Mentari langsung berlari keluar garasi begitu ia sampai di rumah. Gadis itu melemparkan tubuhnya ke sofa dan menyalakan kipas angin. Seorang anak laki-laki yang berada di sofa yang berseberangan dengannya hanya menggelengkan kepala, tidak aneh dengan kelakuan ajaib kakaknya.
"Kecilin suara TV-nya woy. Udah kayak orang hajatan aja." Kedua alis Mentari bertaut karena suara nyaring TV. Adegan para robot raksasa berkelahi itu membuat kepalanya berdenyut.
Karena tidak ingin mengganggu momen menontonnya, Galang pun memilih menurut saja dan menurunkan volume TV. Anak itu mendengkus pelan dan mencoba untuk tak mengomeli sang kakak di sana. Salah satu tangannya yang lain sesekali masih aktif memasukkan sesendok sereal ke dalam mulut.
"Gak ada PR?" tanya Mentari.
"Gak ada," jawab Galang tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV.
"Beliin Kakak es krim dong. Lo kan anak baik."
Kunyahan Galang terhenti sejenak. "Kenapa barusan gak beli aja sih? Kan ada ibu."
"Lupa. Udah, sana beli. Nanti lo puas-puasin beli kue cubit Mang Asep."
"Gak mau. Aku udah kenyang."
Mentari berkedip dua kali. Tumben sekali adiknya menolak kue cubit kesukaannya.
"Ya udah kalo kenyang ya lo beli es krimnya aja. Sana buruan, panas nih."
Konsentrasi Galang pada film pun perlahan terpecah belah. Anak itu mendengkus pelan dan menutup salah satu telinganya dengan tangan.
"Galang Putra, cepetan atau gue bisa mati kepanasan di sini!"
Galang melirik sebuah kipas angin di dekat sofa. Ia lalu berdecak. "Makan aja tuh kipas angin!"
"Heh, adek gak ada akhlak lo ya!"
"Ribut lagi kan. Kalian bisa gak sih sehari aja gak bikin Ibu pusing?" Mala menggelengkan kepala melihat tingkah kedua anaknya yang selalu seperti anjing dan kucing itu.
"Galang nih, Bu. Masa disuruh ke depan bentar gak mau." Mentari pun segera mengadukan tingkah laku sang adiknya itu kepada Mala. Gadis itu juga menunjuk Galang dengan dagunya.
"Kakak tuh, nyuruh-nyuruh terus! Padahal semalem keluar, tapi gak beli es krim sekalian. Terus barusan pas pulang sama Ibu juga. Aku juga pengin santai-santai di rumah habis pulang sekolah." Kedua pipi Galang menggembung. Ia menatap Mentari tajam selama beberapa saat lalu membuang pandangannya.
"Es krim? Ibu tadi udah beli pas belanja. Sana ambil di kulkas. Kamu tuh kebiasaan kalo keluar pasti lupa beli." Mala berujar seraya menaiki satu per satu anak tangga.
"Beneran, Bu? Yes!" Mentari beranjak dan langsung berlari ke dapur. Melihat itu, Galang meletakkan mangkuk berisi sereal di tangannya ke atas meja. Dengan sedikit berjinjit, ia pergi dari sana. Bibirnya membentuk seulas seringaian dan ia mulai menghitung mundur setibanya di pintu.
"Tiga ... dua ... satu—"
"GALANG PUTRA, PASTI LO YANG NGEHABISIN ES KRIM GUE!! KE SINI LO, ADEK LAKNAT!!!"
Galang langsung lari terbirit-b***t keluar dari rumahnya. Ia tertawa puas.
"Rasain!" Ia memeletkan lidahnya. Kemudian ia berjalan mengambil sebuah bola yang ada di sana menendang-nendangnya pelan.
"GALANG! KE SINI LO!" Mentari berteriak dari ambang pintu dengan kedua tangan yang sudah berada di pinggang.
Bukannya mendekat, Galang justru memeletkan lidahnya.
"Kurang ajar lo ya! Ke sini woy! Galang!"
Galang tetap ada pendiriannya. Ia bahkan malah sibuk menendang bola. "Ke sini aja kalo berani!" ledeknya. Ia tersenyum miring, membuat Mentari semakin naik darah. Gadis itu lalu kembali ke dalam rumah dengan langkah lebar.
"Halah, palingan sibuk nyari payung sama mantel," cibir Galang. Ia menendang bola itu, namun tendangannya yang terakhir terlalu kuat hingga terlempar jauh dan hampir mengenai kepala seseorang. Galang terkejut dan segera menghampiri orang itu.
"Kakak gak kenapa-napa, 'kan?" tanya Galang panik. Dia mendadak takut dimarahi.
"Enggak kok." Orang itu mengambil bola milik Galang. "Loh? Kamu ternyata. Lagi main?"
Galang berkedip dua kali, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe. Iya, kak. Kakak enggak nyasar lagi, 'kan?" tanya anak itu dengan polos.
Alan tertawa pelan lalu mengacak puncak kepala Galang. "Mau Kakak temenin? Di halaman rumah Kakak aja yang lebih luas," ajak Alan. Galang mengangguk antusias, lalu mengikuti Alan hingga ke rumahnya.
"Kakak tinggal sama siapa di sini?" tanya Galang seraya menerima bola yang ditendang oleh Alan.
"Sama orang tua lah." Alan kembali tertawa menanggapi pertanyaan anak itu.
"Kakak gak punya saudara?" Galang menendang pelan bola yang ada di kakinya.
"Enggak. Kakak anak satu-satunya."
"Wah, enak dong. Aku juga mau kayak Kakak. Aku punya kakak bisanya ngerepotin doang, nyuruh-nyuruh terus." Galang mulai bersungut-sungut.
"Wajar dong, namanya juga kakak ke adiknya."
"Udah bukan wajar lagi, Kak. Tapi kurang ajar," ujar Galang. Hal itu membuat Alan lagi-lagi tertawa. Sekitar sepuluh menit bermain, Alan menyuruh Galang duduk di sebuah bangku di sana.
"Kamu tunggu, ya. Kakak ambil minum dulu. Kamu pasti haus," ujar Alan. Galang mengangguk patuh seraya mendudukkan tubuhnya. Ia meletakkan bola itu di dekat kakinya dan melihat Alan masuk ke dalam rumah.
"Enak banget lo, nongkrong di sini!" Tiba-tiba seseorang dengan payung hitam dan mantel super tebal menghampirinya. Kedua matanya memakai kacamata hitam dan wajahnya hampir tidak terlihat karena ia memakai masker dan topi pantai bulat yang berukuran cukup besar. Galang terlonjak kaget. Bocah itu baru saja hendak kabur namun Mentari dengan cepat menahan salah satu lengannya.
"Pulang lo!" titah gadis itu dengan kedua alis yang menekuk.
"Kak, aku mau main! Gak usah ganggu!" Galang mencoba melepas tangan Mentari namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan gadis itu.
"Gak ada main! Enak aja lo, habisin es krim gue abis itu main. Tanggung jawab! Tadi pas gue suruh bilang gak mau, katanya panas. Sekarang lo malah panas-panasan di rumah orang!" ujar Mentari. Kini gadis itu membawa paksa adiknya kembali ke rumah
"Kak, ampun! Iya deh, aku beliin es krim!" Pengampunan Galang sama sekali tak membuat gadis itu melepaskannya, bahkan Mentari seolah tak mendengarkannya sama sekali dan bahkan seolah pura-pura tak mendengarnya.
Alan yang baru saja keluar dari rumahnya itu tampak terkejut melihat Galang yang ditarik-tarik oleh orang berpenampilan aneh. Anak itu ditarik hingga ke halaman rumahnya.
Kening Alan kemudian tampak mengerut menatap pemandangan yang ada di depan sana. "Itu siapanya? Nyokapnya? Kenapa penampilannya gitu?" gumamnya. Di detik berikutnya ia berkedip dua kali. Pemuda itu sama sekali tak berniat membantu Galang lepas dari orang itu karena ia tahu kalau orang itu sebenarnya bukanlah seorang penculik atau pun orang jahat lainnya melainkan keluarga dari bocah itu.
"Atau ... kakaknya?" Alan terbengong-bengong sendiri. Ia memiliki tetangga baru yang cukup aneh.
— TBC