Chandra yang sudah mengganti penampilannya dengan pakaian yang lebih kasual itu berjalan melewati koridor rumah sakit dan menyapa beberapa orang yang berpapasan di sana sebelum akhirnya kedua kaki milik lelaki itu bergerak memasuki salah satu ruangan yang ada di sana usai mengetuk pintunya terlebih dulu.
"Kamu ternyata. Ada apa?" Seorang pria paruh baya bertanya sebelum akhirnya kembali memfokuskan pandangannya pada layar laptop.
Tak mendapatkan jawaban, Erwin lantas menatap putranya yang terlihat sudah duduk di salah satu kursi di sana dengan kedua tangan yang sudah menyilang di depan d**a.
"Kenapa?" Erwin mengalihkan fokusnya pada Chandra yang kini bergeming.
"Alan yang punya alzheimer itu ... temen lama kamu, kan?"
"Hm." Chandra menganggukkan kepalanya pelan.
"Papa bahkan gak tahu kalau kamu dulu sering main sama Alan sebelum pindah. Tapi siapa sangka sekarang kalian bisa ketemu lagi, kan? Kalau saja Papa tahu Alan itu temenmu, mungkin udah Papa kasih tahu sejak lama kalau dia itu salah satu pasien Papa."
"Gak masalah, toh meskipun aku sengaja ke sini buat nemuin dia, Alan gak bakalan langsung inget. Bahkan waktu pertama kali kita ketemu di sekolah pun dia gak inget sama sekali padahal aku langsung bisa tahu kalau itu dia," ujar Chandra.
"Dia masih harus rutin periksa sebelum anamnesis dia nambah. Kalo perlu kamu ingetin dia sesekali sebelum parah. Mungkin sekarang dia baik-baik aja, tapi kita gak tahu ke depannya bakalan kayak gimana. Yah, meskipun dengan kemauan minum obat saja udah cukup bagus buat kognisi dia, tapi setidaknya dia harus rutin memeriksakan diri, karena bagaimana pun, penyakit dia itu ... gak bisa sembuh." Erwin menatap Chandra di akhir kalimatnya. Putranya itu masih bergeming di sana.
Suasana di sana kemudian berubah hening selama beberapa saat, sebelum akhirnya Erwin kembali berujar, "ngomong-ngomong kamu bener-bener udah mutusin semuanya?"
Chandra membuang napasnya pelan sebelum akhirnya ia mengangguk.
"Dulu kamu gak jadi ngambil kedokteran dan malah pilih olahraga hanya karena—"
"Keajaiban itu ada, kan?" Tiba-tiba Chandra menginterupsi.
Erwin menatap putranya dengan kening mengerut, "Selama kamu berusaha dan percaya dengan keajaiban itu sendiri, gak ada yang gak mungkin."
"Aku— cuma pengin ngelakuin yang terbaik."
"Kamu sudah bertindak sampai sejauh ini dan itu sudah bagus, Chandra," ujar Erwin.
Tak ada kalimat balasan yang keluar dari bibir Chandra. Lelaki itu kembali terdiam setelahnya dan memilih keluar dari ruangan sang ayah.
*
Kedua mata milik Mentari terbuka setelahnya dan ia sadar kalau ternyata dirinya tertidur tanpa sempat mengganti pakaiannya. Samar-samar ia mendengar suara Galang di luar sana, pertanda kalau adik dan juga ibunya sudah pulang. Gadis itu kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan duduk bersila, lalu mengecek notifikasi ponselnya dan membalas beberapa pesan masuk.
Ia kemudian menatap sebuket bunga dan juga cokelat yang ada di atas meja belajarnya.
"Habisnya kamu gak bales chat saya lagi, jadi saya makin gak enak karena saya pikir kamu marah gara-gara dapat hukuman."
"Kenapa juga dia harus repot-repot beli itu? Dasar aneh." Mentari beranjak dari posisinya dan ke kamar mandi.
Usai membersihkan diri, gadis itu keluar dari kamarnya dan turun ke bawah. Ia melihat Galang sedang menonton film kartun dengan sepiring kue cubit di hadapannya, lalu tanpa izin Mentari mengambil salah satu kue yang ada di sana hingga mengundang protes sang adik.
"Beli sendiri dong!" Galang berujar usai merebut piringnya.
"Gue cuma ngambil satu, dasar pelit!"
Galang memeletkan lidahnya, membuat Mentari semakin gencar mengerjai anak itu dengan merebut piringnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi sampai Galang harus melompat-lompat demi mengambil alih semua sisa kue cubit itu.
"Mulai lagi, kan." Mala menatap kelakuan anak-anaknya itu. Wanita itu hanya bisa membuang napasnya.
Kini giliran Mentari yang memeletkan lidahnya pada Galang. Gadis itu mengambil beberapa kue cubit sebelum memberikan kembali piring itu.
"Oh, iya, tadi kamu pulang sama siapa?" tanya Mala.
Mentari yang memilih duduk di atas karpet itu pun tersedak begitu mendengar pertanyaan dari sang ibu hingga mengundang kebahagiaan Galang, namun segera ditegur oleh Mala dan anak itu malah kabur dari sana sebelum telinganya menjadi korban.
"Sama ... temen," ujar Mentari seraya menelan sisa kue cubit yang masih berada di dalam mulutnya.
"Lala?"
Kedua mata milik Mentari berkedip, "Bu-bukan."
Jawabannya membuat Mala mengerutkan dahi, "Terus? Sama Alan? Kayaknya tadi Ibu liat dia berangkat naik motor."
"A-ada ... temenku yang lain," jawab Mentari. Gadis itu membuang napasnya dan menatap lurus ke arah televisi. Ia malas mengingat salah satu manusia menyebalkan itu.
"Ya udah deh, kalo gitu Ibu keluar dulu sebentar, ya. Makan aja kalo lapar, Ibu udah siapin makanan di meja."
Mentari mengangguk dan bergumam pelan sebagai jawaban. Mood-nya kembali berubah usai ibunya pergi.
"Gue besok bolos aja kali, ya? Males banget ke sekolah," Mentari mendengkus pelan. Gadis itu kemudian beranjak dari posisinya dan pergi ke dapur. Baru beberapa suap menikmati makanannya, tiba-tiba Galang berteriak memanggilnya beberapa kali seraya berlari ke arahnya.
"Ini bunga sama cokelat dari siapa?" tanya Galang dengan ekspresi jahil. "Kakak punya pacar, ya?"
"Masih kecil tahu apa lo soal pacar?" ujar Mentari. Gadis itu sudah terlalu malas untuk memarahi adiknya atau bahkan merebut kedua benda itu dari tangan Galang.
Galang mendadak menyeringai, lalu berjalan mendekati kakaknya yang sedang makan. "Aku bilangin ke ibu ah," ujarnya.
"Bilang aja sana."
"Eh?" Kedua mata milik Galang berkedip dua kalu. "Beneran nih? Ntar aku bilang ke ibu lho, kalo Kakak dapet bunga sama cokelat dari cowok."
"Gue gak peduli." Mentari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Ka-kalo gitu cokelatnya aku makan ah!" Galang kembali mengancam dengan pura-pura membuka bungkusan cokelat di tangannya.
"Gak masalah. Gue juga emang niat ngasih itu buat lo."
Jawaban sang kakak membuat seorang Galang Putra terbengong-bengong di tempatnya. Padahal, semula ia berpikir kalau kakaknya itu akan murka padanya namun reaksi tenang yang ditunjukkan saat ini, membuat Galang merasa kalau ada yang tidak beres dengan kakaknya. Bocah itu kemudian meletakkan salah satu tangannya di kening milik Mentari, hingga mengundang tatapan tajam kakaknya.
Mentari segera menyingkirkan tangan Galang dari keningnya, "Gue masih sehat woy!"
Adiknya kemudian mengerjap, lalu menunjukkan cokelat di tangannya, "Ini ... beneran buat aku?" tanyanya hati-hati.
"Hm. Makan aja, gue gak peduli. Kalo mau ambil bunganya sekalian juga gak masalah." Mentari menghabiskan sisa air di dalam gelasnya. Ia kemudian berjalan menuju wastafel dan mencuci peralatan makannya.
Di belakang, Galang masih termenung menatap perubahan sikapnya yang drastis.
"Itu ... beneran Kak Mentari, kan?" batin bocah itu cemas. Ia takut kalau gadis yang ada di depannya itu adalah sesosok alien yang menyamar jadi kakaknya, persis seperti adegan di salah satu film yang ia tonton beberapa waktu lalu.
—TBC