Miko bertanya setelah mobil mereka melaju.
“Pulang ke kantor, lo ada janji sama adik lo dan suaminya yang posesif itu kan?”
“Oh iya Raven, gue lupa banget. Pasti diamuk lagi gue.”
“Kenapa lagi lo?” kekeh Bobi.
“Gue meleng dikit adek gue diajak kenalan sama Sbastian. Pas banget si Raven datang waktu itu. Ngamuk lah dia. Tau sendiri kan dia gimana.” Desah Miko lelah. Adik iparnya itu memang terlalu mencintai adiknya hingga dalam taraf menjijikan di mata Miko. Dan saat itu Miko sudah berhasil lolos dari amukan karena pertolongan Nana. Tapi kali ini mereka memang ada janji temu sebentar untuk membicarakan pekerjaan. Dan bisa di pastikan kalimat yang keluar dari mulut Raven pasti akan penuh dengan sindirian menyebalkan.
“Orang kalau cinta ya kaya gitu lah Mik, gue aja kalau ada yang ajak kenalan Rina panas padahal dia baru gebetan. Apalagi adik ipar lo yang udah nikah. Lo aja yang hatinya terlalu kering jadi nggak bisa ngerasain cinta sedikitpun.” Cibir Bobi yang tidak ditanggapi oleh Miko. Tapi Bobi sudah kebal perihal di cueki atau tidak di hiraukan oleh Miko. Sebab dia sudah sangat paham sekali bagaimana sikap Miko selama ini. Sikap itu juga yang membuat banyak orang menganggap Miko sombong karena lebih suka diam jika tidak sesuai dengan topik yang dia inginkan. Tapi bagi Bobi yang sudah berteman lama dengan Miko, hal itu bukanlah hal yang perlu di risaukan karena dia sangat tahu Miko aslinya tidak sombong. Miko hanya terlalu sempurna saja dalam banyak hal terutama pekerjaan sehingga membuatnya terkesan kaku.
Tidak lama kemudian Miko sampai di lobby kantornya dan semua orang yang ada di sana langsung berdiri dengan hormat. “Pak Raven dan ibu Nana sudah menunggu bapak di ruang kafetaria.” Ucap sang resepsionis ketika Miko datang. Miko mengangguk saja kemudian melangkah pergi menuju lift. Tapi langkahnya terhenti dan menoleh lagi ke arah resepsionis tadi. Wajahnya terlihat asing tapi kemudian Miko kembali melanjutkan langkahnya diikuti oleh Bobi.
“Anak baru?” Tanya Miko.
“Siapa?”
“Resepsionis?”
“Iyalah, lo lupa anak yang lama lo sendiri yang pecat Cuma gara-gara pakai lipstik tebal warna merah yang lo benci itu.” Jawab Bobi mengingatkan Miko pada perempuan genit yang suka menggodanya itu. Mengingatnya saja sudah membuatnya merinding, mana mungkin dia akan mempertahankan karyawan seperti itu di kantornya.
“Untuk karyawan yang akan di taruh di cabang Singapore udah Ready?” Miko malah bertanya hal lain. Untungnya Bobi sudah biasa di abaikan seperti ini.
“Hari ini ada satu yang wawancara buat bagian yang lo garis bawahi itu.”
“Oh iya? Gimana kualitasnya?”
“Lulusan kampus terbaik di Jakarta, bahasa inggrisnya oke banget, belum berkeluarga, tidak memiliki kekasih seperti yang lo minta, terus yang paling oke dia pernah kerja di redaksi buku sebagai editor jadi dia sudah paham lah tentang kerjaan yang akan di berikan padanya.” Jawaban Bobi memuaskan Miko.
“Setelah selesai sama Burhan, bawa ketemu gue! Gue mau ketemu dan memastikan.” Ucap Miko diangguki oleh Bobi.
“Kenapa turun disini?” Tanya Bobi karena Miko keluar di lantai yang tidak seharusnya. Padahal adiknya dan adik iparnya sedang menunggu di lantai atas.
“Gue ganti baju dulu, gerah banget.” Jawab Miko tanpa menoleh. Bobi mengangguk saja dan melanjutkan menuju lantai dimana Raven dan Nana sudah menunggu.
Lantai dimana kantor Miko berada memang selalu sepi. Laki-laki itu cenderung pemilih dan tidak suka keramaian. Karena itu hanya Bobi saja yang memiliki ruangan di lantai itu selain dirinya. Karena itu ketika keduanya pergi, lantai itu akan kosong.
Miko mulai membuka Dasi dan kancing kemejanya sambil berjalan menuju pintu dimana ruangannya berada. Tepat ketika dia membuka pintu, seluruh kancing kemejanya berhasil terlepas dan tanpa pikir panjang dia langsung melepas kemeja biru muda yang sejak tadi dia kenakan itu.
Tapi kemudian tubuhnya mematung dan setelahnya terdengar jeritan kecil dari seseorang yang dengan lancangnya berada di ruangannya itu. “Lo ngapain di ruangan gue?” Miko nyaris berteriak marah dan sang perempuan tidak berani menatap ke arahnya dan menutupi wajahnya dengan tangan membuat Miko kesal. Laki-laki itu kemudian melempar kemejanya ke arah sofa dan mendekati perempuan itu.
“Sa-saya di sini ma-mau ahhhh” Sabina hampir menjerit karena laki-laki di hadapannya selain telanjang juga menghimpitnya ke tembok dekat sofa dengan tatapan yang tidak ramah. “Ja-jangan macam-macam.” Ancamnya dengan sedikit gemetar. Semua ingatan tentang pelecehan yang di lakukan oleh ayahnya membuat tubuhnya gemetaran.
“Jangan macam-macam huh?” Desis Miko dengan suara menyerupai bisikkan yang membuat Sabina merinding. “Lo ada di ruangan gue dengan rok sependek ini dan mengatakan jangan macam-macam?” Kekeh Miko menyeramkan. Keringat dingin sudah keluar dari tubuh Bina ketika sebuah teriakan melengking membuat keduanya terlonjak kaget.
“Mikoooo! Berani-beraninya kamu m***m sama cewek di kantor!” Ini adalah kalimat kedua yang keluar dari mulut Yuli setelah teriakan melengkingnya sebelumnya. Miko meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, menyadari bahwa bencana baru saja hadir di hidupnya. Dan semua ini di sebabkan oleh perempuan sialan yang tiba-tiba ada di ruangannya itu.
“Miko bisa jelasin Bun.” Ucapnya berusaha tenang.
“Jelasin apa huh? Kamu itu udah tua Miko! Bisa-bisanya kamu terinpirasi sama adegan pertemuan adik kamu dan suaminya dulu padahal kamu tahu itu salah.” Geram Yuli marah. Sabina sendiri sudah terduduk di lantai dengan tubuh yang gemetaran.
“Kejadiannya nggak kayak gitu Bun.” Ucap Miko frustasi. Apalagi ketika dia menyadari bahwa Bundanya tidak datang sendirian, tapi bersama Laras yang terdiam tanpa kata sambil menatapnya tidak percaya. Kacau sudah semuanya. Membuat kepala Miko semakin berdenyut nyeri.
***