43. Move On

1044 Words
Kevin menatap jam yang ada di ponselnya. Ia membuang napas pelan saat Sandra belum juga menghubunginya, padahal jam pulang sekolah sudah berakhir sekitar dua jam yang lalu. "Apa dia marah soal yang semalem? Gak mungkin. Kenapa juga dia harus marah?" Kevin menyalakan ponselnya namun seseorang tiba-tiba menghampiri. Ia menoleh dan mendapati Adnan yang datang sendirian. Kevin menatap ke belakang Adnan, memastikan kalau di belakang cowok itu ada seseorang namun rupanya sahabatnya itu datang ke sana benar-benar sendirian. "Lo sendirian? Gio sama Malika mana?" tanya Kevin. "Katanya mereka mau ngerjain tugas kimia." Adnan mendudukkan tubuhnya di sebelah Kevin. "Oh, oke." "Oh, iya, Vin. Tadi siang Sandra masuk BK." Kening Kevin mengerut. "Hm? Kenapa? Masalah kompetisi itu lagi?" tanyanya. Adnan menggelengkan kepalanya. "Terus?" "Dia berantem di koridor sama cowok." "Hah? Serius lo?" Kevin menatap Adnan tidak percaya. Ia pribadi tahu bagaimana sikap Sandra. Cewek itu memang terkadang bersikap kasar, namun kalau untuk soal bertengkar di depan umum seperti itu bukanlah sifat Sandra. Cewek itu selama ini hanya berdebat dengan dirinya, walaupun hanya soal hal yang sepele. Adnan mengangguk. "Gue gak begitu tahu kronologinya gimana, tapi gue rasa dia marah sewaktu denger ada yang ngomongin Daffa." "Daffa?" "Hm. Gue rasa cowok yang berantem sama dia itu penyebabnya. Menurut perkiraan gue, tuh cowok ngomongin soal kasus Daffa yang di-DO dari sekolahnya itu. Gue belom bisa nanya ke Sandra karena itu pertanyaan yang cukup sensitif buatnya." Kevin kembali menyalakan ponselnya dan berniat menelepon Sandra namun sayang karena nomor cewek itu tidak bisa dihubungi. Ia pun mencoba mengirimkan chat dan SMS namun tidak terkirim. Sepertinya Sandra sengaja mematikan ponselnya. "Ngomong-ngomong soal Daffa, lo inget gak nomor asing yang dibicarain Sandra kemarin? Entah kenapa feeling gue bilang kalo itu Daffa, Gue emang gak begitu kenal sama mantan cowonya Sandra itu. Tapi sewaktu kemarin gue lihat dia jenguk lo, gue ngerasa gak yakin kalo dia itu cowok yang lo bilang itu. Dia bener-bener kayak cowok baik-baik." Kevin hanya tersenyum tipis. "Orang yang nelepon Gio itu emang Daffa. Tanpa dicari tahu pun gue yakin kalo dia orangnya," ia berujar. "Terus kenapa lo gak kasih tahu aja dia?" "Mungkin lebih baik jika dia yang mengetahuinya sendiri. Gue belom bisa ngasih tahu dia sekarang kalo Daffa udah balik." Kevin menatap bunga-bunga yang berada tidak jauh dari posisinya. * Malika menggumamkan terima kasih kepada Bi Surti begitu wanita itu meletakkan dua gelas berisi jus jeruk di atas meja belajar milik Sandra. "Tumben ngajakin gue ngerjain tugas. Kan masih ada sekitar beberapa hari lagi. Gak kayak biasanya," ujar Malika. "Gak apa-apa. Mumpung mood gue bagus aja," Sandra tersenyum tipis. "Gue gak yakin." Malika memperhatikan raut wajah Sandra dengan baik. Ia mengamatinya sejak Sandra mengajaknya mengerjakan tugas dari Bu Eka secara bersama-sama, namun cewek itu memang tak terlihat baik-baik saja. "San, lo tahu kan, kalo gue kenal sama lo itu gak cuma sehari dua hari. Ini udah hampir dua tahun dan itu udah cukup bikin gue tahu elo." Malika memperingati. Ia kembali memfokuskan dirinya pada buku paket. "Entah kenapa, gue gak bisa nahan diri sewaktu ada yang ngomongin Daffa kayak tadi. Otak gue udah nyuruh gue pergi, tapi badan gue gak bisa diajak kerja sama dan malah nyerang cowok itu. Gue gak tahu alasannya. Gue kayak gak terima Daffa dijelek-jelekin kayak tadi. Gue benci ngakui ini, tapi omongan cowok itu emang bener. Hanya aja gue ngerasa gak terima," ungkap Sandra pada akhirnya. Malika yang semula tampak menulis itu kembali menghentikan kegiatannya dan menatap Sandra yang tidak lagi menulis. Cewek itu tengah berperang kembali dengan dirinya. "San, jawabannya itu udah jelas menurut gue." Sandra menoleh. "Lo tahu jawabannya?" Malika lalu menghela napas pelan. "Jawabannya udah jelas. Lo belom move on dari Daffa. Itulah jawabannya." Suasana berubah hening setelahnya. Sandra berusaha mencerna kalimat Malika. Apa benar dia belum move on? "Gue tahu meskipun lo selama ini tampak biasa aja dan seakan gak ada beban, tapi lo masih sensitif setiap kali bahas Daffa. Menurut lo itu artinya apa? Bukankah udah jelas kalo lo emang belom sepenuhnya move on? Gue emang gak ngerasain yang lo rasain, tapi saran gue kalo lo emang berusaha buat move on dari Daffa, tolong jangan terlalu dipaksa. Gue ngerti kalo Daffa emang berpengaruh banyak selama beberapa tahun terakhir, tapi semakin lo memaksa diri lo buat lupain dia, maka semuanya terasa semakin sulit. Move on itu perihal menghapus perasaan, bukan menghapus kenangan." Malika menjelaskan. "Gue ... belom bisa move on?" batin Sandra. "Lo sama Daffa pasti sering ngabisin waktu bersama. Daffa juga udah lumayan deket sama Om Hendra, begitu pun sebaliknya. Lo juga udah deket sama keluarga dia. Kejadian nahas yang menimpa Daffa beberapa waktu lalu itu pasti bikin lo syok. Gue emang gak bisa ngebantu banyak buat lo, gue cuma berusaha semampu gue. Gue gak mau lihat lo sedih terus." "Gue bener-bener berhutang budi sama lo, Mal." "Jangan anggap itu hutang budi. Gue selalu ikhlas ngebantu lo, San." Malika tersenyum. "Ya udah, sekarang lupain soal itu. Kita fokus ke tugas dari Bu Eka." Sandra mengangguk. Ia dan Malika kembali mengerjakan tugas. "Lo hari ini gak jenguk Kevin, San?" tanya Malika beberapa saat kemudian. Sandra terdiam setelahnya. "Mungkin besok. Mood gue hari ini lagi gak bagus." "Oke deh." Selang beberapa menit kemudian, mereka pun selesai. Sandra menoleh ke luar jendela kamarnya dan melihat hari mulai gelap. "Udah mau malem. Lo gak apa-apa pulang sendiri?" "Gue baru aja minta jemput. Tenang aja," ujar Malika setelah meminum habis jus miliknya. "Ya udah deh. Rumah lo jauh soalnya. Tadinya gue pengin nyuruh Adnan yang nganterin lo pulang." Sandra melirik Malika dan ia tertawa begitu melihat ekspresi sahabatnya itu. "Mendingan gue nginep di rumah lo," ujar Malika. Ia lalu kembali merapikan bukunya. Sementara Sandra menghidupkan ponselnya yang sedari tadi dia nonaktifkan dengan sengaja. Benar saja, begitu data seluler dinyalakan, banyak notifikasi yang masuk. Bahkan ada beberapa SMS yang dia terima. "Kenapa semuanya dari Kevin sih?" keluh Sandra. "Kenapa, San?" Sandra mencebikkan bibir dan menunjukkan layar ponselnya pada Malika. "Gue sejak pulang sekolah sengaja matiin HP dan barusan pas dinyalain, semua notif dari Kevin. Dia dari tadi nelepon gue, kirim chat, bahkan SMS juga." "Dia ngira lo mau ke rumah sakit kali," ujar Malika. "Ngapain juga nungguin gue." Sandra mendelik. Ia kemudian membaca salah satu pesan yang dikirimkan Kevin padanya. Netranya berkedip dua kali. "Mal, malem ini Kevin udah boleh pulang." —bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD