Pagi itu, sinar matahari mulai menyusup masuk melalui celah-celah tirai di kamar villa, menciptakan suasana hangat yang seharusnya bisa membuat siapa saja merasa nyaman. Namun, suasana di dalam villa itu jauh dari kata nyaman. Santi, yang baru saja bangun, merasakan ketegangan di setiap sudut rumah, meski tak ada tanda-tanda langsung yang membuatnya merasa demikian.
Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri, mengenakan pakaian rumah yang sederhana. Arman masih tertidur pulas di tempat tidur, tampak damai seolah-olah tidak ada masalah besar yang sedang mereka hadapi. Santi memandangnya sejenak, hatinya campur aduk antara cinta dan kebingungan. Ia tahu apa yang sedang menanti mereka di luar sana – kenyataan yang jauh lebih rumit dari apa yang tampak di permukaan.
Setelah memastikan Arman masih terlelap, Santi keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur.
"Selamat pagi, Bi," sapa Santi saat ia mulai memasuki dapur.
"Selamat pagi, Nyonya," sahut Bi Ijah yang langsung menghentikan aktivitasnya.
Seperti biasa, ia membantu Bi Ijah, pembantu lama di villa itu, untuk menyiapkan sarapan. Meski pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran, Santi berusaha tetap tenang. Tangannya dengan cekatan mulai memasak, memilih bahan-bahan yang ia tahu adalah favorit Arman. Telur orak-arik, roti panggang, dan secangkir kopi hitam. Santi selalu berusaha menyiapkan yang terbaik untuk Arman, walaupun hatinya sering kali merasa was-was.
Bi Ijah, yang sudah terbiasa dengan rutinitas pagi ini, juga membantu dengan gerakan cekatan. Mereka bekerja sama tanpa banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang, seolah memahami bahwa pagi itu berbeda dari biasanya. Setelah semua makanan siap, Santi segera menuju meja makan untuk mengatur piring, cangkir, dan semua perlengkapan lainnya. Ia memastikan setiap detail, tidak ingin ada yang terlewat. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, harus sempurna – meskipun ia tahu kesempurnaan itu hanya ilusi.
Namun, suasana yang sepi dan tenang itu tiba-tiba pecah oleh suara ketukan keras dari arah pintu depan. Santi dan Bi Ijah saling berpandangan, keduanya terkejut.
"Nggak biasanya ada tamu sepagi ini, apalagi tanpa pemberitahuan," ucap Santi. "Bi, tolong buka pintunya," Tambahnya.
"Baik, Nyonya." Bi Ijah bergegas menuju pintu depan.
Saat pintu terbuka, mata Bi Ijah langsung membulat sempurna, mulutnya sedikit terbuka tanpa suara. Di hadapannya berdiri dua sosok wanita yang tak asing lagi – Lestari, istri sah Arman, dan Ningrum, ibu Lestari. Keduanya tampak berwibawa dan penuh ketegasan, dengan ekspresi wajah yang jelas menunjukkan bahwa mereka tidak datang untuk sekedar berbasa-basi.
"Selamat pagi, Bi," suara dingin Lestari memecah keheningan, matanya menatap lurus ke dalam rumah. Tanpa menunggu jawaban dari Bi Ijah, Lestari dan Ningrum segera melangkah masuk, membuat suasana rumah yang semula tenang menjadi tegang seketika. Bi Ijah hanya bisa mundur, membiarkan kedua wanita itu berjalan masuk tanpa halangan.
Santi, yang mendengar suara langkah-langkah itu, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berjalan pelan menuju ruang depan, dan saat melihat siapa yang datang, tubuhnya seolah membeku. Lestari? Apa yang dia lakukan di sini? Pikiran Santi berputar cepat, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah drastis.
"Maaf, Nyonya … saya."
Lestari segera memotong ucapan Bi Ijah. "Lebih baik Bibi masuk, aku ingin bicara dengan gundik suamiku."
"Tapi, Nyonya …."
"Nggak apa-apa, Bi. Masuk saja," perintah Santi yang langsung menoleh ke arah Bi Ijah.
Bi Ijah segera meninggalkan tempat itu menuju dapur, Lestari, dengan anggun tetapi tegas, berjalan mendekat ke arah Santi. Matanya yang dingin menatap tajam, seolah menusuk langsung ke dalam jiwa Santi. Ningrum, di sampingnya, terlihat sama tegasnya, dengan tatapan penuh rasa tidak suka.
"Jadi, ini rumah yang kau tinggali bersama suamiku?" suara Lestari terdengar tajam, penuh kemarahan yang ia coba tahan.
Santi tergagap, tidak tahu harus menjawab apa. "Le … Lestari, aku bisa jelaskan," ia berusaha membuka percakapan, meski suaranya terdengar kecil dan gemetar. Namun, Lestari tidak memberikan kesempatan.
"Nggak perlu ada yang kau jelaskan lagi, Santi. Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah tahu kau hidup bersama suamiku di sini, di belakang punggungku," kata Lestari dengan nada tajam, setiap katanya seperti pisau yang menusuk hati Santi.
Ningrum melangkah maju, suaranya lebih lembut tetapi tidak kalah menyakitkan. "Kami sudah menunggu terlalu lama, Santi. Kami memberi kesempatan pada Arman untuk kembali, untuk memperbaiki kesalahan ini. Tapi tampaknya dia memilih untuk tetap berada di sini denganmu. Dan itu nggak bisa kami biarkan."
Santi mundur selangkah, merasa seluruh tubuhnya melemah. "Aku... aku nggak bermaksud menyakiti siapa pun. Ini semua terjadi begitu saja," kata Santi dengan suara bergetar. Tetapi di hadapan Lestari dan Ningrum, alasan itu terdengar sia-sia. Mereka datang dengan satu tujuan, dan tidak ada penjelasan yang akan mengubah kenyataan yang mereka hadapi.
Di saat yang sama, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Arman, yang baru saja bangun, terlihat keluar dari kamar dengan raut wajah yang masih mengantuk. Namun, begitu melihat siapa yang berdiri di ruang depan, matanya langsung melebar, dan wajahnya memucat. "Lestari? Ningrum?" suaranya terdengar kaget, hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Lestari menoleh ke arah suaminya, dan dalam sekejap, suasana menjadi semakin tegang. "Bagus sekali, Mas. Akhirnya kau muncul juga," kata Lestari dengan nada sarkastis. "Sudah cukup bermain-main di sini? Atau kau masih ingin tinggal lebih lama lagi dengan wanita ini?"
Arman menghela napas panjang, jelas ia tidak siap untuk menghadapi situasi ini. "Lestari, aku bisa jelaskan," ia mencoba mendekati istrinya, tetapi Lestari mengangkat tangannya, menghentikan langkah Arman.
"Enggak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Aku sudah mendengar semuanya dari Reza. Kau benar-benar pria yang nggak tahu malu," kata Lestari, matanya penuh kekecewaan.
"Lestari, tolong dengarkan aku. Ini... ini semua kesalahan. Aku nggak bermaksud membuatmu terluka. Aku..." Arman mencoba berbicara, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar kosong dan tanpa makna.
Ningrum, yang berdiri di samping Lestari, memandang menantunya dengan tatapan yang dingin. "Arman, kami datang ke sini bukan untuk mendengar alasan. Kami datang untuk memberitahumu bahwa ini sudah berakhir."
Santi, yang mendengar kata-kata itu, merasa seolah-olah seluruh dunianya runtuh. Ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi secepat ini, dan dalam situasi yang begitu kacau. Arman, yang awalnya tampak begitu tenang, kini terlihat kehilangan arah. Ia tidak bisa menjawab, hanya berdiri di sana dengan wajah yang penuh kebingungan.
"Ini," ucap Lestari sambil menyerahkan sebuah amplop putih.
"Apa ini, Lestari?" tanya Arman dengan rasa penasaran.
"Ambil saja dan buka!" perintah Lestari sambil terus menyodorkan amplop tersebut.
Suasana di dalam villa semakin tegang. Lestari dan Ningrum tetap berdiri tegak, menunjukkan bahwa mereka datang dengan niat yang jelas. Santi merasa seluruh tubuhnya gemetar, sementara Arman tampak bingung dan tidak berdaya. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan untuk memperbaiki keadaan ini.