6. Sunblock & Sunscreen

1204 Words
Suasana sarapan pagi ini mendadak hening, tidak seperti biasanya. Mala melirik kedua putra putrinya yang tampak sibuk dengan makanan masing-masing. Pemandangan yang cukup aneh, pikirnya. Biasanya kedua anak itu akan ribut dan membuat meja makan bergetar, namun pagi ini rumah mendadak senyap. Bahkan Galang yang biasanya berebut roti bakar dengan kakaknya itu kini tampak mengalah saat sang kakak mengambil roti yang sama di atas piring. Kedua pipinya tampak menggembung menatap Mentari yang memakan sisa roti itu dengan lahap. Akhirnya Mala pun memberikan roti miliknya pada Galang, namun anak itu menolaknya dan meminum segelas s**u. "Kalian kenapa sih? Masih marahan?" tanya Mala. Tak ada jawaban. "Masih gara-gara es krim yang kemarin itu?" Mala menggelengkan kepalanya, tidak pernah habis pikir dengan anak-anaknya itu. "Itu kan cuma es krim, nanti Ibu beli yang banyak." "Gak usah, Bu. Palingan nanti juga dihabisin sama Galang lagi." Mentari melirik adiknya. "Kok aku?!" "Ya kan emang elo yang habisin es krim gue tanpa izin." Galang mencebikkan bibir. "Tapi Ibu gak pernah bilang kalo es krimnya cuma buat kakak. Berarti aku juga boleh makan!" "Tapi gak lo habisin juga. Harusnya tanya gue dulu." Gelas s**u milik Mentari telah kosong. Gadis itu menatap Galang yang mendadak bungkam. "Kan aku udah minta maaf kemarin!" protes Galang. "Udah, udah. Jadi ribut lagi kan, sekarang cepet berangkat ke sekolah." Mala mengumpulkan piring-piring kotor di meja dan meletakkannya di wastafel. Galang dan Mentari masih menatap tajam satu sama lain, sebelum akhirnya saling membuang muka dan memakai tas masing-masing. Galang menyalami tangan Mala dan berangkat terlebih dulu. Karena jarak sekolahnya tidak sejauh sekolah sang kakak, ia pun hanya menaiki sepeda. Sepeninggal Galang, Mentari dan ibunya keluar. Gadis itu menunggu ibunya yang sedang memanaskan mobil di garasi. Cuaca hari ini tampak cerah dengan langit yang tampak begitu biru. Cuaca yang paling dibenci Mentari. Gadis itu semakin menaikkan jaketnya hingga menutupi kepala. Bersamaan dengan itu, penghuni rumah sebelah juga tampak memanaskan mobil di halaman. Alan yang sudah berada di dalam mobil itu tampak menunggu mamanya seraya membaca buku. "Gak ada yang ketinggalan, 'kan?" tanya mamanya yang masuk ke dalam mobil. "Enggak ada." Alan menjawab. Ia menutup bukunya dan melihat seseorang tengah berdiri di halaman rumah Galang. Wajahnya tak terlihat karena sebuah jaket yang ada di kepala. Kening Alan mengerut menatap jaket yang tampak tak asing itu. Tepat ketika mobil mamanya melewati rumah Galang, gadis itu masuk ke dalam mobil dan Alan tak bisa melihat wajahnya. Dengan sedikit memutar tubuhnya ke belakang, Alan menatap mobil yang ada di belakang. "Kenapa, Lan?" tanya mamanya yang memperhatikan lewat spion. Alan kembali memutar tubuhnya dan menggelengkan kepala pelan. "Enggak kok." "Sekolah kamu gimana? Lancar, 'kan?" "Lancar kok. Teman sebangku aku juga baik orangnya," ujar Alan. Ia sesekali menolehkan kepalanya ke belakang, menatap mobil yang masih berada di belakangnya itu. "Murid perempuannya cantik-cantik gak?" goda mamanya. Alan tertawa pelan. "Mulai deh. Kalo gak cantik ya bukan perempuan namanya." "Mentari Putri." Alan memegang salah satu pipinya. Meskipun bekas tamparan gadis itu sudah menghilang, namun mengingatnya membuat rasa ngilunya seperti kembali lagi. Alan benar-benar tidak ingin lagi ditampar oleh gadis bernama Mentari itu. Ya lagi pula tidak ada orang yang mau ditampar, 'kan? Tidak lama kemudian mobil milik mamanya sampai di sekolah. Alan segera turun dan menatap ke belakang , namun mobil tadi tampak tidak ada di sana. "Lan, kayaknya motor kamu dianterin nanti siang. Jadi besok kamu bisa naik motor ke sekolah. Tapi kamu gak apa-apa naik motor?" tanya mamanya dari dalam mobil. Alan sedikit merendahkan tubuhnya agar bisa bertatapan dengan wanita itu. Ia tersenyum tipis. "Gak apa-apa kok. Mama kan udah sering kesiangan gara-gara nganter aku." "Ya udah deh. Tapi hati-hati, ya. Kalo gitu Mama berangkat," pamit mamanya. Alan pun segera masuk ke dalam kelas. Tidak lama kemudian, sebuah mobil tiba di gerbang sekolah. "Awas ketinggalan lagi. Yang kemarin jhuga masih baru, sekarang jadi beli lagi gara-gara ketinggalan," ujar Mala seraya menatap putrinya yang masih berada di kursi belakang. Gadis itu tampak sedang memakai sunscreen di tangan dan kakinya. "Habisnya hari ini ada pelajaran olahraga. Jaga-jaga kalo ntar gurunya lupa punya murid gak normal kayak aku." Mentari memasukkan botol sunscreen itu ke dalam tas. "Hus! Gak boleh ngomong gitu!" tegur Mala. "Berangkat dulu, Ma!" Mentari langsung memakaikan kembali jaket ke atas kepalanya dan melesat keluar, diikuti dengan tatapan beberapa orang yang dilewatinya. Setibanya di kelas, ia melihat Lala yang sudah berada di sana. Semua teman-temannya yang lain tampak mengenakan kaus olahraga, kecuali dirinya. Namun hal itu seolah tidak jadi masalah karena Mentari memang tidak pernah ikut turun ke lapangan. Ia hanya akan duduk menonton dari koridor. "Gak pake baju olahraga, Tar?" tanya Lala seraya membenarkan ikatan rambutnya. "Bentar lagi bel." Mentari hanya menopang dagunya dan menatap Lala. Ia perlahan menggelengkan kepala. "Gue udah pake sunscreen. Jaga-jaga kalo Pak Candra lupa gue gak normal." Ia mengembuskan napasnya pelan. "Oh, iya. Cowok yang kemarin itu ... lo kenal sama dia?" Lala menatap Mentari saat gadis itu menyampirkan jaketnya di sandaran kursi. "Entahlah, gue ... masih belom yakin kalo itu emang dia. Mungkin aja gue salah orang." Salah satu alis Lala naik. "Tapi kok lo bisa nampar-" Bel berbunyi di saat Lala belum menyelesaikan kalimatnya. Ketua kelas pun segera menyuruh semua murid agar segera turun ke lapangan. Tanpa perlu mengganti baju, Mentari segera menarik Lala dan membawanya ke bawah. Pak Candra yang merupakan guru olahraga kelas sebelas itu tampak sudah ada di sana. Mentari yang memang tidak ikut pun bertugas mengabsen satu per satu siswa sebelum mereka melakukan pemanasan. Suasana di koridor berangsur sepi begitu semua murid telah masuk kelas masing-masing. Mentari hanya memperhatikan teman-temannya yang tengah voli. Bibirnya sedikit mencebik, ia ingin sekali ikut bergabung bersama mereka. Namun yang dia lakukan selalu saja membuat makalah, makalah, dan makalah. Membosankan. Mentari menatap ke sekitarnya. Beruntung bangku yang didudukinya itu tidak terkena sinar matahari karena terhalang pohon-pohon yang ada di belakangnya. Tiba-tiba Pak Candra yang semula tengah mengawasi murid-muridnya itu berjalan kembali ke tepi lapangan dan menghampiri salah satu anak didiknya yang berada di sana. "Alergi kamu itu masih belum sembuh, ya?" tanya pria itu seraya duduk di sebelah Mentari. "Pak, ini tuh bukan alergi biasa." Kedua mata Mentari mendelik. Ia paling malas jika guru olahraganya itu mulai mengejeknya. "Jadi maksudnya alergi luar biasa?" Pak Candra tertawa pelan dan mulai membuka daftar nilai yang dia bawa. Ia sesekali meniup peluit saat anak-anaknya mencetak poin. Mentari tidak menanggapi, ia kembali menatap teman-temannya yang berada di lapangan. Meskipun baru jam pertama, namun sinar matahari tampak begitu menyengat. "Biasanya kamu pake sunblock atau sunscreen?" tanya Pak Candra tiba-tiba. Ia masih berfokus pada permainan murid-muridnya. "Seringnya sunscreen, tapi kalo liburan pake sunblock." Pak Candra berkedip dua kali. "Oh, saya gak tahu kalau kamu ternyata suka liburan juga. Ikut upacara aja bisa masuk UGD. Kamu liburan ke mana emang?" Diliriknya Mentari yang sudah memasang tampang masam. Tidak lama kemudian Pak Candra tertawa. "Gak lucu tahu, Pak. Meskipun aku cuma bisa tahan beberapa menit doang, tapi aku suka keluar. Jarang banget sih, takut juga soalnya." Kedua pipi Mentari menggembung. Pak Candra kembali tergelak. "Kamu tahu gak, kalo terlalu sering pake sunscreen juga gak bagus buat kulit?" Mentari menoleh. Tanpa mereka sadari, murid-murid yang semula tengah voli itu kini berhenti dari kegiatan mereka dan menatap obrolan dua orang yang berada di tepi lapangan itu. — TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD