Bab 16. Harapan Kembali

999 Words
Setelah pertemuannya dengan Reza yang penuh emosi dan kejujuran yang menyakitkan, Arman merasa bahwa ia tidak bisa lagi menunda untuk menemui Lestari. Ia harus menyelesaikan masalah ini dengan istrinya, sekaligus mencoba memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki. Arman berkendara menuju rumah orang tua Lestari, di mana ia tahu Lestari sedang tinggal setelah meninggalkan rumah mereka. Sepanjang perjalanan, pikiran Arman dipenuhi dengan berbagai skenario—akankah Lestari mau memaafkannya? Akankah ia bisa meyakinkan Lestari untuk pulang, atau semua ini sudah terlambat? Setibanya di rumah orang tua Lestari, Arman turun dari mobil dan menatap bangunan besar itu dengan perasaan gugup. Ia jarang merasa cemas seperti ini, tetapi situasi yang ia hadapi sekarang jauh di luar kendali. Ketika pintu terbuka, Ningrum-ibunda Lestari yang menjawabnya. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang jelas. "Arman? Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya dingin, penuh kewaspadaan. Arman menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Saya ingin berbicara dengan Lestari, Bu. Saya tahu saya membuat kesalahan besar, dan saya ingin memperbaikinya." Ningrun-ibunda Lestari memandangnya dengan tajam, ragu apakah ia akan mengizinkan Arman masuk atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya ia membuka pintu lebih lebar dan berkata, "Masuklah, Lestari ada di ruang tamu." Arman melangkah masuk dengan hati-hati. Ia menemukan Lestari duduk di sofa ruang tamu, wajahnya terlihat tenang namun jelas ada luka dan kekecewaan yang mendalam di balik sorot matanya. "Lestari ...." Arman memulai dengan lembut, duduk di kursi di seberangnya. "Aku tahu aku sudah membuat kesalahan. Aku ingin kita bicara, mencoba untuk mencari solusi agar kita bisa kembali seperti semula." Lestari menatapnya sejenak, kemudian tersenyum pahit. "Kembali seperti semula? Apa kau serius, Mas? Apa menurutmu setelah semua yang terjadi, kita bisa kembali seperti sebelumnya?" tanyanya dengan nada getir. Arman terdiam. Ia tahu bahwa Lestari benar, tetapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. "Aku tahu ini nggak mudah, dan aku tahu aku sudah menyakiti hatimu. Tapi aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kita kembali bersama, membangun kembali pernikahan kita. Aku janji akan berubah." Lestari tertawa kecil, meskipun air mata tampak menggenang di matanya. "Kau ingin berubah? Setelah apa? Setelah kau mengkhianatiku? Setelah kau membohongiku selama berbulan-bulan? Mas, aku bahkan nggak tahu apakah aku masih bisa mempercayaimu lagi." Arman tertegun mendengar kata-katanya, namun ia tahu bahwa Lestari pantas merasa seperti itu. "Aku nggak meminta maaf dengan mudah, Lestari. Tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Beri aku satu kesempatan lagi, dan aku akan membuktikan bahwa aku serius." Lestari terdiam beberapa saat, matanya berkaca-kaca. "Mas, aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Tapi aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan ini. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku nggak tahu apakah aku bisa pulang sekarang." Arman mengangguk, menerima keputusan Lestari meskipun hatinya berat. "Aku mengerti, Lestari. Aku hanya berharap kau tahu bahwa aku akan menunggumu. Aku akan berusaha membuktikan bahwa aku layak mendapat kesempatan kedua." Ningrum, ibu Lestari, yang sejak tadi mendengar percakapan mereka dari kejauhan, akhirnya tidak bisa lagi menahan emosinya. Ia segera duduk di sofa di sebelah Lestari, menatap Arman dengan penuh amarah. "Arman, kau pikir dengan datang ke sini dan meminta maaf semuanya akan beres?" Ningrum berkata dengan nada tegas. "Kau sudah menyakiti putriku, membuatnya menderita. Kau mengkhianatinya, dan sekarang kau ingin semuanya kembali seperti semula? Apa kau pikir kami nggak tahu betapa besar luka yang sudah kau berikan?" Arman terdiam sejenak mendengar ucapan tajam Ningrum. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras, membuatnya sadar akan betapa dalam luka yang ia buat. Wajahnya menunjukkan campuran emosi antara penyesalan dan kebingungan, namun ia masih berusaha untuk membela keputusannya. "Bu," Arman mulai berbicara, suaranya terdengar pelan namun penuh beban, "Aku hanya ingin memastikan keturunan yang benar-benar dari darah dagingku. Aku nggak berniat menyakiti Lestari, tapi ini adalah keinginan yang sudah lama aku miliki." Lestari, yang sebelumnya hanya mendengarkan, tiba-tiba bangkit dari kursinya. Wajahnya memerah karena marah. "Mas, apakah kau pikir keinginanmu untuk memiliki anak lebih penting daripada perasaan dan kesetiaan dalam pernikahan kita? Kau nggak hanya mengkhianati kepercayaan, kau juga menghancurkan hati dan hidupku. Aku siap untuk mengadopsi anak, untuk memberikan kasih sayang pada anak yang membutuhkan, tapi kau memilih cara terburuk dengan berselingkuh." Ningrum, yang masih duduk di sebelah Lestari, menatap Arman dengan penuh kekecewaan. "Kau berbicara tentang darah dagingmu seolah-olah itu adalah satu-satunya yang penting. Apakah Lestari bukan bagian dari hidupmu? Bagaimana bisa kau memaksanya untuk menerima anak dari wanita lain sementara kamu nggak mau menerima anak dari adopsi? Ketika kau memutuskan untuk berselingkuh dan membuat anak dengan wanita lain, kau seharusnya berpikir bagaimana itu akan menghancurkan Lestari." Arman mencoba membuka mulut untuk berbicara, tapi Ningrum mengangkat tangannya, meminta Arman untuk diam. "Apakah kau nggak berpikir bagaimana perasaan Lestari selama ini? Dia yang kau sakiti, dia yang menunggu dengan harapan, dan sekarang kau mengharapkan dia menerima anak hasil dari pengkhianatanmu? Kau bahkan belum berpikir tentang perasaan istrimu selama ini!" Kata-kata Ningrum membuat suasana semakin panas. Lestari, yang sudah tidak bisa menahan air matanya, terisak dalam diam. Dia merasa dihancurkan oleh suaminya, oleh pria yang dulu ia percayai sepenuhnya. "Mas, aku mencintaimu, tapi kau memaksaku untuk melihat semua ini. Kau memaksaku untuk bertahan dalam pernikahan yang penuh luka," Lestari berkata, suaranya parau. "Aku hanya ingin kita bahagia. Tapi sekarang, aku nggak tahu apa yang tersisa dari pernikahan kita." Arman terdiam, wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam. Meski ia ingin berdebat, ia tahu bahwa argumennya semakin tidak berarti. Kekacauan yang ia buat telah menghancurkan pondasi pernikahan mereka. Ningrum memeluk Lestari erat, memberikan kekuatan kepada putrinya. "Arman, jika kau benar-benar mencintai Lestari, kau harus melepaskannya. Kau sudah terlalu banyak membuatnya menderita. Jangan lagi tambah beban di pundaknya dengan memaksanya menerima semua kesalahanmu." Arman, dengan berat hati, akhirnya mengangguk. Ia tahu bahwa meski ia mencoba untuk memperbaiki semuanya, kepercayaannya pada Lestari sudah hancur. Keputusan yang ia buat dengan berselingkuh telah membawanya ke titik ini, dan kini ia harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin ia telah kehilangan Lestari selamanya. "Aku akan pergi," kata Arman akhirnya, suaranya penuh dengan penyesalan. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal." Arman berdiri dan perlahan berjalan keluar, meninggalkan Ningrum dan Lestari dalam suasana hening yang penuh dengan luka dan kekecewaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD