"Lo ... siapa?"
Bagai tersambar petir di siang bolong, ucapan lelaki itu membuat tubuh Mentari membeku seketika.
"Apa gue salah orang?" batin Mentari.
"Lo gak inget sama gue? Ini gue, kita semalem ketemu di minimarket. Gue yang semalem nampar lo," ucap Mentari blak-blakan. Lala yang mendengar itu sampai terkejut. Mentari menampar lelaki itu?
"Lo ... nampar gue?" Kedua mata lelaki itu membulat. Ia langsung memegang salah satu pipinya.
Apa tamparan gue semalem bikin dia hilang ingatan?
Mentari kacau dibuatnya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Jangan-jangan benar dugaannya kalau ia salah orang. Atau mungkin lelaki yang semalam itu memiliki kembaran?
"Serius lo gak inget?" Mentari mencoba meyakinkan. Aneh sekali, pasalnya mereka baru saja bertemu semalam. Tidak mungkin jika lelaki itu sampai benar-benar lupa, apalagi Mentari sempat menamparnya. Dengan kata lain, Mentari mempermalukannya di hadapan orang lain.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya pelan, membuat Mentari melongo. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu sedikit menggeser tubuhnya agar lelaki itu bisa melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"S-sori, ya. Mungkin gue salah orang." Mentari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lelaki itu langsung pergi meninggalkannya.
"Aneh. Apa dia sebegitu dendamnya sama gue?" Mentari bergumam seraya menatap punggung lelaki itu.
"Lo kenal sama dia, Tar?" tanya Lala. Gadis itu ikut menatap lelaki tadi.
Mentari menganggukkan kepalanya dengan ragu. "Kita semalem ketemu di minimarket. Gue gak sengaja nampar dia. Ya kali hari ini dia udah lupa."
Lala berkedip. "Gak sengaja nampar? Lo yakin dia orangnya?"
"Asli, La. Yakin banget gue. Orang gue masih inget kok. Apa jangan-jangan dia dendam ya sama gue? Atau dia punya kembaran?"
Mendengar ucapan Mentari, Lala jadi ikut bingung. "Mungkin dia emang gak inget. Tapi gak mungkin juga sih. Kecuali kalo kalian gak ketemu berbulan-bulan. Tapi kalo konteksnya lo nampar dia sih, agak mustahil buat dia lupa gitu aja." Lala mendadak pusing sendiri.
"Mungkin mukanya cuma mirip, Tar. Udahlah." Lala menyerah. Dia tidak mau memikirkan hal-hal ribet ketika dia sedang makan.
Sementara Mentari kembali mendudukkan dirinya. Ia masih penasaran dengan apa yang dialaminya barusan.
"Tar, bukannya lo mau pesen ya?"
Mentari mengerjap. Gadis itu menepuk jidatnya dan berjalan menuju salah satu penjaga kantin.
***
"Lo gak inget sama gue? Ini gue, kita semalem ketemu di minimarket. Gue yang semalem nampar lo."
Alan memegang salah satu pipinya. "Gue ... ditampar?" gumamnya dengan kedua alis bertaut.
"Astaga, apa gue semalem ketemu sama dia? Gue emang ngapain semalem? Kenapa gue ditampar? Salah apa gue?"
Beberapa orang yang berlalu-lalang tampak menatap Alan aneh. Pasalnya, dari tadi lelaki itu mengoceh sendiri.
Kedua kaki Alan berhenti tepat di salah satu pintu kelas. Lelaki itu menengadah, menatap sebuah papan nama kecil yang menggantung di atas pintu.
Kelas XII IPS 3.
Alan terdiam menatapnya.
"Kayaknya ada yang aneh. Kayaknya ini bukan kelas gue." Alan memijat pelipisnya dan berbalik pergi dari sana.
"Gue di kelas mana?" gumamnya seraya menatap satu per satu pintu kelas yang dilewatinya. Lelaki itu mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Tidak lucu jika dia sampai tersesat di sekolahnya sendiri.
Di sekolah lamanya saja ia masih suka salah masuk kelas, dan sekarang ia harus memulai semuanya dari awal lagi. Mengingat-ingat kelasnya, koridor tempat kelasnya berada, bahkan bangkunya sendiri.
Di tengah pencariannya itu, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya hingga ia pun menoleh.
"Lo mau ke mana? Bentar lagi bel. Lo belom tahu kan, guru biologi kelas sebelas itu galak. Telat dikit aja, lo langsung disuruh olahraga di lapangan," ucap siswa laki-laki itu.
Alan berkedip dua kali. Apa siswa itu teman kelasnya?
"Gue ... mau ke kelas," ujarnya.
Siswa itu terdiam. Beberapa detik kemudian ia tertawa dan langsung menarik bahu Alan, membawanya ke koridor lain.
"Lo pasti masih bingung, ya? Kelas kita bukan ke arah sini. Koridor ini khusus kelas sepuluh IPA," gelaknya.
Alan dengan ragu ikut tertawa. Jika saja orang itu tahu yang sebenarnya, pasti akan lebih memalukan lagi.
Mereka berdua menaiki satu per satu anak tangga. Alan menatap ke sekitarnya. Perlahan, kepingan-kepingan ingatan itu mulai kembali ke dalam kepalanya. Samar-samar ia mulai ingat. Alan menghela napasnya pelan. Hari ini ia cukup beruntung.
***
Mentari menggigit bibir bawahnya. Ia menatap langit yang seperti berkali-kali lipat lebih cerah dari sebelumnya. Gadis itu mendengkus. Ibunya akan telat menjemputnya karena harus mengunjungi temannya yang baru saja melahirkan.
Kedua kakinya mundur saat sinar matahari mulai menyentuh ujung sepatu. Sementara kedua tangannya masih setia menggenggam jaket yang diletakkan di atas kepalanya. Mentari menelan ludah berkali-kali. Hari ini ia begitu s**l. Mungkin ini karma gara-gara semalam terlalu banyak berdoa turun hujan, pikirnya.
Lala yang sedari tadi berada di sebelahnya menatapnya cemas. "Tar, lo naik taksi aja gimana? Nanti gue bantu cariin. Daripada nungguin nyokap lo."
"Pokoknya enggak! Gue mau nungguin ibu! Lo tahu kan, kalo taksi itu jendelanya gak pake tirai, beda sama mobilnya ibu. Masa sepanjang jalan gue nutupin jendelanya pake jaket? Ogah banget."
Lala memijat pelipisnya. Ia mencoba mencari cara lain. "Terus gimana? Lo mau ikut gue? Tapi gue kan pake motor."
Kedua mata Mentari membulat. "Lo mau bunuh gue? Kalo gue kena kanker kulit gimana? Kalo kulit gue pada melepuh gimana? Terus nanti gue masuk rumah sakit gimana?"
Gendang telinga Lala seketika berdengung. Ia tahu kalau suaranya cempereng, tapi itu tidak sebanding dengan suara seorang Mentari Putri ketika mengomel. Ucapan Mentari tidaklah salah. Ia benar saat berkata kalau sinar matahari bisa menyebabkan kanker kulit. Iya, Lala setuju. Hanya saja kadang hal itu terdengar agak berlebihan.
"Lo pulang aja, La. Gue gak kenapa-napa kok. Gue nunggu nyokap gue aja." Mentari berujar pelan.
"Beneran? Kalo gitu gue pulang ya. Gue gak bisa nemenin lo di sini." Lala menepuk pelan bahu Mentari dan berjalan ke parkiran.
Ya Tuhan, tolong mendungkan saja langit yang super cerah ini. Hamba ikhlas.
Mentari mulai berdoa tidak jelas. Ia semakin mundur saat ujung sepatunya hampir bersentuhan dengan sinar matahari. Gadis itu hampir frustrasi dibuatnya. Udara begitu panas dan ia sangat membencinya. Ditambah lagi teleponnya tidak diangkat oleh sang ibu.
"Oke, mungkin ibu lagi di jalan mau ke sini." Mentari kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
Persetan dengan orang-orang yang menatapnya aneh. Mentari sama sekali tidak peduli. Daripada ia nekat dan berlari ke gerbang lalu berakhir tidak masuk ke sekolah berhari-hari, lebih baik ia menunggunya di sini.
Tepat beberapa meter di belakangnya, seorang siswa tampak menatapnya aneh. Pandangannya lalu menatap ke arah langit.
"Perasaan sekarang gak hujan. Ngapain dia nutupin kepalanya kayak gitu? Ckck. Dasar cewek. Pasti takut kulitnya item." Ia berucap. Kedua alisnya lantas bertaut saat berhasil melihat sebagian wajah gadis itu.
"I-itu kan ... " Alan mempercepat langkahnya. Lelaki itu menarik pelan bahu Mentari ke belakang hingga benar-benar menghadapnya.
"L-lo sekolah di sini?"
Mentari mengerutkan dahi. Ia mulai merasa gila. Apa-apaan lelaki itu? Bukannya beberapa jam yang lalu dia tidak mengingatnya.
Jangan-jangan bener dugaan gue. Nih cowok pasti punya kembaran di sini.
"Lo inget sama gue?" tanya Mentari.
"Ya ingetlah. Lo yang semalem nampar gue, 'kan? Yang ngira gue mau macem-macem sama lo pas di minimarket. Gak mungkin gue lupa gitu aja."
Kepala Mentari seketika berdenyut. Dasar tidak tahu diri, pikirnya. Padahal tadi lelaki itu bertingkah seolah ia tidak ingat apa-apa.
"Lo udah gak hilang ingatan lagi?"
"Hah?" Alan berkedip. "Hilang ... ingatan?"
Oke, sekarang ingatannya yang ilang ganti lagi. Tuhan, apa salah hamba di kehidupan sebelumnya?
"Gue gak tahu apa yang udah terjadi sama lo. Yang jelas, tadi istirahat kita udah ketemu di kantin dan lo gak inget apa-apa soal yang semalem. Lo pura-pura lupa, ya?"
"Eh? A-ah, iya gue inget. Kan tadi kita udah ketemu ya? Hehe. Sori, ingatan gue agak kacau." Alan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Bodo amat, gue males buang-buang emosi, batin Mentari. Ia menatap gerbang, berharap mobil ibunya akan segera datang.
"Oh, iya. Nama lo siapa? Gue Alan Erlangga, baru pindah tadi pagi. Gue di kelas—"
"Mentari Putri," potong Mentari cepat.
Alan terdiam sejenak. Lelaki itu lalu tersenyum tipis. "Gue gak nyangka ketemu lo di sini. Apalagi sekarang kita satu sekolah. Kebetulan banget ya?"
Alan terbengong-bengong saat mendapati kalau dirinya hanya sendirian di sana. Mana gadis bernama Mentari itu? Alan mengedarkan pandangannya, dan melihat seseorang dengan jaket di kepala tengah berlari terbirit-b***t menghampiri sebuah mobil di depan gerbang.
"Dia ... gak kenapa-napa, 'kan?" Alan mengangkat salah satu alisnya.
— TBC