Apakah Ini Cinta?

1110 Words
Kanaya bergerutu seraya menaruh bokongnya di kursi. Ia menceritakan tentang kejadian pagi hari yang menampakkan pemandangan seorang lelaki dewasa sudah ada di samping sedang tertidur pulas. Sera pun terbelalak mencerna ucapan Kanaya. "Kamu melakukan malam pertama?" tanyanya sambil mengunyah makanan. "Gue nggak ngerti. Gue nggak sadar, kayaknya nggak terjadi apa-apa. Pakaian kami masih komplit. Tapi, tadi gue nggak suka, dia bilang akan memanggil jika dia kesepian. Dia kira gue itu barang dagangan yang bisa dipesan," dumel Kanaya. "Eh, ada Kanaya," sapa seorang wanita paruh baya memakai daster bunga-bunga, berdiri di ambang pintu. Dia baru pulang, bekerja dari rumah ke rumah menjadi kuli cuci. Ibunya Sera mengusap rambut Sera di depan Kanaya dengan sangat tulus. Meminta agar Kanaya diajak makan siang bersama. Setiap makan siang jika hari Minggu, wanita paruh baya itu selalu menyempatkan waktu untuk pulang ke rumah karena akan makan bersama dengan Sera dan anaknya bungsunya yang baru menginjak kelas empat sekolah dasar. "Iya, Bu." Sera mengulum senyum tipis. Melihat keharmonisan keluarga Sera membuat Kanaya terkesiap dan tertegun. Sungguh berbeda sekali pemandangan di rumah Sera dengan di rumahnya. Dia hanya sendiri di rumah karena sang ibu selalu sibuk. Tak terasa matanya berembun, tetapi lekas dia mengukir senyum manis, dan bangkit berdiri sambil mengekori Sera dari belakang. 'Tuhan, tolong kembalikan kehangatan di keluargaku,' batin Kanaya sambil mengayunkan kedua kakinya. ** Pasca kejadian hari ini. Nathan yang baru pulang. Ia sampai di dalam kamar. Tiba-tiba bayangan Kanaya berada di atas kasurnya tampak menggoda. Ranjang cintanya bersama Sisil kini sudah ada wanita lain yang menempati, berbaring di sana. Nathan mengulum senyum kecil mengingat ekpresi Kanaya waktu tadi pagi. Satu kalimat lolos dari mulut lelaki tampan itu. "Kanaya cantik dan dia masih polos. Apakah aku menyukai gadis itu?" gumamnya. Benar kata pepatah yang mengatakan bahwa cinta bisa datang tiba-tiba tanpa meminta izin. Pintu hati Nathan terketuk hanya butuh satu hari untuk menyukai Kanaya. Ia pun tak tahu kenapa rasa itu cepat datang, padahal awalnya Nathan membenci perilaku gadis tersebut. Suara dering ponsel berbunyi nyaring memekak telinga dan Nathan langsung merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Tampak nama sang istri memanggil. Lekas lelaki berperawakan tinggi itu mengangkat telepon dari Sisil seraya tidur terlentang. Percakapan suami istri yang sedari tadi baik-baik saja, hangat. Namun, di kala Sisil menuturkan kalimat demi kalimat yang membuat Nathan kecewa adalah jika wanita itu masih ingin mengejar mimpi. "Entah kapan aku pulang ke Indonesia?" lirih suara Sisil membuat hati lelaki itu kian berkecamuk berbaur sedih dan kecewa. Iya, pikiran Nathan menjadi kacau. Antara harus setia atau tetap bertahan dalam rumah tangga yang ia rasakan seperti orang sedang pacaran yang melakukan hubungan jarak jauh. "Sisil, saya ngantuk," balas Nathan langsung menutup teleponnya dan ia menaruh ponselnya di samping tepat ada meja kecil yang di mana ada lampu tidur yang berdiri tegak. Lelaki itu pun berusaha untuk memejamkan mata, tetapi bayangan Kanaya saat bersamanya kembali menghantui dan Nathan membuka netra perlahan-lahan. Menimilisir perasaan yang berkecamuk dalam kebimbangan. "Kanaya enyah dalam otak saya!" ujarnya sambil mengibas-ngibas tangannya di depan mukanya sendiri. "Apakah ini cinta?" tanyanya sambil meremas bantal menjadi bahan pelampiasan. ** Sementara itu di lain tempat. Di rumah Kanaya. Gadis itu baru masuk sudah disuguhi perdebatan Sisil dan Bisma. Seperti biasa dalam hal sepele yang menjadi keributan. Hanya karena dapat surat panggilan dari sekolah untuk orang tua. Namun, Siska tak bisa datang karena harus pergi ke Paris, sedangkan Bisma pun sibuk ada rapat. Kanaya berdiri sembari melipat kedua tangannya di depan dadaa. Tatapannya menyalang ke arah Bisma dengan punggung yang disandarkan ke tembok. Lantas sebelah kakinya mengentak-ngentak. "Stop, apa yang kalian ributkan? Jika tak ada waktu untuk aku. Lebih baik Kanaya sewa orang saja untuk menjadi orang tua bohongan," hardik Kanaya. Bisma menoleh ke arah Kanaya dan dia memangkas jarak. "Papi datang ke sini untuk memberitahu bahwa Selomita saja yang datang ke sekolah," tuturnya lembut. "Jangan, Selomita bukan ibunya Kanaya. Harusnya kamu yang datang. Egois!" sambung Siska dengan nada tinggi. "Lantas kau ini apa? Seorang Ibu. Tapi, tak bisa hadir," sindir Bisma menyeringai. "Lagian siapa yang mau istri simpanan Papi datang ke sekolah. Nanti apa kata temanku? Papi, sudah cukup nyakitin aku dan Mommy," pungkas Kanaya dengan mata yang berkaca-kaca. Namun, ia tak membiarkan air mata mengalir. Lekas Kanaya berlari kecil menuju tangga dan dia naik ke lantai dua dengan terburu-buru. Siska dan Bisma memandang nanar punggung Kanaya. Lantas sekarang siapa yang harus disalahkan bila Kanaya larut dalam dunia malam? Di dalam istana keluarganya, gadis itu tak menemukan kebahagiaan. Kemudian Bisma pamit pulang dan Siska masih dikurung oleh keegoisan tak mau melihat wajah Bisma saking sakit hatinya karena penghianatan yang diberikan oleh Bisma. Lantas Siska berderap menuju kamar Kanaya. Ia terhenyak mendengar ucapan Kanaya yang berteriak-teriak sekencang-kencangnya. "Kenapa aku harus ada di muka bumi ini jika dilahirkan tanpa kasih sayang? Kenapa mommy dan papi tak mau mengerti perasaanku!!" "Aku benci!!" "Kenapa Mommy lebih suka berkumpul bersama teman-temannya? Kenapa Mommy suka pergii ke luar negeri? Sedangkan aku di sini sendirian. Aku rindu Mommy!!" pekik Kanaya sambil mengacak-acak barang-barang yang ada di dalam kamar sebagai bahan pelampiasan emosi. Siska mengembuskan napas berat dan dia menyandarkan tubuhnya di balik pintu. Bulir-bulir bening berderai berlomba-lomba keluar dari kelopak matanya. Kalimat demi kalimat dari mulut Kanaya membuat Siska tertampar oleh kenyataan. "Maafkan Mommy, Kanaya," lirih Siska. Mungkin hanya semut yang mendengarnya. ** Keesokan harinya. Di sekolah. Pertemuan orang tua karena sebentar lagi kelulusan siswa. Banyak wali murid yang datang. Suasana di sana tampak ramai sekali. Kanaya baru turun dari mobil dan ia menyulam senyum sumringah. Diikuti oleh satu wanita berkebaya hijau dengan rambut yang disanggul memakai tas kecil yang dipegang di tangan. Makeup tebal dan memahami gincu berwarna merah cabe. Sera dan Qila terkejut melihat wanita berkebaya itu. Mereka yang berada di depan gerbang berdiri---sengaja menunggu Kanaya datang. Lekas mereka berdua menghampiri Kanaya dengan mata yang membulat sempurna. "Hai, kenapa kamu bawa Mba Fatimah datang?" tanya Sera. "Kanaya, dodol. Otaknya kebanyakan ditaruh di Pegadaian. Nanti guru tahu gimana? Mba Fatimah itu tukang karedok di kantin kita," cetus Qila sambil menarik tangan Kanaya. "Hai, tenang. Intinya ada wali murid 'kan. Kalian tahu sendiri. Orang tua gue egois dua-duanya," sahut Kanaya tenang dan dia menggiring wanita berkebaya hijau itu untuk masuk ke dalam sekolah. Sera dan Qila menggelengkan kepalanya. Mereka tak menyangka bahwa Kanaya akan melakukan apa pun. Meskipun harus menyewa wali murid. Saat Kanaya melangkah lebar gontai. Tiba-tiba terdengar suara yang membuat gadis itu menengok ke belakang dan mengerutkan dahi. "Bagaimana jika saya saja yang berpura-pura menjadi wali muridmu?" tawarnya. "Ngapain di sini?" Kanaya mencebik dan ia memutar bola mata sebal. Lantas ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tatapan menajam ke dua sahabatnya. "Siapa yang memanggil dia?" tanyanya melanjutkan ucapan yang terjeda sambil mengunyah permen karet.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD