Bab 9. Keputusan yang Menyakitkan

1034 Words
Sore itu, sebelum Reza sempat pulang, Arman memanggilnya ke ruangan. Ketika Reza masuk, Arman sudah berdiri di dekat mejanya, memegang sebuah kotak kecil yang terlihat mewah. Tanpa banyak basa-basi, Arman menyerahkan kotak tersebut ke tangan Reza. "Apa ini, Pak?" tanya Reza sambil menerima kotak tersebut dari tangan Arman. “Berikan ini kepada Santi,” kata Arman dengan nada tenang tapi tegas. “Aku ingin dia memakainya malam ini, ketika kami … bersama. Dan satu lagi supirku akan menjemputnya, jadi pastikan dia sudah siap saat waktunya tiba.” Reza memandang kotak itu dengan hati yang tertekan. Di dalam pikirannya, pertanyaan tentang bagaimana Santi akan bereaksi terus berputar. Namun, ia tidak punya banyak pilihan selain mengangguk dan menerima kotak tersebut. Arman menambahkan, “Aku harap semuanya berjalan lancar, Reza. Pastikan dia nggak membuat masalah. Ini harus sempurna.” Reza hanya bisa menunduk, rasa bersalahnya semakin menggunung. Dengan kotak di tangan, ia keluar dari ruangan Arman, merasa semakin terbebani dengan tugas yang baru saja diberikan kepadanya. Di dalam hatinya, ia berusaha mencari kata-kata untuk disampaikan kepada Santi, tapi semua terasa salah dan berat. Langit sore yang mulai gelap menambah suasana hatinya yang muram. Reza tahu, setelah ia pulang dan menyerahkan kotak itu kepada Santi, tidak ada jalan kembali. Sesampainya di rumah, Reza langsung menuju ke Santi yang sedang duduk di ruang tamu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyerahkan kotak kecil itu kepada Santi. "Ini dari Arman," ujar Reza dengan nada cemas. "Dia ingin kamu memakainya malam ini." Santi menerima kotak itu dengan penuh tanda tanya. Perlahan, ia membuka tutupnya, dan matanya langsung tertuju pada isi di dalamnya. Di dalam kotak terdapat sebuah gaun malam yang mewah dan sepatu hak tinggi yang tampak sangat elegan. Sebentar, mereka berdua terdiam, memandangi barang-barang itu dengan perasaan campur aduk—antara kebingungan, kesedihan, dan ketidakpastian. Reza, merasakan ketegangan yang membebani suasana, akhirnya memecah keheningan. “Malam ini, supir Arman akan menjemputmu,” katanya, berusaha terdengar tenang meskipun suaranya bergetar. “Dia sudah mengatur semuanya. Jadi, aku ingin kamu bersiap-siap.” Santi menatap Reza dengan ekspresi kosong, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa berat, dan tubuhnya mulai terasa kaku dengan berita yang baru saja didengarnya. Gaun dan sepatu itu seolah menjadi simbol dari keputusan yang terpaksa diambilnya, sebuah pengingat yang tak bisa diabaikan tentang malam yang akan datang. “Aku tahu ini sulit, Santi,” lanjut Reza dengan suara pelan. “Tapi kita nggak punya banyak pilihan. Aku hanya berharap semuanya berjalan lancar dan ini cepat berlalu.” Santi mengangguk perlahan, meskipun wajahnya tetap pucat. Ia mulai mengumpulkan keberanian untuk menghadapi malam yang penuh tekanan ini, sambil berusaha menahan air mata yang hampir menetes. Ia tahu malam ini akan menjadi titik balik dalam hidup mereka, sesuatu yang akan meninggalkan bekas yang dalam di hati dan jiwa mereka. Dengan perasaan yang penuh kecemasan dan ketidakpastian, Santi membawa kotak itu ke dalam kamar. Begitu pintu kamar tertutup, ia menghela napas dalam-dalam dan menatap gaun malam yang ada di dalam kotak. Harga dirinya terasa hancur bersama gaun itu, simbol dari situasi yang sangat merendahkan dan menyakitkan. Santi berusaha untuk menepis perasaan sedih dan malu yang mencekam, mencoba untuk fokus pada tugas di depannya. Setelah hampir tiga puluh menit, ia akhirnya berdiri di depan cermin, siap dengan gaun malam yang kini membalut tubuhnya. Gaun yang elegan dan sepatu hak tinggi membuatnya terlihat cantik, namun di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang jauh berbeda dari keindahan yang tampak. "Aku nggak nyangka jika semua ini akan terjadi, bagaimana mungkin aku bisa melayani laki-laki yang bukan suamiku." Santi menatap dirinya dari balik cermin. Gambar di cermin memantulkan sosok Santi yang anggun dan menawan, namun ekspresi wajahnya tetap menunjukkan kesedihan dan ketegangan. Ia mengatur gaunnya, berusaha memastikan semuanya tampak sempurna. Setiap detil dari penampilannya terasa seperti beban berat yang harus dipikul, sebuah pengingat akan keputusan yang harus ia ambil malam ini. Ketika Santi siap, ia menunggu di ruang tamu, menatap jam dan berharap bahwa waktu berlalu dengan cepat. Ia tahu bahwa malam ini adalah sebuah langkah besar dalam hidupnya, dan meskipun ia berusaha tampil percaya diri, di dalam hatinya, rasa sakit dan ketidakpastian tidak bisa ditutupi. Setelah beberapa saat, Santi akhirnya keluar dari kamar dengan gaun malam yang membalut tubuhnya. Reza, yang sedang menunggu di ruang tamu, langsung menoleh ke arah Santi. Matanya terbuka lebar, dan sejenak, semua perasaan cemas dan bersalahnya terasa memudar saat melihat betapa anggunnya Santi dalam balutan gaun tersebut. “Wow, Santi .…” Reza mengeluarkan kata-kata dengan kagum, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus. “Kamu terlihat sangat cantik. Gaun itu benar-benar cocok untukmu.” Santi memaksakan senyum kecil di wajahnya, meskipun matanya tetap menunjukkan kecemasan. Ia merasa sedikit lebih baik mendengar pujian Reza, namun rasa sakit di hatinya masih sangat mendalam. “Terima kasih,” jawab Santi pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku … aku hanya ingin semuanya cepat selesai.” Reza mengangguk dengan penuh pengertian. “Aku tahu ini sulit, Santi. Tapi kau benar-benar luar biasa malam ini.” Dengan perasaan campur aduk, Reza dan Santi menunggu kedatangan supir Arman, sementara suasana di antara mereka terasa semakin tegang. Meski pujian Reza sedikit meringankan suasana, kenyataan tentang malam yang akan datang tetap membebani hati mereka berdua. Tidak berapa lama terdengar suara deru mobil memasuki halaman rumah mereka. Reza dan Santi yang sejak tadi larut dalam pikiran masing-masing langsung mendongakkan kepala mereka. Sambil berdiri dari tempat duduknya. "Sepertinya Supir Arman sudah datang. Santi, apa kamu sudah siap?" tanya Reza sambil memperhatikan Santi yang masih menunduk. "Jika aku bilang kalau aku nggak siap, dan nggak akan pernah siap. Apa semua ini bisa merubah keadaan ini? Nggak 'kan, Mas." Santi menjawab sambil berdiri dari tempat duduknya. Perlahan ia mulai berjalan ke luar rumah. Saat ia membuka pintu, terlihat seorang pria paruh baya sudah menunggunya di depan. "Selamat malam," ucap pria itu. "Saya Handoko, saya di utus Tuan Arman untuk menjemput Nona Santi." Handoko menjelaskan dengan perlahan. "Iya, saya Santi." Santi menghirup nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Saya sudah siap, mari kita berangkat sekarang." Langkah kak Santi terlihat pelan saat berjalan ke arah mobil dengan ditemani Handoko yang berjalan lebih dulu di depannya. Langkah itu terkesan begitu dipaksakan. Seandainya saja ia bisa memilih saat itu, ia lebih memilih menjadi gelandangan daripada harus mengorbankan harga dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD