"Gue denger dari Tante Wulan katanya lo kecelakaan."
"Bukannya seharusnya lo masih rehab?"
"Malika juga sempet bilang ke gue kalo Sandra ternyata ... didiskualifikasi dari kompetisi karena dia nemenin lo seharian di rumah sakit."
Kevin terdiam. Ia membuang pandangannya ke arah lain. "Sekarang gimana kondisi lo?"
Salah satu sudut bibir Daffa tertarik ke atas. Ia menatap Kevin dan berkata, "gue minta maaf karena bikin lo dan Sandra kecewa dan ngalamin banyak kesulitan setelahnya. Tapi, Vin ... "
Kevin menghela napas pelan. "Daffa-"
"Apa salah kalo gue masih berharap bisa balikan sama Sandra dan ngulang lagi semuanya dari awal?" ucap Daffa pada akhirnya.
"Termasuk semua luka yang lo kasih?"
Kini giliran Daffa yang bungkam. "Gue tahu gue salah. Sampai detik ini pun gue masih bisa mikirin Sandra. Gue tahu gue pengecut karena sembunyi, tapi gue emang belum siap buat ketemu langsung sama dia dan gue tahu kalau dia juga bakalan ngerasain hal yang sama. Tapi gue gak bisa ngebohongin perasaan gue sendiri. Rumah yang hancur itu, masih bisa diperbaiki, 'kan? Pemilik rumah yang pergi itu ... juga bisa kembali lagi, 'kan?"
Daffa menatap setangkai mawar milik Sandra yang tadi diambilnya di rumah sakit. Seperti apa kabar gadis itu sekarang? Daffa yakin Sandra baik-baik saja. Dia yakin kalau Kevin menjaganya dengan baik selama dia pergi. Meskipun sulit untuk mengungkapkannya, jika boleh jujur Daffa memang merindukan gadis yang pernah mengisi hatinya itu.
"Maafin aku, San," lirihnya. Ia lalu menatap bingkai foto yang masih terpajang di atas nakas di kamarnya. Jika ia benar-benar menampakkan diri, apakah Sandra masih akan sudi bertemu dengannya? Daffa menatap ponselnya. Ia mencari kontak Sandra dan berniat menghubunginya namun kembali diurungkan saat panggilannya tersambung. Dia terlalu takut. Rumah yang telah lama kosong itu kini merasa kehilangan pemiliknya.
"Maaf, Mas. Ibu minta Mas Daffa turun, disuruh makan malam." Bi Lilis berujar dari ambang pintu.
Daffa tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Bi. Papa belum pulang?"
"Belum, Mas. Katanya masih ada rapat. Oh, iya. Bibi udah masakin makanan kesukaan Mas Daffa,"ujar Bi Lilis seraya tersenyum lebar. Rupanya wanita itu benar-benar senang saat majikannya kembali.
"Lumayan lama juga ya, aku gak makan masakan Bi Lilis." Daffa menjawab. Ia dan Bi Lilis berjalan menuruni satu per satu anak tangga. Di meja makan terlihat Natasia yang sudah menunggunya.
"Kamu tadi jenguk Kevin ke rumah sakit?" tanya Natasia.
Daffa menarik salah satu kursi dan segera duduk. "Hm. Aku sempet ke rumahnya tadi tapi Tante Wulan bilang kalo Kevin lagi dirawat di rumah sakit karena kecelakaan."
"Mama kaget pas tahu kalo Kevin dirawat. Mama lega sekarang kondisinya udah baikan." Natasia menghela napasnya. Ia memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Oh, iya. Soal Sandra ... "
Daffa langsung berhenti dari kegiatan mengunyahnya saat nama Sandra disebut.
"Kamu udah ketemu sama Sandra?" lanjut Natasia.
"Mungkin lain kali. Aku juga masih harus rehab kan," jawab Daffa pelan.
"Sandra didiskualifikasi dari kompetisi itu demi Kevin. Dia bahkan sampe donorin darahnya," batin Daffa.
"Daf? Ada apa?" tanya Natasia begitu mendapati Daffa terdiam.
"E-enggak kok." Daffa tersenyum. Ia kembali melanjutkan kegiatannya.
***
"Gue gak bisa tidur." Sandra menggulingkan tubuhnya ke arah lain. Sudah lewat dari satu jam ia seperti itu. Ia mengambil ponselnya yang berada di nakas dan berniat menghubungi Malika namun tak ada satu pun dari pesan dan panggilannya yang dijawab. Cewek itu sudah pasti tidur. Lagi pula ini sudah tengah malam dan besok hari Senin. Malika hanya akan begadang di sebelum hari libur, itu pun terkadang karena ia hanya menghabiskan waktunya untuk menonton drama Korea favoritnya.
Kedua mata Sandra memicing saat tidak sengaja melihat akun milik Kevin aktif. Iseng, akhirnya dia pun menelepon cowok itu dan terkejut saat panggilannya benar-benar diangkat.
"Lo ngapain jam segini nelepon gue? Kangen?" ujar Kevin di seberang sana hingga Sandra mendelik dibuatnya.
"Najis," ujar cewek itu. "Gue gak bisa tidur."
"Terus? Gak ada urusannya sama gue. Tinggal merem aja apa susahnya sih? Besok lagian lo sekolah."
"Kalo saran dari lo itu bisa, mungkin sekarang gue gak bakalan nelepon lo. Gue pasti udah tidur dari tadi. Lo sendiri juga jam segini belom tidur. Lo juga kan butuh istirahat yang cukup kata dokter," balas Sandra.
"Bukan urusan lo. Udah, sana tidur. Gue matiin ya."
"Tunggu!" cegah Sandra dengan cepat.
"Apa?"
"Temenin gue sampe gue bener-bener tidur."
"Hah?" Kedua alis Kevin saling bertaut.
"Sumpah ya, Vin. Gue bener-bener gak bisa tidur. Lo nyanyi atau apa kek, biar gue ngantuk."
"Ogah. Gue juga mau tidur. Bye."
"Kevin!"
"Apa lagi?" Kevin membuang napas. "Udahlah, Gio. Lo harus tidur, lo gak lihat ini jam berapa?"
"Iya, iya. Gue tahu kok. Gue cuma perlu temen ngobrol aja."
"Di jam segini?" Salah satu alis Kevin naik.
"Perasaan gue sejak tadi siang agak aneh gak kayak biasanya. Kayak ada sesuatu yang ganggu pikiran gue tapi gue gak tahu itu apa."
Kevin mendadak diam. Ia mendengarkan ucapan Sandra dengan baik dan menunggu kelanjutan kalimat cewek itu.
"Gue berharap sesuatu yang ribet gak datang. Haha." Sandra tertawa renyah, namun beberapa saat kemudian suasana di antaranya dan Kevin berubah menjadi begitu canggung entah kenapa. Tak ada yang memulai pembicaraan, padahal mereka berdua di awal-awal tadi berdebat kecil.
"Vin," panggil Sandra pelan.
"Hm. Kenapa?"
"Lo gak bakalan bikin gue kecewa, 'kan?" tanya Sandra.
Kevin terdiam setelahnya. Cowok itu kemudian menjawab, "kenapa lo tiba-tiba bilang gitu?"
Salah satu sudut bibir Sandra naik. "Entahlah, gue cuma nyampein apa yang ada di otak gue." Ia membuang pandangannya. "Vin, udah dulu ya. Gue ... mendadak ngantuk. Gue rasa gue harus tidur duluan."
"Hm."
"Lo juga harus tidur. Inget, dokter bilang kalo lo harus istirahat yangcukup kalo mau cepet pulih."
"Iya."
"Oke. Bye."
Panggilan dimatikan setelahnya. Kevin menatap layar ponselnya yang menampakkan fotonya dan Sandra sewaktu masih SD dulu. Foto yang diambil oleh Irma pada saat kelasnya mengadakan tour. Ia dan Sandra tampak berdiri bersebelahan namun dengan ekspresi yan teramat datar.
"Kadang gue kangen momen-momen di mana gue bisa bikin lo kesel sampe ngadu ke nyokap lo, Gi. Gue ngerasa deket sama lo selama itu. Tante Irma sama Om Hendra juga selalu nerima keberadaan gue, padahal jelas-jelas gue sering bikin lo nangis." Kevin berujar pelan. Semua guru waktu itu seperti sudah bosan menengahi pertengkarannya dengan Sandra sepanjang hari. Kevin yang kelewatan usil, dan Sandra yang selalu memberontak walapun pada akhirnya dia berakhir menangis dan mengadu pada mamanya. Ia dan Sandra berkali-kali berbaikan dan bermusuhan di saat yang bersamaan.
—bersambung