Suara ayam berkokok nyaring memekak telinga itu adalah suara alarm ponsel Kanaya. Terulur tangan remaja itu mencari ponselnya yang berada di atas kepala. Akan tetapi, ia merasa aneh karena ada embusan hangat yang menerpa wajahnya.
Sontak Kanaya membuka mata bulat-bulat seakan-akan bola matanya pun hendak keluar saking terkejutnya kini ia berada di dalam pelukan seorang lelaki matang yang kerap kali dipanggil kata abang.
“Arggghhhhhhh!!” jerit Kanaya sambil mendorong lelaki itu hingga terjatuh ke lantai.
“Apaan sih, Kanaya?!” sentak lelaki itu sambil duduk mengumpulkan sukmanya agar terkumpul terlebih dahulu.
“Abang ngapain ada di sini? Ngapain ada di kamarku,” cerocos Kanaya sambil memegang selimut. Ia menengok ke bawah, ternyata pakaiannya masih lengkap. Gadis itu pun menghela napas lega.
Lelaki itu yang disebut abang terkekeh kecil sambil berdiri dan merangkak mendekati Kanaya yang masih kebingungan.
“Hai, bocah nakal. Coba kamu selisik lagi ada di mana?” kelakar Nathan seraya tersenyum simpul.
Bola mata Kanaya pun mulai menjelajahi setiap inci ruangan kamar tersebut. Dominan warna silver dan merah yang menghiasi kamar itu, bahkan saat ini ia sedang duduk di kasur king size kualitas bagus seperti yang ada di rumahnya. Sinar matahari menyelusup malu-malu masuk melewati ventilasi jendela.
Menyadari bahwa itu bukan kamarnya Kanaya pun mengulas senyum semanis mungkin sambil garuk-garuk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal, hal itu hanya menimilisir perasaan malunya.
“Sudah ingat kamu di sini karena apa?” tanya Nathan tegas dengan tatapan menajam.
“Lupa, Bang. Terakhir kita minum-minum terus pulang,” sahut Kanaya sambil meremas-remas buku-buku jarinya. “Bang, semalam kita ngapain? Nggak ngapa-ngapain ‘kan? Bang, kita nggak ciuumaan ‘kan?” seloroh Kanaya yang masih polos.
Nathan mencodongkan tubuhnya dan menangkupkan kedua tangannya di bingkai wajah Kanaya. “Jika kita melakukan hal itu memang kenapa? Bukankah kamu menawarkan diri mau menjadi teman kencan saya.”
Raut wajah polos Kanaya nampak sekali takut dan ia syok langsung teriak sekencang-kencangnya turun dari ranjang. Nathan pun terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Kanaya teriakannya kencang sekali. Gendang telinga lelaki mapan itu terasa sakit.
"Itu suara atau petasan, sih. Bikin sakit telinga saja," rutuk Nathan.
Lalu Nathan beringsut menjauhi Kanaya seraya memandangi Kanaya yang sedang mondar-mandir di depannya.
“Kalau aku hamil bagaimana?! Tidak, nanti apa kata teman-teman kalau aku hamil masih muda. Aku mau kuliah, aku mau keliling dunia, dan aku mau punya pacar banyak,” gerutu Kanaya merutuk dirinya sendiri karena terpengaruh minuman alkohol, ia kehilangan kesadaran dan lepas kendali.
Kanaya menjambak-jambak rambutnya sendiri. Nathan hanya tersenyum simpul melihat tingkah laku gadis yang aneh menurutnya.
Aneh, iya. Pasti aneh karena Kanaya sendiri yang mengakui sebagai teman kencan di depan teman-temannya. Namun, saat diberitahu soal hal itu. Reaksi Kanaya justru syok.
Nampak sekali ketakutan.
“Kata siapa kalau ciuumaaaan itu bisa buat orang hamil?” sambung Nathan sambil turun dari ranjang dan berderap mendekati Kanaya.
Kini mereka saling berhadapan dan bertatapan.
“Bukankah semuanya berawal dari bibir? Terus menjalar ke semuanya,” sahut Kanaya yang sering mendengar teman-temannya yang menceritakan soal itu.
“Bulshit,” jawab Nathan seraya menarik tubuh Kanaya, lalu tangannya melingkar di pinggang Kanaya. “Mau dicoba?” bisiknya.
“Apanya?” Kanaya balik bertanya.
“Kalau ciumaaan itu tak akan buat orang hamil,” goda Nathan seraya mengerlingkan mata.
Tatapan lelaki matang dan mapan itu membuat Kanaya demam. Peluh dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Apalagi tangan Nathan tak mau lepas memegangi pinggang Kanaya.
“Katanya kamu mau menjadi pacar saya?”
Kanaya menggeleng tanpa menjawab. Lidahnya terasa kelu dipandangi oleh Nathan. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya memburu.
“Semalam kita pagutan karena mabuk, sekarang secara sadar bagaimana rasanya?” lirih Nathan sudah mendekatkan wajahnya kepada Kanaya.
"Jangan macam-macam!" sentak Kanaya.
"Nikmati saja," bisik Nathan.
Gadis itu sudah pasrah dan memejamkan mata bak tersihir oleh ketampanan yang dimiliki oleh lelaki matang yang ada di hadapannya.
Hal ini membuat Nathan terkekeh kecil melihat Kanaya seperti itu. Ia pun mulai pelan-pelan memagut bibir ceri gadis berkulit putih itu.
Bulu mata lentik Kanaya mengerjap-ngerjap. Ia berjingjit.
Serangan bibir Nathan membuat ia kikuk harus seperti apa, sedangkan lidah Nathan sudah menyelusup masuk ke mulutnya. Ini adalah first kiss Kanaya dengan seorang lelaki. Mereka berdua memagut mesra saling melumat dalam waktu lima belas detik.
Sontak Kanaya mendorong tubuh Nathan, tersadar. Dia langsung beringsut mundur sambil menggelengkan kepala.
"Aku ternoda," ujar Kanaya.
"Kita tak melakukan apa-apa, aku tak merebut kesucianmu," timpal Nathan.
"Bohong!" Kanaya berkacak pinggang.
Nathan mengerutkan dahinya.
"Ini hari Minggu. Kamu mau jalan-jalan?”
tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau pulang.” Kanaya menimpali sambil berbalik badan.
“Mau mandi bareng atau mandi sendiri?” Nathan berjalan menuju kamar mandi.
“Nggak mau mandi bareng,” sahut Kanaya sambil bergidik dan berlari kecil mendahului Nathan. Lalu gadis itu masuk ke dalam kamar mandi.
Nathan menggelengkan kepalanya dan ia memutar badan. Masih basah diingatannya bahwa di saat Kanaya sedang mabuk, gadis itu sangat bersikap manja kepadanya, sehingga ingin pulang bersama.
Ketika lelaki itu melontarkan pertanyaan alamat rumah Kanaya, Kanaya justru memangkas jarak dan berbisik lirih ingin menginap di rumahnya.
Sebagai lelaki normal. Jiwa lelakinya naik saat melihat kondisi Kanaya yang sangat menggoda apalagi bukit kembar Kanaya yang berukuran besar. Membuat Nathan langsung mengangguk tanpa menolak. Hingga sesampainya di rumah dan masuk ke dalam kamar. Nathan pun langsung menyosor melumat bibir Kanaya. Namun sayangnya, tiba-tiba ia teringat sang istri yang berada di luar negeri. Akhirnya lelaki itu tak melanjutkan aktivitasnya.
Dering ponsel berbunyi membuat alam sadar Nathan kembali ke dunia nyata. Ia pun mengangkat ponsel yang teronggok di atas meja dekat ranjang. Seperti biasa, sang istri selalu mengucapkan selamat pagi untuknya.
Nathan pun berdiri sambil membuka tirai jendela. Setiap hari hanya ditemani suara sang istri bukan dengan raganya dan kini Nathan merasa kesepian.
Mereka berdua berdialog hangat seperempat jam. Tepat dengan selesainya Kanaya yang tampak sudah segar dengan rambut masih basah, kini sudah berdiri di belakang Nathan.
“Sudah selesai?” tanya Nathan basa-basi sambil menutup teleponnya.
“Iya.” Kanaya menjawab singkat.
“Tunggu aku hanya sepuluh menit,” kilah Nathan bergegas menuju kamar mandi.
**
Sebelum pulang Kanaya dibawa jalan-jalan ke mall oleh Nathan. Meskipun gadis itu menolak, tetapi karena tutur kata lembut Nathan. Akhirnya mereka berdua makan siang bersama dan menonton bioskop. Kanaya tak menyangka bahwa Nathan orangnya sangat hangat.
Setelah selesai menonton bioskop. Nathan pun mengantarkan Kanaya pulang karena lelaki itu ada urusan penting.
Di dalam mobil. Kanaya tak henti-hentinya menatap lekat Nathan yang sedang menyetir.
“Saya memang tampan. Jadi nggak usah lihatin seperti itu,” cetus Nathan sambil melirik Kanaya sekilas.
Kanaya tersenyum lebar tanpa menjawab. Lalu Nathan menghentikan mobil di tepi jalan. Lelaki itu merogoh dompet dari dalam saku.
Nathan pun mengambil uang dan menyerahkannya ke Kanaya.
“Saya tak butuh uang. Saya butuh kasih sayang,” lirih Kanaya sendu sambil menunduk.
“Apa kamu ada masalah?” Selidik Nathan sambil menepuk pundak si gadis.
"Jangan pegang-pegang, aku benci sama kamu dan aku tak butuh harta," jawab Kanaya mencebik. Dia kecewa karena Nathan menganggap Kanaya gadis yang berkencan membutuhkan uang.
Nathan terhenyak oleh penuturan Kanaya. Baru kali ini ia mendapatkan gadis yang tak mau harta. Biasanya menurut cerita dari teman-temannya bahwasanya para remaja SMA itu ingin mencari uang dengan instan asalkan semua keinginan mereka terpenuhi meskipun mengorbankan kesucian untuk mendapatkan hati sang lelaki.
Lantas Nathan kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sementara itu Kanaya masih membisu sambil di posisi yang sama.
“Alamat rumahmu mana?” tanya Nathan.
“Eh, rumahku. Hemz.” Kanaya garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal. Ia hanya sedang berpikir keras untuk mencari alamat yang cocok.
Lalu Kanaya pun menyebutkan satu alamat rumah.
Nathan pun bergegas menuju alamat yang dimaksud oleh Kanaya.
**
Tiba di sebuah rumah sederhana dengan cat putih tulang dan ada juga sebagian yang sudah terkikis waktu mengelupas. Nathan menurunkan Kanaya di depan rumah itu.
“Hai, bocah. Kalau aku butuh kamu bisa ‘kan kamu menemaniku,” ucap Nathan.
“Aku bukan bocah. Hai, aku bukan wanita panggilan," protes Kanaya sambil mengerucutkan bibirnya.
Nathan mengerlingkan mata dan ia undur diri pamit pergi.
Kanaya menghela napas lega dan ia memutar badan menatap lekat rumah yang ada di depannya. Nampak Sera keluar dengan sumringah.
“Naya, kamu datang nggak bilang-bilang. Kamu nggak apa-apa ‘kan? Semalam gimana ada pertarungan sengit nggak?” Todong Sera yang langsung berpikir negatif karena Kanaya menginap di rumah Nathan.
"Jangan bicara itu. Aku membencinya," jawab Kanaya.
"Kenapa sih?" tanya Sera sembari meraih lengan Kanaya.
"Pokoknya aku benci ... benciiiii!!" pekik Kanaya.