28. Di Bawah Terik Mentari

1029 Words
Teriakan kembali terdengar dari dalam toilet perempuan. Empat orang gadis di dalam sana terlibat perkelahian yang tak kunjung berhenti sejak beberapa menit yang lalu. "Coba sekali lagi ulangin ucapan lo!" Dengan napas semakin memburu Mentari semakin menarik rambut salah satu kakak kelasnya itu hingga kembali menjerit. "Cukup! Lo udah keterlaluan!" Dua orang lainnya bergerak mendekati Mentari dan mencoba memisahkan namun salah satu kukunya tanpa sengaja menggores permukaan salah satu pipi milik Mentari hingga mereka terdiam. Gadis itu menatap salah satu tangannya, kemudian menatap sebuah baret di pipi Mentari. "Lo gak liat ada cermin di sini?" ujar Mentari, membuat gadis-gadis di hadapannya mengerutkan dahi. "Gue tanya sekali lagi apa lo gak lihat ada kaca do sini?!" Salah satu tangan Mentari menarik kakak kelasnya itu ke wastafel dan memaksanya untuk mengangkat wajah hingga ia bisa melihat pantulan wajahnya di sana. "Lihat baik-baik! Lo ngatain gue keterlaluan tapi sendiri gak sadar sama apa yang udah lo omongin tentang gue! Lo ngatain gue caper, manja, dan apa lo peduli tentang perasaan gue sebenarnya di sini?! Lo pikir gue sendiri yang mau idap fobia ini?!" teriak Mentari dengan lantang. Setelahnya tubuh gadis ditarik ke belakang hingga terjerembap ke atas permukaan lantai. Gadis-gadis tadi menarik rambutnya dengan kasar dan memaksanya agar mengangkat wajah. Plak! Salah satu permukaan pipi Mentari terasa panas. "Itu balasan karena lo udah lancang sama kakak kelas lo sendiri!" Salah satu sudut bibir Mentari kemudian naik. "Lancang, lo bilang? Setelah lo ngeluarin kalimat-kalimat buruk tentang gue, jelek-jelekkin gue, lo masih mau dihormatin sebagai kakak kelas?" Ia menatap ketiga gadis itu secara bergantian sebelum akhirnya menepis sepasang tangan yang ada di lehernya dan mendorong gadis itu menjauh darinya, lalu balas mengcengkram leher seragam kakak kelasnya itu. Dua temannya berusaha melepaskan tangan Mentari namun tenaga gadis itu jauh lebih kuat. Hingga tanpa mereka sadari, ada orang yang menyaksikan perkelahian mereka di sana lalu berlari ke ruang guru untuk melapor. Derap langkah kaki itu bergerak cepat menyusuri koridor sebelum akhirnya sampai di sana. Kedua matanya menatap empat orang siswa perempuan yang tampak kacau di sana, salah satunya adalah gadis yang tengah mencengkeram kuat leher gadis lain yang ditindihnya. * Chandra menatap murid-murid yang masuk ke dalam lapangan voli. Hingga kedua matanya sempat bertumbuk dengan Alan, namun lelaki itu langsung memutuskan kontak mata mereka, membuat Chandra membuang napas pelan sebelum akhirnya kembali menatap murid-muridnya yang lain dengan sebuah bola di tangannya. "Bisa kita mulai? Silakan lakukan pemanasan dengan dipimpin oleh dua orang." "Adel sama Key masih di toilet, Pak!" Salah seorang murid perempuan berujar seraya mengangkat salah satu tangannya. Chandra menatap satu per satu muridnya di sana dan dua orang yang barusan disebutkan itu memang tak ada di sana. Biasanya, merekalah yang memimpin pemanasan. "Kalau begitu ganti dengan murid lain. Saya nggak suka ada yang telat di jam saya. Mereka nanti akan melakukan pemanasan secara terpisah dan beberapa poin dari nilai akan dikurangi," tegas Chandra. Ia meniup peluitnya sebagai aba-aba untuk memulai pemanasan. Di saat yang bersamaan, dua orang siswa perempuan berlarian memasuki lapangan dengan napas yang sudah terputus-putus. "Maaf kami telat, Pak!" Gadis bernama Key itu berujar seraya mengatur napasnya. Chandra memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah mereka lalu menatap keduanya secara bergantian. Namun sebelumnya ia kembali menatap murid-murid lain dengan tajam dan meniup peluitnya kembali. "Siapa yang nyuruh kalian berhenti?!" ujarnya lantang sehingga mereka kembali melakukan pemanasan. "Dari mana saja kalian?" tanya kalian pada kedua muridnya yang datang terlambat itu. "Maaf, Pak, tadi kami pergi ke toilet tapi di sana ada yang berkelahi jadi kami pergi dulu ke ruang guru buat ngelapor." Gadis yang bernama Adel berujar. Gerakan pemanasan yang tengah dilakukan itu mendadak tak beraturan begitu mendengar adanya hal yang menarik dan atensi seluruh murid di sana menatap ke depan. "Kayaknya murid-murid kelas dua belas sama— cewek yang ngidap fobia matahari itu gak sih?" Key bertanya pada Adel namun rekannya itu langsung memberi kode agar dirinya diam, lalu menunjuk ke depan dengan dagu, tepatnya ke arah Chandra yang terlihat sudah terkejut. Alan yang berada di salah satu barisan belakang itu masih bisa mendengar ucapan kedua temannya di depan. "Fobia matahari? Itu kan— Mentari?" batin pemuda itu. "Terus mereka sekarang di mana?" tanya Chandra. "Eh? Ka-kayaknya tadi mereka berempat udah dihukum, kami gak sempet liat karena langsung ke toilet. Tapi pas kami kembali, mereka semua kayaknya lagi dihukum di lapangan upacara, di bawah tiang ben—" "Lapangan upacara?" Chandra menginterupsi, "Kalian lapor sama siapa?!" Tiba-tiba nada bicaranya naik, membuat kedua muridnya tersentak pelan. "Sa-sama guru yang baru, soalnya di ruang guru hanya ada beliau—" "Eric, ambil alih!" Chandra melempar bola di tangannya pada Eric yang langsung ditangkap dengan baik oleh lelaki itu. Sementara dirinya langsung berlari keluar dari lapangan, membuat semua murid menatap padanya. Namun setelahnya, mereka semua juga dikejutkan oleh Alan yang juga menyusul berlari keluar dari lapangan. * Di bawah tiang bendera itu, empat orang siswa berdiri di bawah tiang bendera dengan posisi hormat. Beruntung karena saat ini bel pergantian jam sudah berbunyi jadi suasana di sana sepi. Tiga orang gadis di sana menatap murid kelas sebelas yang juga dihukum di sana. "Lo yakin dia gapapa?" tanya salah seorang dari mereka seraya menyikut pelan lengan rekannya. Ia menatap Mentari yang semakin pucat itu agak ngeri. Keringat sudah membasahi dahi Mentari dan gadis itu menelan ludahnya berkali-kali. Memaksa kedua kakinya yang sudah bergetar itu tetap kokoh menahan tubuhnya. Di bawah teriknya sinar matahari itu, permukaan kulitnya yang pucat semakin memerah dengan sensasi panas yang mulai ia rasakan. "Heh, lo— gapapa?" Salah satu kakak kelasnya berujar. Mungkin benar kalau Mentari memang mengidap fobia persis seperti kabar yang mereka dengar, namun mereka tak menyangka kalau Mentari sampai nekat melakukan hal seperti itu, bahkan tak melayangkan kalimat penolakan saat ia disuruh turun ke lapangan upacara di saat cuaca terik seperti ini. "Kulit lo tambah merah." Tak ada satu kalimat balasan yang keluar dari bibir Mentari. Ia tak mau lagi disebut manja, tukang cari perhatian, tukang cari muka, atau semacamnya. Kepala gadis itu mulai pening, bersamaan dengan kedua kakinya yang semakin kehilangan tenaganya. "Mentari!" Dengan kesadaran yang masih tersisa, Mentari menatap ke arah seseorang yang berlari ke arahnya dan di saat yang bersamaan, ia kehilangan keseimbangannya dan tubuhnya ambruk. —TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD