Bab 11. Malam Panas

1057 Words
Perlahan Arman mulai mengecup pundak Santi, yang akhirnya berhenti di leher wanita itu. Santi yang merasa kegelian dengan tindakan Arman terlihat menutup mata. Nafasnya memburu dengan cepat, sesaat ia terlena dengan sentuhan yang diberikan Arman. "Maaf, Pak. Saya nggak bisa." Santi segera mendorong tubuh Arman pelan, ia segera berdiri dari tempat duduknya. Tangannya saling mengepal satu sama lain, rasa gugup terus memburu di dadanya. Ia merasa tak sanggup jika harus melakukan hubungan panas bersama Arman malam ini. "Kenapa, Santi. Apa kamu ingin membatalkan perjanjian kita malam ini? Ingat, Santi. Kamu dan Reza sudah menandatangani perjanjian itu, jadi jangan harap kamu bisa membatalkannya begitu saja." Arman segera membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Santi. "Tapi, Pak …." Sambil berjalan dengan langkah tenang. "Aku nggak mau dengar alasan apapun darimu, kalian sudah menandatangani perjanjian itu. Sekarang cepat lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan malam ini." Tanpa menunggu persetujuan Santi, Arman segera memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Pria berusia 40 tahun itu langsung melumat bibir Santi dengan rakus, hingga membuat Santi hampir tidak dapat bernafas. Santi kini hanya bisa pasrah dengan keadaannya saat ini, merasa semakin dirinya menolak maka Arman akan semakin kuat mendekapnya. Cukup lama Arman bermain dengan bibir mungil Santi, dan kini permainannya tiba-tiba berhenti. Arman kini menatap wajah Santi yang sudah berantakan. "Aku senang kamu bisa mengerti apa yang aku inginkan, Santi." Dengan lembut Arman membelai rambut Santi sebelum akhirnya ia melanjutkan permainannya yang sempat tertunda. Kini Santi hanya bisa pasrah dengan perlakuan Arman pada setiap lekuk tubuhnya. "Puaskan aku, Santi!" bisik Arman. "Aku janji akan memberikan semua kemewahan yang kamu impikan selama ini." Arman yang sudah tidak dapat mengendalikan pikirannya segera mengendong tubuh Santi dan membawanya ke arah tempat tidur. Sambil terus melumat bibir Santi, Arman membaringkan wanita itu dengan perlahan. Malam ini adalah malam yang tidak pernah Santi bayangkan selama ini. Malam di mana ia harus merelakan dirinya di jamah oleh pria yang bukan suaminya. Matanya terpejam Santi berharap semua ini bisa secepatnya berakhir. Arman terus mempermainkan tubuh Santi dengan penuh gairah. Ia tidak dapat lagi mengendalikan logikanya, yang ada di benaknya saat ini adalah memiliki anak dan kepuasannya. Tidak berapa lama, tubuh kekar itu mulai menindih tubuh Santi, dan bermain dengan lebih leluasa. Desahan yang keluar dari mulut Santi, serta suara nafas yang memburu dengan cepat terdengar jelas di seluruh kamar. Sepuluh menit berlalu, keduanya akhirnya sampai di puncak kenikmatan. Dimana rasa klimaks menembus dinding-dinding rahim Santi. Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus tirai tebal di kamar vila, menyinari ruangan yang dingin dan hening. Santi terbangun dengan perasaan kosong, seolah-olah jiwanya telah meninggalkannya. Tubuhnya lelah, namun rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada kelelahan fisik yang ia rasakan. Malam yang baru saja ia lewati seakan menjadi mimpi buruk yang tak pernah ingin ia alami. Dia berbaring di tepi ranjang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Vila itu sunyi, hanya suara samar dari burung-burung di luar yang mengisi kesunyian yang mencekam. Santi memejamkan matanya, berharap rasa hampa ini akan segera berlalu, tetapi perasaan itu tetap tinggal, semakin dalam dan menusuk. Arman sudah bangun lebih dulu. Ia berdiri di dekat jendela besar, menatap pemandangan luar dengan tenang, seolah-olah tidak ada hal besar yang baru saja terjadi. Baginya, malam itu hanyalah transaksi—perjanjian yang telah ia buat dan kini selesai. Di sisi lain, bagi Santi, itu adalah kehilangan terbesar dalam hidupnya. “Pagi, Santi,” suara Arman terdengar datar namun ramah, seolah-olah mereka adalah dua orang yang baru saja menghabiskan malam biasa bersama. Santi tidak menjawab. Dia hanya menarik selimut lebih erat, berusaha menyembunyikan kesedihan dan kehancuran yang menguasai dirinya. Rasa malu, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu, membuatnya sulit untuk bergerak atau berpikir jernih. Arman, yang menyadari ketidaknyamanan Santi, berjalan mendekat dan duduk di ujung ranjang. “Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi seperti yang sudah kubilang, tidak ada yang perlu tahu tentang ini. Ini tetap menjadi rahasia kita.” Santi menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. Kata-kata Arman tidak mampu menenangkan hatinya yang hancur. Di dalam dirinya, ia merasa seperti telah kehilangan bagian terpenting dari dirinya sendiri. Harga dirinya, kehormatannya, dan cintanya pada Reza—semuanya hancur dalam semalam. “Kau bisa pulang kapan pun kau siap,” lanjut Arman sambil berdiri dan melangkah keluar dari kamar. "Uang itu akan segera dikirim ke rekening Reza. Kalian tidak perlu khawatir tentang hutang lagi." Arman melanjutkan ucapannya. "Cepat kemasi barang-barangmu, dan mulai hari ini kamu bisa tinggal di sini. Paling tidak sampai kamu bisa memberikanku seorang anak." Saat pintu kamar tertutup, Santi merasa seolah-olah dunia di luar vila itu begitu jauh dari jangkauannya. Ia menatap langit-langit kamar, berpikir tentang bagaimana ia bisa sampai pada titik ini—bagaimana Reza, suaminya, bisa membiarkannya mengalami hal ini demi uang. Pengkhianatan itu begitu nyata, dan tidak ada satu pun kata yang bisa menghapus rasa sakit yang kini berakar dalam di hatinya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, Santi bangkit dari ranjang. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil membawa beban emosi yang tidak terlihat. Ia berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan pikirannya. Mobil yang menjemputnya kembali sudah menunggu. Santi masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap keluar jendela, menatap jalan yang tampak begitu asing meskipun ia pernah melewatinya berkali-kali. Setiap detik terasa lambat, dan pikiran Santi terpusat pada satu hal: bagaimana ia akan kembali menghadapi Reza setelah semua ini. *** “Kau baik-baik saja?” tanya Reza dengan suara pelan, hampir berbisik. Reza ternyata sudah menunggunya di dalam. Tatapannya penuh dengan rasa bersalah, tetapi juga harapan—harapan bahwa kesepakatan ini akan menyelamatkan mereka dari kehancuran finansial. Namun, Santi tidak bisa melihat suaminya dengan cara yang sama lagi. Santi menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa menjawab. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang telah dilakukan tidak bisa dihapus atau diperbaiki dengan kata-kata. Mereka mungkin telah menyelamatkan rumah dan diri mereka dari krisis keuangan, tetapi harga yang harus mereka bayar terlalu tinggi. Hubungan mereka telah hancur, dan Santi tidak tahu apakah ia bisa memaafkan Reza atau dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi. Tanpa berkata apa-apa, Santi berjalan melewati Reza dan masuk ke kamar, menutup pintu di belakangnya. Di dalam kamar itu, ia duduk di tepi tempat tidur, merenungkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski malam itu telah berakhir, perasaan hancur dan kosong di hatinya akan terus membayangi hari-harinya yang akan datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD