Arman duduk terpaku di dalam mobilnya di depan rumah Lestari. Matanya terus memandangi rumah itu, tempat di mana ia dan istrinya pernah berbagi kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu kini tampak begitu jauh. Pertengkarannya dengan Lestari beberapa jam yang lalu masih terasa jelas di pikirannya. Suara Lestari yang penuh amarah, air mata yang mengalir di pipinya, dan kata-kata Ningrum yang menamparnya keras, semua itu bergema di kepalanya. Setelah beberapa saat merenung, Arman akhirnya menghela napas panjang. Ia merasa hatinya tercabik-cabik, terombang-ambing antara Lestari, wanita yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun, dan Santi, wanita yang sedang mengandung anaknya. Pikiran tentang memiliki keturunan, tentang garis darah, terus menghantui pikirannya. Namun, ia juga tahu betapa dal