Suasana lab kimia sepi saat murid-murid bergegas kembali ke kelas. Hari ini tidak ada materi praktik, namun Bu Eka meminta murid-muridnya agar belajar di lab. Malika yang biasanya antusias dengan praktikum itu sempat kecewa, karena cewek itu biasanya selalu bersemangat setiap kali praktik.
"Bu Eka gak kira-kira nih ngasih tugas," keluh Malika. Ia menatap salah satu halaman buku paket yang menampakkan deretan latihan soal. "Bagian A sampe D. Bu Eka lagi dapet kayaknya."
"Bu Eka kan katanya minggu depan gak bisa masuk, ada kepentingan keluarga katanya," ujar Sandra.
"Iya, iya. Eh, San. Gue ke toilet bentar, ya. Lo duluan aja." Malika memasukkan buku paketnya ke dalam tas dan pergi ko toilet. Sandra melanjutkan langkahnya ke kelas bersama yang lain.
"Kompetisi kemaren saingannya berat banget, gilaaa!" seseorang berseru tidak jauh di belakang Sandra, membuat gerakan kaki cewek itu memelan.
"Tapi kan lo bilang lo bisa jawab semua pertanyaannya, 'kan? Optimis dong, Key, sekolah kita juga pasti bisa unggul lagi. Waktu itu juga banyak yang menang," sahut yang lain.
"Iya sih, tapi kan Sandra didiskualifikasi. Emangnya lo gak tahu? Beberapa menit sebelum berangkat, Kevin, cowok kelas IPS 2 yang selalu ribut sama dia itu kecelakaan dan masuk rumah sakit. Sandra masuk ambulance dan dia gak bisa dihubungi setelahnya. Akhirnya, pihak sekolah sepakat buat mendiskualifikasi Sandra."
"Ah, iyakah? Sayang banget. Padahal di tahun sebelumnya dia kan ikut kompetisi yang sama juga, 'kan? Sama pacarnya yang suka ke sini itu, siapa ya? Daffa atau siapa gitu."
Langkah Sandra berhenti di detik berikutnya begitu seseorang menyebut nama Daffa.
"Tapi apa pacarnya gak cemburu, ya? Sandra sama Kevin tiap hari berantem tapi mereka bareng terus dan malah tambah akrab. Pada nyadar gak sih?"
Terlalu ikut campur, batin Sandra. Orang-orang di belakangnya terlalu penasaran dengan hidupnya. Di sekolah, dia bukanlah murid yang terkenal. Dia hanya murid yang sering bertengkar dengan Kevin.
"Pada gak tahu, ya kalo Sandra sama Daffa itu udah putus?" Suara seorang laki-laki menyahut pembicaraan murid-murid tadi.
"Hah? Gak mungkin. Mereka pacaran udah lama banget dan akur terus. Masa iya putus gitu aja? Sok tahu lo." Rekannya menyahut tak percaya seraya berusaha menyingkirkan tangan cowok yang berada di bahunya.
"Astaga, lo gak tahu? Daffa kan juga didiskualifikasi dari kompetisi itu!" seru cowok itu pelan seraya memandang kedua temannya bergantian.
"Masa sih?" Salah satu dari kedua cewek itu berujar.
"Iya. Daffa kan kena kasus n*****a. Dia didiskualifikasi terus di-DO dari sekolahnya."
"Bohong! Masa sih? Ah, ngaco lo, Rav. Mana mungkin cowok kayak dia pake n*****a. Gila kali lo!"
"Ih, suer, Key. Mana mungkin gue bohong. Salah satu temen gue ada yang satu sekolah sama dia. Orang dia sendiri juga gak nyangka kok. Padahal Daffa itu salah satu murid teladan di sekolahnya. Dia juga punya banyak prestasi. Gue ngerti sih gimana perasaan Sandra. Kalo gue jadi dia, gue juga bakalan putus dari Daffa itu dan mungkin gue milih Kevin." Cowok itu tertawa pelan setelah mengatakannya. Tanpa sepengetahuannya, orang yang tengah ia bicarakan itu sudah mengepalkan tangan dan kedua matanya kian memanas.
"Makanya jangan menilai orang dari luarnya aja. Orang kayak Daffa aja ternyata aslinya sebusuk itu-"
Sudah cukup. Sandra tak ingin mendengarnya lagi. Otaknya memerintah agar dia segera pergi dari sana, namun kedua kakinya malah menyuruhnya berbalik. Ketiga orang yang tadi sibuk membicarakannya mendadak bungkam dengan kedua mata membulat. Mereka tidak menyangka kalau orang yang mereka bicarakan ada di sana. Itu artinya, Sandra pasti mendengar obrolan mereka. Semuanya.
Ditariknya kerah baju milik cowok bermulut lemas itu dengan kuat hingga pandangannya dan Sandra bertemu.
"Jaga mulut lo!" Sandra menekankan kalimatnya dan menatap tajam cowok yang lebih tinggi darinya itu.
"Kenapa lo marah? Lo bukannya udah putus sama Daffa? Lagian kan ucapan gue bener." Salah satu sudut bibir cowok itu naik. Namun ia sebenarnya juga tidak berekspetasi kalau Sandra akan mendengar ucapannya.
Rahang Sandra kian mengeras. Ia semakin menarik kerah cowok di depannya hingga kedua gadis yang berada di sana berusaha memisahkannya.
"Gue bilang jaga mulut lo!" teriak Sandra hingga menimbulkan perhatian banyak orang. "Lo gak tahu apa pun dan lo gak usah berlagak seakan-akan lo tahu semuanya!"
Cowok itu menyingkirkan tangan Sandra dari lehernya dan menatap balik cewek itu. "Dengar, ya. Yang gak tahu apa-apa itu justru elo. Cowok yang lo percaya, yang lo banggain itu ternyata gak ada bedanya sama murid-murid kurang ajar di sekolah kita. Dan gue yakin kalo lo gak nyangka, 'kan?"
"Rav, udahlah. Buruan minta maaf. Gue rasa ini mulai berlebihan." Salah satu rekan dari cowok itu berujar, "Kita gak bermaksud ngomongin itu, beneran. Kita bertiga bener-bener minta maaf."
"Heh, gak usah minta maaf. Orang kita ngomongin fakta kok-"
"DIAM!!!"
PLAKKK
Semuanya mendadak terdiam. Cowok itu memegang salah satu pipinya yang memanas.
"Astaga, Sandra!" Adnan yang kebetulan lewat sana terkejut melihat keributan itu.
***
Malika sejak tadi mondar-mandir di depan pintu ruangan BK yang menutup. Adnan yang juga ada di sana membuang napas pelan. Baru kali ini dia melihat Sandra seperti itu.
"Gue gak habis pikir kenapa tuh cowok sampe tega ngomong kayak gitu di depan Sandra," ujar Malika. Ia menatap pintu di depannya dengan gemas. Cewek itu ingin sekali menerobos masuk dan memberikan pelajaran pada cowok tadi.
"Udahlah. Sekarang semuanya lagi diberesin sama BK, lo gak perlu ikut campur. Mereka berdua udah cukup dewasa dan gue yakin mereka bisa damai lagi." Adnan berujar. Ia dan Malika lantas menatap ke arah pintu yang baru saja dibuka itu. Sandra dan cowok tadi tampak keluar tanpa sepatah kata pun, kemungkinan mereka sudah damai di dalam sana
"Lo-"
"Mal, udahlah." Sandra segera menahan tangan Malika saat sahabatnya itu maju. Sandra melirik cowok di sebelahnya yang sudah pergi. "Sekarang kita ke kelas, kepala gue sakit. Sori ya, Nan. Lo jadi ikut repot." Ia menatap Adnan.
"Hm. Gak masalah kok. Gue bisa ngerti."
"Kalo gitu gue sama Malika ke kelas." Sandra menarik tangan Malika dan pergi dari sana.
"Sandra .... " Malika menatap sahabatnya yang tampak kembali murung. Diusapnya pelan bahu Sandra dan mencoba menyalurkan semangat padanya.
"Padahal gue gak bermaksud jahat sama Kevin," lirih Sandra yang masih bisa terdengar jelas.
"Apa maksud lo? Lo gak jahat sama sekali."
"Gue bahkan selama ini gak tahu gimana perasaan Kevin. Gue putus sama Daffa- karena itu yang terbaik buat kita berdua. Gue gak tahu di mana letak salahnya. Gue sama Kevin memang gini dari dulu, bahkan sebelum gue kenal Daffa. Gue gak bermaksud jadiin Kevin sebagai pelampiasan atau semacamnya. Gue gak sejahat itu-"
"San, udahlah. Lo mendingan dinginin kepala lo dulu. Lo akhir-akhir ini banyak pikiran. Gue gak mau lo kenapa-napa." Malika memotong ucapan Sandra. Ia benci melihat sahabatnya itu kembali murung. Kenapa di saat cewek itu mulai bangkit, justru ada saja pihak-pihak yang ingin membuatnya kembali terjatuh.
—bersambung