"Tolong beri jalan!"
"Ada pasien gawat darurat yang harus segera ditangani!"
"Segera berikan pasien NRM!"
"Mentari!"
*
"Kenapa hal seperti itu bisa terjadi?" Erwin menatap putranya yang duduk di sebuah sofa yang ada di sana. Pemuda itu terlihat menatap langit-langit ruangan kerja sang ayah.
"Chandra lalai, Pa," balas Chandra lirih dengan kedua mata yang kehilangan fokus. Ia masih menatap kosong ke atas sama tanpa berniat menatap papanya sama sekali.
Erwin kemudian menatap putranya itu, "Kamu gak sepenuhnya lalai—"
"Kalau aku gak lalai, dia gak mungkin bisa masuk rumah sakit kayak sekarang!" Tiba-tiba nada bicara Chandra meninggi. Lelaki itu menatap papanya selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali membuang pandangannya ke arah lain.
"Dokter sempat memberinya obat penenang dan dia akan membaik. Ruam kemerahannya juga pasti sudah ditangani. Yang Papa lebih khawatirkan adalah serangan panik gadis itu, karena Papa yakin kalau dia pasti sudah terbiasa mengkonsumsi SSRI atau semacamnya. Yah, meskipun dokter yang memberikan tapi Papa khawatir gadis itu nekat mengkonsumsinya dalam jumlah di luar resep. Kamu tahu kan, maksud Papa. Fobia yang dia miliki itu jarang sekali terjadi di sekitar kita, dan adaptasi pasti masih terasa sulit baginya sampai sekarang," ungkap Erwin.
Chandra membuang napasnya pelan. Jika saja kejadian tadi tidak ketahuan olehnya, ia tak bisa membayangkan ada yang sudah terjadi. Ia tadi sudah datang terlambat dan permukaan kulit milik Mentari sudah memerah karena terbakar bersamaan dengan munculnya panic attack yang ia miliki.
"Untuk sementara ini biarkan dia beristirahat dulu. Kemungkinan besok atau bahkan selama beberapa hari ke depan, gadis itu tak akan datang ke sekolah." Erwin kembali berujar. Ia kemudian menatap jam tangan miliknya dan beranjak, "Ada pasien yang harus Papa periksa sekarang. Kamu sebaiknya kembali ke sekolah, gadis itu akan baik-baik saja di sini. Orang tuanya juga sudah dihubungi tadi."
Sepeninggal papanya, Chandra masih bertahan di sana selama beberapa saat sebelum akhirnya ia memutuskan pergi. Kedua kakinya bergerak kembali ke ruangan Mentari dan ia bertemu dengan seseorang di sana.
Menyadari kedatangan seseorang, Alan yang melihat kondisi Mentari dari balik pintu itu lantas menoleh.
"Kenapa lo nyusul ke sini?" tanya Chandra.
"Lo masih tanya kenapa? Gue khawatir sama Mentari." Alan membuang napasnya. "Dia ... gak bakal kenapa-napa, kan?" Ia kemudian kembali menatap ke dalam sana. Mentari masih belum sadarkan diri, bahkan selang infus pun belum dilepas.
"Sejak kapan lo jadi khawatir sama dia?" Chandra kembali bertanya.
"Sejak lo bilang kalo Mentari punya fobia, sejak gue bikin panic attack dia kambuh waktu itu."
"Dia bakal baik-baik aja. Dokter juga udah ngasih obat. Tapi—" Chandra sempat menjeda kalimatnya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia melanjutkan, "bokap gue bilang kalo Mentari kemungkinan terbiasa minum anti depresan jadi dia harus lebih diawasi. Lo tahu kan, pengidap fobia itu kayak gimana." Ia kemudian mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ada di sana.
Alan kemudian menatap Chandra, "Sejak kapan lo ... begitu peduli sama dia?" tanyanya, "Dan sejak kapan Om Erwin tahu kondisi Mentari? Mereka saling kenal?"
Suasana di sekitar mereka mendadak hening. Chandra mengangkat salah satu sudut bibirnya. Lelaki itu kemudian beranjak dari tempatnya.
"Gue sekarang mau balik ke sekolah. Lo juga harus segera balik, karena lo udah dianggap bolos di jam gue," ujar Chandra. Lelaki itu menepuk pelan bahu Alan sebelum akhirnya pergi dari sana.
Alan menatap Chandra yang semakin menjauh. Pertanyaannya lagi-lagi tak dijawab oleh lelaki itu sama sekali, membuat Alan semakin menyimpan berbagai tanda tanya di dalam kepalanya.
Lelaki itu kemudian menatap kembali ke dalam ruangan. Lewat permukaan kaca itu ia bisa melihat Mentari yang terbaring di dalam sana. Kulitnya masih tampak kemerahan dan juga salah satu permukaan pipinya terlihat agak lebam, membuatnya berasumsi kalau gadis itu pasti juga mendapat sebuah tamparan.
*
Lala hanya bisa diam di tempatnya usai pelajaran berakhir. Setelah tadi ia mendengar suara ambulans, beberapa orang siswa yang ada di luar mengobrol dan Lala tak sengaja mendengar kalau orang yang dimasukkan ke dalam ambulans itu adalah Mentari Putri.
Pantas saja Lala merasa ada yang aneh sejak pergantian jam tadi. Mentari yang awalnya hanya izin pergi ke toilet untuk mencuci muka tak kunjung kembali ke kelas dan menurut kabar yang ia dengar, gadis itu rupanya terlibat perkelahian dengan beberapa siswi kelas dua belas di dalam toilet dan sialnya mereka malah dihukum oleh guru yang belum lama ini ada di sekolahnya dan jelas saja kalau guru itu belum paham kalau salah satu di antara murid-murid di sana ada yang memang harus diperlakukan sedikit berbeda.
Lala kemudian menatap jaket milik Mentari yang ada di bangku. Gadis itu semakin cemas membayangkan bagaimana seorang Mentari Putri berdiri di bawah matahari yang tengah bersinar terik seperti saat ini. Bahkan orang normal saja kewalahan jika harus dihukum seperti itu.
Ponsel milik Mentari bahkan ada di sana, membuat Lala tak bisa menghubungi gadis itu.
"Murid-murid kelas dua belas itu pasti ngomongin yang enggak-enggak," batin Lala.
Gadis itu kemudian pergi keluar untuk membeli minum, berharap pusing di kepalanya bisa segera mereda.
"Dan anehnya, Alan juga keluar dari lapang gak lama setelah Pak Chandra. Mereka bener-bener deket sama Mentari, ya?"
"Tapi kan, Alan juga belom lama di sini. Mungkin sebelumnya mereka emang udah saling kenal."
Langkah Lala terhenti begitu mendengar percakapan dua orang siswi perempuan yang mengenakan pakaian olahraga yang duduk tak jauh dari posisinya.
"Alan juga pergi?"
"Kira-kira guru yang ngehukum mereka kena tegur gak ya?"
Lala melanjutkan langkahnya menuju lemari pendingin dan mengambil satu botol minuman berperisa buah. Usai membayar, Lala memilih kembali ke kelas karena nafsu makannya yang hilang, jadi tak ada gunanya ia berlama-lama berada di sana.
Namun ia malah melihat Alan yang duduk di salah satu bangku yang ada di koridor.
"Gue denger katanya lo ke rumah sakit," ujar Lala seraya mendudukkan tubuhnya di sebelah lelaki itu.
Alan yang masih mengenakan pakaian olahraga itu bergumam pelan sebagai jawaban.
"Gimana kondisi Mentari sekarang?"
"Dia masih belum sadar. Tapi dia bakalan baik-baik aja, jadi lo gak perlu khawatir," ujar Alan.
Lala menatap botol minuman yang belum dibuka itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia memberikannya pada Alan. Entah kenapa gadis itu berpikir kalau saat ini Alan lebih membutuhkannya.
"Thanks." Alan menerimanya dengan baik, walau tak langsung membukanya.
"Biasanya Mentari bisa nahan diri setiap kali ada yang ngomongin dia. Tapi kali ini, entah kenapa dia bisa hilang kendali begitu. Gue yakin pasti murid kelas dua belas itu ngomongin yang enggak-enggak tentang dia atau mungkin lebih buruk lagi," ujar Lala.
Mendengar ucapan Lala, membuat Alan teringat lagi dengan salah satu permukaan pipi Mentari yang terkena bekas tamparan.
"Pipi dia lebam," ujar Alan.
Lala menundukkan kepalanya. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya kuat. Harusnya tadi ia pergi bersama Mentari dan tak membiarkan gadis itu sendirian di sana dan hal seperti ini tak akan terjadi lagi.
—tbc