Alan menatap satu per satu pedagang yang ada di sana. Lelaki itu tiba-tiba saja terdiam di tempatnya seraya memikirkan sesuatu.
"Gue ngapain ya, ke sini?" gumamnya. Ia kemudian berjalan mendekati salah satu pedagang di sana sebelum akhirnya melihat keberadaan Mentari yang tak jauh darinya. Tak pikir panjang akhirnya Alan memanggil gadis itu dan berjalan mendekatinya.
"Lo di sini juga ternyata. Awas nyasar," goda Mentari seraya tertawa pelan.
"Gue ... ke sini sama lo, ya?"
Tawa Mentari langsung berhenti di detik itu juga dan langsung memasang tampang datar setelahnya. "Mulai lagi deh kayak waktu itu. Lo mau gue tampar lagi, ya?"
Kedua mata Alan mengerjap dan pemuda itu refleks memundurkan tubuhnya.
"So-sori, soalnya gue beneran gak inget mau apa ke sini," ujar Alan hati-hati.
"Yang pasti lo ke sini mau jajan. Ya udah, sekalian sama gue aja. Siapa tahu lo inget lagi. Repot juga kalo lo beneran nyasar, apalagi ini udah malem." Mentari kemudian memberi isyarat agar Alan mengikutinya.
"Gilang gak ikut?" tanya Alan.
Mentari mengembuskan napasnya kasar, "Galang," ralatnya.
Alan kembali mengerjap setelahnya. "Eh? I-iya, Galang maksudnya. Dia gak ikut?"
"Enggak. Gue suruh ngerjain PR, jadi sebagai gantinya gue yang beliin dia makanan," ujar Mentari seraya menatap satu per satu pedagang yang ada di sana. "Gue mau beli takoyaki. Lo mau ikut?"
Alan terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mengangguk pelan dan berjalan mengikuti gadis itu.
Sembari menunggu pesanannya siap, Mentari menatap ke sekitarnya dan memilih makanan apa yang sebaiknya ia beli untuk adiknya. Di saat yang bersamaan dia menyadari kalau Alan hanya diam saja, seolah memikirkan sesuatu.
"Lan? Lo kenapa?" tanya gadis itu.
Alan mengerjap pelan kemudian tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepalanya kemudian berujar, "gue gak kenapa-napa kok. Cuma lagi nyoba nginget tujuan gue ke sini." Ia tertawa pelan.
"Ah, soal itu, ya. Gak usah terlalu dipaksa ntar kepala lo sakit," ujar Mentari seraya membayar makanannya. "Lo mau beli apa?"
"Gue ... belom tahu."
Salah satu alis Mentari naik. Sepertinya ada yang tak beres dengan Alan. "Lan, lo beneran gak apa-apa?"
"I-iya, gue gak apa-apa kok."
Mentari menatap lelaki itu selama beberapa saat. Ia lalu mengajak Alan ke suatu tempat dan membeli minuman.
Alan menatap tangan Mentari yang menyodorkannya minuman kaleng.
"Buat lo. Siapa tahu setelah minum, lo jadi ngerasa baikan," ujar Mentari.
"Thanks, ya." Alan menatap minumannya selama beberapa saat sebelum ia membukanya.
"Lo lagi ada masalah? Apa temen-temen lo di sekolah pada jahil?" tanya Mentari seraya mendudukkan tubuhnya di sebelah Alan. Rasanya ia ikut tak enak jika ternyata teman-temannya Alan menjahili lelaki itu karena penyakitnya.
"Enggak kok. Sikap mereka semua baik. Gue ... cuma mendadak gak mood aja."
"Tiba-tiba? Gak mungkin, lo pasti punya alasan." Mentari meneguk minumannya, lalu menatap beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.
Alan tersenyum tipis.
"Eh, iya, ngomong-ngomong, lo ada hubungan apa sama Pak Chandra? Kenapa kemarin dia busa ada di rumah lo?" tanya Mentari tiba-tiba.
Alan mengerjap pelan lalu menatap Mentari. Gadis itu terlihat menatap ke arahnya, menunggu jawaban yang akan keluar dari bibirnya.
"Ah, soal itu. Dia—"
Tiba-tiba ponsel milik Mentari berdering dan gadis itu segera mengeceknya.
"Apaan?" ujar gadis itu.
"Mau kue cubit!"
"Iya, iya, dasar bawel!" Mentari mendengkus pelan dan gadis itu langsung menutup sambungan teleponnya tanpa harus repot-repot memikirkan reaksi adiknya di seberang sana.
"Telepon dari siapa?" tanya Alan.
"Biasalah, Galang. Nitip kue cubit langganannya. Lo mau ikut juga? Biar sekalian sama gue. Rasanya enak loh, lo pasti suka," ujar Mentari.
"Gue ... "
"Udahlah, ikut aja!" Secara tiba-tiba gadis itu menarik tangan Alan dan membawa lelaki itu pergi dari sana.
***
Mentari menguap usai jam pelajaran berakhir. Ia mencoba membuka lebar kedua matanya yang terasa berat, sebelum akhirnya kembali menguap.
"Gue denger dari kelas sebelah katanya ada guru baru. Katanya agak serem, tapi gue bersyukur dia gak ngajar kelas sebelas," ujar Lala. Ia tak bisa membayangkan kalau guru yang menakutkan itu akan mengajar di kelasnya.
Mentari kembali menguap dan bergumam pelan sebagai respon.
"Tar, lo kurang tidur ya? Ini kan baru jam pertama. Istirahat masih lama, jadi gue harap lo gak sampe ketiduran," ujar Lala yang ternyata memperhatikan.
"Ah, gue ngantuk banget." Mentari menempelkan salah satu permukaan wajahnya di atas meja lalu memejamkan kedua matanya.
Melihat itu, Lala hanya bisa membuang napasnya pelan. Ia berharap guru yang akan mengajar di kelasnya setelah ini datang ke kelas sedikit telat.
"Eh, Tar, ngomong-ngomong lo udah tahu siapa yang udah ngasih bunga sama cokelat itu?" tanya Lala.
Dengan posisi yang sama, Mentari kemudian menganggukkan kepalanya.
"Eh? Serius? Siapa pengirimnya?" Lala mendadak antusias menanti jawaban yang akan keluar dari bibir Mentari.
"Menurut lo siapa?"
Lala tampak berpikir, menebak-nebak jawabannya. Mentari jarang sekali terlihat dengan murid laki-laki dari kelas lain.
"Emm ... Alan?" tanya Lala. Hanya lelaki itu yang kemungkinan mengirimkannya. Namun dilihatnya Mentari menggelengkan kepalanya.
"Terus siapa dong? Masa cewek sih yang ngirimnya." Lala kembali berpikir. Rasanya aneh jika ada murid perempuan yang mengirim itu pada Mentari, jadi kemungkinan besar pengirimnya adalah laki-laki.
Di detik berikutnya Lala terdiam, lalu menatap Mentari yang masih bergeming di tempatnya, "Jangan bilang kalo pengirimnya itu ... " Ia menggantungkan kalimatnya.
"Hm. Gak usah disebut, gue males denger nama dia," ujar Mentari.
Kedua mata Lala membulat dan refleks gadis itu membekap mulutnya dengan kedua tangan. "Mentari Putri, demi apa lo serius?!"
"Ngapain juga gue bercanda. Astaga, gue cuma pengen tidur!" Mentari menutup telinganya dengan tangan.
"Demi apa lo, Tar! Lo beneran? Tahu dari mana kalo Pak—"
"Dia sendiri yang bilang kok. Udahlah, cokelatnya udah gue kasih ke Galang. Lo kalo mau bunganya dateng aja ke rumah gue. Dengan senang hati gue bakalan ngasih itu sama lo. Gue mendadak alergi sama bunga." Mentari kemudian menegakkan tubuhnya. Gadis itu kemudian beranjak dari bangkunya, "Gue mau cuci muka sebentar." Ia kemudian berjalan keluar kelas. Mungkin dengan mencuci muka akan membuatnya sedikit lebih segar dan rasa kantuknya akan berkurang.
"Tahu gak sih, kemarin cewek pengidap fobia aneh itu pelukan sama Pak Chandra di koridor."
Mentari yang hendak membuka pintu bilik toilet itu terdiam dan mendengar beberapa langkah kaki mendekat.
"Ah, cewek yang di kelas sebelas itu? Yang katanya fobia sama matahari?" Seorang gadis yang membenarkan posisi bandonya berujar seraya menatap pantulan dirinya di cermin.
"Caper banget kayaknya sama guru yang muda. Fobia matahari apaan? Dasar manja." Rekannya yang selesai mencuci muka berujar. Sementara rekannya yang lain berjalan ke arah bilik.
"Tapi sejak dia masuk sekolah kita, dia mendapat perlakuan agak beda. Lo inget pas dia pingsan pas upacara? Dia hampir gak bisa napas tapi Pak Chandra sama PMR langsung bawa dia ke rumah sakit."
"Yang bikin gue heran itu kenapa Pak Chandra selalu bertingkah seolah jadi tamengnya si Mentari atau siapalah itu. Lo sadar gak sih, tiap ada sesuatu juga Pak Chandra kek selalu siaga gitu kalo nyangkut soal Mentari. Aneh kan, gue curiga kalo mereka berdua emang ada hubungan." Gadis yang hendak pergi ke bilik itu berujar, kemudian berdecak pelan. Ia hendak membuka salah satu bilik namun pintunya sulit dibuka, entah kenapa.
"Dia tuh aslinya emang manja. Tinggal di goa kali, jadi fobia sama matahari." Gadis yang tadi mencuci muka itu berujar, kemudian disusul oleh tawa kedua rekannya.
Namun tidak lama setelahnya salah seorang dari mereka berteriak saat berhasil membuka pintu bilik, membuat kedua temannya menoleh dan terkejut saat melihat seseorang yang keluar dari bilik itu.
Mentari menatap ketiga gadis itu secara bergantian. Selama ini mati-matian ia menahan diri setiap kali ada yang membicarakannya. Wajahnya sudah memerah hingga ke telinga.
"Mentari!" Gadis yang memakai bando berujar, terkejut karena sosok yang mereka bicarakan ternyata ada di sana dan menguping pembicaraan mereka. Kini gadis yang tadi mereka bicarakan itu tengah menatap ke arahnya dengan pandangan yang tajam.
Kedua tangan Mentari mengepal kuat. Sudah cukup, ia tak tahan lagi.
Gadis yang berada di dekat Mentari berteriak keras saat secara tiba-tiba rambutnya ditarik dengan kuat. Mentari menatap dua gadis lain yang ada di sana secara bergantian sebelum akhirnya ia mendorong gadis yang tengah kesakitan itu hingga terjerembap ke atas permukaan lantai.
—TBC