Santi merasa kehidupannya kini lengkap dengan kehadiran Mandala, anak pertama yang lahir dari hasil cintanya bersama Arman. Setiap hari, ia semakin menyadari betapa beruntungnya menjadi seorang ibu dan betapa besar perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka berdua sejak kelahiran Mandala. Di rumah sakit, hari-hari yang dihabiskan bersama sang bayi membuat Santi semakin paham betapa besar rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang Arman miliki, tidak hanya kepadanya tetapi juga kepada Mandala.
Arman, yang sebelumnya mungkin dikenal sebagai pria ambisius dan sibuk dengan dunianya sendiri, kini berubah menjadi sosok yang lebih hangat dan peduli. Sejak kelahiran Mandala, Arman menunjukkan sisi lain dari dirinya yang tidak pernah Santi duga. Dia membantu mengganti popok, memandikan Mandala, bahkan begadang di malam hari untuk memastikan anak mereka tidur dengan nyaman. Perhatian yang ditunjukkan Arman membuat hati Santi semakin luluh, dan perlahan-lahan segala kecemasan yang sempat dia rasakan terkait masa depan mereka mulai memudar.
“Mandala sangat beruntung memiliki ayah seperti kamu,” ucap Santi suatu malam saat mereka berdua berada di rumah sakit, menatap bayi mereka yang sedang tidur nyenyak di boksnya.
Arman, yang sedang memegang tangan kecil Mandala, menoleh dan tersenyum lembut. “Aku yang beruntung memiliki kalian berdua,” jawabnya dengan tulus. Setiap kata yang keluar dari mulut Arman selalu penuh dengan rasa cinta, dan itu semakin menguatkan keyakinan Santi bahwa mereka telah membuat keputusan yang tepat untuk bersama.
Namun, di balik kebahagiaan ini, berita kelahiran Mandala menyebar dengan cepat.
Berita itu akhirnya sampai di telinga Reza melalui seorang teman dekatnya yang juga mengenal Arman. Teman tersebut memberi tahu Reza tentang kelahiran Putra dengan nada biasa, tetapi bagi Reza, berita ini seperti petir di siang bolong.
Pikirannya langsung melayang ke masa-masa lalu, saat dia dan Santi masih dekat. Dia teringat semua janji yang pernah mereka buat dan perasaan yang ia miliki untuknya. Kini, semua itu terasa hampa, seolah-olah ada jarak yang tak terjembatani antara dirinya dan Santi. Dia merasa kalah, kalah dalam perjuangan yang mungkin tidak pernah benar-benar dimulainya dengan serius.
Kecemburuan Reza memuncak hingga akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Santi. Dia ingin mendengar suaranya lagi, mungkin berharap ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menutup lembaran lama dengan cara yang lebih baik. Ketika akhirnya telepon berdering dan nama Reza muncul di layar ponsel Santi, wanita itu terkejut. Santi terdiam sejenak, memandangi layar ponselnya dengan keraguan. Ia tahu mengangkat telepon dari Reza bisa menimbulkan konflik baru, tetapi rasa penasaran mendorongnya untuk mengetahui apa yang Reza inginkan.
Setelah mengambil napas dalam-dalam, Santi menjawab telepon itu. “Halo?” suaranya terdengar pelan dan ragu.
“Halo, Santi. Selamat atas kelahiran putra pertama kalian,” suara Reza terdengar berat di ujung telepon, seperti ada banyak emosi yang ia tahan. Santi bisa merasakan ketegangan di dalam suara itu, tetapi ia berusaha tetap tenang.
“Terima kasih,” jawab Santi singkat, berharap percakapan ini tidak berlangsung lama.
Namun, Reza tidak ingin melepaskan kesempatan ini begitu saja. “Aku hanya ingin mengatakan... aku masih memikirkan kita. Tentang semua yang pernah terjadi di antara kita. Mungkin ini terdengar egois, tapi aku merasa kita belum menyelesaikan semuanya.”
Santi terdiam. Perasaan bersalah dan ketidakpastian mulai membayanginya. Ia tahu bahwa Reza belum benar-benar move on, tapi Santi juga sadar bahwa hidupnya sudah berbeda sekarang. Dia telah memilih Arman, dan Mandala adalah bukti dari pilihan itu. “Mas, semuanya sudah selesai. Aku sudah memilih jalan hidupku. Kamu juga harus melanjutkan hidupmu,” jawab Santi dengan nada tenang, meski hatinya sedikit bergetar.
Reza terdiam sejenak di ujung telepon. “Enggak Santi … kita belum selesai perjanjian tetap perjanjian, dan kamu harus melakukan apa yang tertulis pada perjanjian itu," ucapnya akhirnya, sebelum memutuskan telepon. Santi menatap ponselnya yang kini gelap.
Kehidupan Santi dan Arman bersama Mandala terus berjalan. Setiap hari mereka belajar menjadi orang tua baru, menghadapi tantangan-tantangan kecil yang datang dengan kelahiran seorang bayi.
Hari ini adalah malam pertama Mandala berada di rumah setelah hampir satu minggu berada di rumah sakit. Seperti bayi pada umumnya, Mandala malam ini tiba-tiba menangis. Arman, yang biasanya tenang dan penuh kendali, kini terlihat gugup setiap kali Mandala menangis.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanyanya saat Mandala menangis tanpa henti.
Santi tertawa kecil sambil menggoyang-goyangkan Putra dalam pelukannya. “Dia hanya butuh digendong, Mas. Santai saja,” ucapnya menenangkan. Arman tersenyum, meski masih terlihat cemas, tetapi senyum itu cukup membuat Santi yakin bahwa mereka akan baik-baik saja.
Dengan setiap hari yang berlalu, cinta di antara mereka semakin tumbuh. Mandala menjadi pusat dari dunia mereka, mengikat mereka lebih erat dari sebelumnya. Arman tampak semakin dewasa dalam perannya sebagai seorang ayah, dan Santi merasa dicintai lebih dari yang pernah ia bayangkan. Namun, di balik semua itu, kenangan akan masa lalu bersama Reza masih tersisa di sudut hati Santi, meskipun ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya.
"Kamu benar-benar hebat, Sayang. Kamu nggak hanya pandai membuatku nyaman, tapi juga pandai membuat Mandala nyaman saat berada di dekatmu." Arman mencium pipi Santi dari samping.
"Terima kasih, Mas," ucap Santi sambil tersenyum.
Saat Santi memandang Mandala, ia merasa bahwa masa depan yang cerah kini terbentang di depannya. Meski jalan yang telah ia lalui penuh dengan liku-liku dan keputusan sulit, ia yakin bahwa bersama Arman dan Putra, ia telah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka kini adalah keluarga kecil yang bahagia, siap menghadapi apa pun yang akan datang di masa depan.
***
Sementara itu Reza yang tidak bisa menahan diri lagi. Setelah berbulan-bulan mencoba mengabaikan perasaannya, dia akhirnya menghubungi Santi. Meski hubungan mereka telah berakhir lama, kehadiran anak pertama Santi dengan Arman, yang baru saja lahir, mengguncang hatinya. Reza tahu bahwa Santi sudah memilih jalannya bersama Arman, tetapi sesuatu dalam dirinya merasa ada hal yang belum selesai antara mereka.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Reza mengetik pesan singkat:
Reza:
_"Santi, apa kabar? Aku ingin bertemu denganmu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu besok di kafe dekat taman? Tanpa Arman."_
Reza menunggu dengan cemas. Beberapa menit berlalu tanpa ada balasan, dan Reza mulai merasa ragu. Apakah ini langkah yang benar? Apakah Santi masih akan mau bertemu dengannya? Namun, sebelum dia benar-benar menyerah pada pikirannya, ponselnya berbunyi.
Santi:
_"Besok, jam 10 pagi. Aku akan datang."_
Balasan Santi singkat, tapi cukup membuat Reza merasa lega. Dia tahu bahwa ini mungkin kesempatan terakhirnya untuk berbicara dari hati ke hati dengan Santi, bahkan jika hanya untuk memberikan kejelasan pada perasaan yang selama ini mengganjal.