Bab 10. Malam yang Mendebarkan

1051 Words
Sepanjang perjalanan, Santi duduk di kursi belakang mobil dengan tatapan kosong yang terarah ke luar jendela. Lampu-lampu kota yang melintas di luar jendela tampak bergerak cepat, namun pikirannya terjebak dalam kekacauan emosional yang mendalam. Setiap cahaya yang melintas seperti mengingatkannya pada momen-momen bahagia dalam hidupnya, masa-masa sebelum malam ini, dan harapan-harapannya untuk masa depan. Santi berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Di dalam pikirannya, ia terus-menerus berulang kali mengucapkan mantra penghibur. “Ini hanya sementara,” bisiknya dalam hati. “Kita akan melalui ini. Semua ini demi masa depan kita. Aku harus kuat.” Gambar-gambar dari malam-malam bahagia bersama Reza, tawa mereka, dan momen-momen sederhana namun berharga, menghampiri pikirannya. “Aku harus ingat kenapa aku melakukan ini,” ia terus memikirkan. “Kita melakukan ini untuk kehidupan yang lebih baik. Ini hanya pengorbanan sesaat.” Namun, di dalam hatinya, ia juga tidak bisa menepis rasa takut dan ketidakpastian. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, dan rasa cemas menyelimuti setiap sudut pikirannya. “Bagaimana kalau semuanya nggak seperti yang aku harapkan?” tanyanya dalam hati. “Bagaimana kalau ini merusak segalanya?” Mobil melaju melewati jalanan kota yang semakin sepi, dan Santi hanya bisa merenung. Suara mesin mobil dan deru angin luar menjadi latar belakang yang monoton, menggantikan keheningan di dalam pikirannya. Setiap kali ia menoleh ke arah Handoko, sopir yang duduk di depan, ia merasa sedikit lega mengetahui bahwa ada seseorang yang akan memastikan perjalanan ini sampai ke tujuan dengan aman. “Aku harus tetap tegar,” bisiknya lagi, menguatkan dirinya. “Ini bukan hanya tentang aku, tetapi juga tentang kita, masa depan kita.” Saat mobil memasuki area yang lebih sepi dan gelap, Santi merasakan lonjakan kecemasan di dalam dirinya. Namun, ia terus berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan itu menguasai dirinya sepenuhnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghadapi apa pun yang ada di depan dengan keberanian dan harapan bahwa keputusan ini, meskipun berat, akan membawa hasil yang baik untuk mereka berdua di masa depan. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah villa mewah yang terletak di pinggiran kota. Santi menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum turun dari mobil. Suasana di luar villa tenang, dengan lampu-lampu yang lembut menyinari jalan setapak menuju pintu masuk. "Silahkan, Nona." Handoko membukakan pintu untuk Santi, dan dengan langkah hati-hati, Santi melangkah keluar dari mobil. Ia menyesuaikan gaunnya dan memusatkan perhatian pada pintu villa yang besar di hadapannya. Dengan langkah yang terasa berat namun penuh tekad, ia berjalan menuju pintu. Setibanya di dalam villa, Santi disambut oleh pemandangan interior yang elegan dan mewah. Langit-langit tinggi, furnitur yang bergaya, dan dekorasi yang cermat menciptakan suasana yang kontras dengan kesederhanaan rumahnya sendiri. Santi melangkah ke ruang tamu, di mana Arman sudah menunggunya. Arman duduk di sofa besar, tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia baru saja menghapus rokok yang tersembunyi di tangannya, meninggalkan aroma tembakau yang samar di udara. Ia mengenakan setelan jas yang rapi, menambah kesan berwibawa dan dingin. Santi menelan ludah, merasakan ketegangan yang semakin meningkat saat ia mendekat. Arman mengangkat wajahnya dan memandang Santi dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada senyum tipis di bibirnya, tetapi mata Arman tetap menunjukkan ketajaman yang membuat Santi merasa cemas. “Selamat datang, Santi,” ucap Arman dengan suara yang dalam dan berwibawa. “Kau tampak sangat cantik malam ini.” Santi memberikan senyum lemah sebagai balasan, berusaha untuk tetap terlihat tenang. “Terima kasih, Pak Arman.” Arman bangkit dari sofa dan melangkah menuju Santi dengan anggun. “Silakan duduk,” katanya, sambil menunjuk ke arah sofa di sisi lain ruangan. “Kita bisa mulai berbicara tentang hal-hal yang perlu kita bahas malam ini.” Santi duduk di sofa yang ditunjukkan Arman, mencoba untuk mengendalikan gemetar di tangannya. Arman duduk di kursi yang berhadapan dengannya, jaraknya cukup dekat untuk membuat Santi merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Arman menyandarkan tubuhnya dengan santai, tetapi ekspresi di wajahnya tetap serius. “Aku ingin memastikan bahwa kita berdua memahami tujuan malam ini,” katanya. “Keputusan ini penting, dan aku ingin segala sesuatunya berjalan dengan baik untuk kita semua.” Santi mengangguk, berusaha keras untuk tetap fokus dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tahu malam ini akan menentukan banyak hal dan hanya bisa berharap agar semuanya berjalan sesuai rencana yang telah mereka buat. Arman berdiri dari kursinya, dan langkahnya yang tegas membuat suara sepatu haknya bergema lembut di ruang tamu yang sunyi. Ia melangkah mendekat ke arah Santi dan mengulurkan tangannya dengan penuh kepercayaan diri. Tangan Arman yang kekar tampak kontras dengan tangan Santi yang halus. Santi menatap tangan Arman sejenak, merasa ragu dan cemas. Namun, dengan keberanian yang tersisa, ia mengulurkan tangannya dan menyambut genggaman tangan Arman. Sentuhan itu terasa dingin dan solid, menambah rasa tegang di dalam hatinya. Arman menggenggam tangan Santi dengan lembut, namun penuh keyakinan. “Ayo, kita pergi ke kamar utama,” ucapnya dengan nada tenang dan mengundang. Dengan langkah perlahan, Arman memimpin Santi menuju lorong yang mengarah ke bagian dalam villa. Setiap langkah Santi terasa semakin berat, dan pikirannya terus bergelut dengan rasa cemas. Namun, ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya. Ketika mereka sampai di depan pintu kamar utama, Arman berhenti sejenak dan menoleh ke arah Santi. “Ini adalah tempat di mana kita akan melakukan semuanya malam ini,” katanya. “Aku ingin memastikan bahwa kau merasa nyaman selama bersamaku." Santi hanya mengangguk, mengumpulkan semua keberaniannya. Arman membuka pintu kamar dan mempersilahkan Santi untuk masuk terlebih dahulu. Ruangan itu luas, dengan furniture yang mewah dan pencahayaan lembut yang menciptakan suasana yang menenangkan namun tetap berkelas. Santi melangkah masuk ke kamar utama, sementara Arman mengikuti di belakangnya. Ketika mereka berada di dalam kamar, Arman menutup pintu dengan lembut. Dia kemudian mendekati Santi dan mengundang dengan isyarat ke arah sofa yang terletak di sudut ruangan. “Silakan duduk,” ucap Arman, mencoba untuk mengurangi ketegangan di antara mereka. Santi duduk di sofa dengan hati-hati, mencoba untuk menjaga kesan tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Arman duduk di kursi di dekatnya, menjadikan suasana terasa lebih intim dan pribadi. “Kamu begitu cantik, Santi,” kata Arman dengan nada serius, sambil duduk di samping Santi. “Aku suka dengan aroma tubuhmu malam ini.” Arman mendekatkan wajahnya ke pundak Santi. Ia menghirup aroma tubuh Santi yang begitu harum. Santi menatap Arman dengan rasa campur aduk, berusaha untuk menenangkan pikirannya dan bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD