Keesokan harinya, Reza duduk dengan gelisah di kafe yang telah disepakati. Pikirannya terus-menerus melayang ke pertemuan yang akan terjadi, di mana ia berharap bisa berbicara empat mata dengan Santi. Ia merasa ini adalah kesempatan terakhir untuk mendapatkan kejelasan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membebaninya. Waktu berlalu perlahan, dan setiap detik yang berlalu hanya memperparah kegelisahannya.
Setelah menunggu cukup lama, Reza melihat seseorang masuk ke dalam kafe. Itu adalah Santi, namun tidak sendiri. Ia datang bersama Arman. Melihat keduanya berjalan mendekat, Reza merasakan sesuatu yang tak enak dalam dadanya. Ia berharap pertemuan ini hanya antara dirinya dan Santi, tetapi kehadiran Arman mengubah segalanya. Seketika kekecewaan terpancar dari wajah Reza.
"Selamat siang, Mas," sapa Santi saat sudah berdiri di hadapan Reza.
Santi tampak tenang meskipun situasi ini terasa tegang. Arman, di sisi lain, berdiri dengan sikap tenang namun waspada. Ia tahu ada sesuatu yang besar yang akan terjadi, dan kehadirannya di sini bukan tanpa alasan.
"Selamat pagi, silahkan duduk!" Suara Reza terdengar begitu dingin, ia terlihat tidak suka dengan kehadiran Santi bersama Arman.
Setelah ketiganya duduk, suasana menjadi sunyi. Tidak ada yang berani memulai percakapan, seolah-olah ketegangan di antara mereka terlalu pekat untuk ditembus. Namun, Reza akhirnya memecahkan keheningan dengan nada yang dingin, "Aku nggak nyangka kamu akan datang bersama Arman, Santi."
Santi menghela napas dan menatap Reza dengan tenang. "Aku pikir sudah saatnya semuanya terbuka, Mas. Nggak ada lagi yang perlu disembunyikan."
Reza menundukkan kepalanya sebentar, lalu mengangkat tatapannya, menatap Santi dengan mata penuh kekecewaan. "Aku kira kita sepakat bahwa setelah kamu melahirkan anak Arman, perjanjian ini akan selesai. Kamu akan meninggalkannya. Bukankah itu yang sudah kita sepakati?"
Reza melanjutkan dengan suara yang lebih tegas. "Apa kalian ingat, kita sudah menandatangani perjanjian itu. Kamu seharusnya bercerai dari Arman setelah anak itu lahir. Aku nggak ingin di sini hanya untuk melihatmu berpura-pura bahagia."
Santi dan Arman saling memandang. Di mata Arman, terlihat campuran perasaan; marah. Santi merasakan desakan di dalam dirinya untuk mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak tahu harus memulai dari mana.
Akhirnya, Santi berbicara dengan suara lembut namun tegas, "Mas, aku tahu apa yang kita sepakati, tetapi keadaan telah berubah. Aku mencintai Mas Arman, dan aku ingin tetap bersamanya. Kami punya keluarga sekarang, dan aku nggak mau menghancurkan itu."
Jawaban Santi membuat wajah Reza berubah merah padam. Ia merasa dikhianati, seolah-olah semua pengorbanan yang telah ia lakukan selama ini sia-sia. "Kamu berkhianat, Santi!" suaranya naik, penuh dengan kemarahan yang tertahan selama berbulan-bulan. "Aku menunggu selama ini, mengikuti perjanjian yang kita buat, dan sekarang kamu ingin mengingkari semuanya?"
Saat Reza dengan marah menuduh Santi berkhianat, Arman yang sudah lama menahan diri akhirnya tak bisa lagi membiarkan tuduhan itu berlalu begitu saja. Dengan nada tegas dan penuh emosi, Arman menyela, “Kalau Santi berkhianat, bagaimana dengan kamu, Reza? Bukankah kamu juga sudah berkhianat dengan membocorkan rahasia kita bertiga kepada Lestari?”
Saat itu, Reza berpikir bahwa tindakan tersebut akan menguntungkan dirinya—membuat hubungan Arman dan Lestari hancur sehingga ia bisa merebut kembali Santi. Namun, ternyata semuanya tidak berjalan sesuai rencananya.
Reza mencoba menahan emosinya dan membalas, “Aku nggak punya pilihan, Arman! Kau yang memulai ini semua dengan merebut Santi dari hidupku! Aku hanya berusaha mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Arman tertawa kecil, sinis, sembari menggelengkan kepala. “Kamu tahu, Reza, kalau memang seperti itu kenyataannya, seharusnya dari awal kamu nggak perlu menyusun rencana yang melibatkan perjanjian bodoh ini. Kamu nggak bisa menuduh orang lain berkhianat sementara kamu sendiri yang telah merusak semua kesepakatan. Santi nggak membohongi siapapun—tapi kamu, kamu yang telah menghancurkan segalanya demi ambisimu sendiri.”
Santi yang selama ini diam, akhirnya ikut angkat bicara. "Mas, sejak awal kita semua salah. Aku salah karena menyetujui perjanjian yang tak masuk akal ini. Tapi kamu juga salah karena terus memaksakan kehendakmu. Aku telah membuat pilihan, dan pilihanku adalah tetap bersama Mas Arman dan membesarkan Mandala, anak kami. Tolong berhenti memaksa, Mas. Ini nggak adil bagi siapa pun."
Reza yang masih berdiri tegak mulai merasa kehabisan kata-kata. Perasaan marah, kecewa, dan sakit hati bercampur menjadi satu. Ia merasa dikhianati oleh Santi, tetapi pada saat yang sama, ia juga menyadari bahwa dirinya lah yang telah memulai segalanya dengan membuka rahasia kepada Lestari. Dengan perlahan, keangkuhan di wajahnya mulai memudar, digantikan oleh rasa penyesalan yang mendalam. Namun, rasa sakit itu masih begitu kuat sehingga ia tak mampu mengucapkan permintaan maaf atau mengakui kesalahannya.
“Jadi ini akhirnya, ya?” tanya Reza dengan nada yang lebih tenang, meski ada rasa pahit dalam suaranya. “Kalian berdua sekarang bersatu, sementara aku ditinggalkan sendiri?”
Santi menatap Reza dengan penuh belas kasih. “Ini bukan tentang siapa yang ditinggalkan atau siapa yang bersatu, Mas. Ini tentang memilih apa yang benar untuk hidupku dan hidup Mandala. Aku nggak mau terus terjebak dalam perjanjian yang hanya mendatangkan kerugian untuk semua orang.”
Arman menambahkan, “Kita semua sudah cukup menderita karena kesalahan masa lalu. Sudah saatnya kita semua melangkah maju dan mencoba memperbaiki kehidupan kita masing-masing. Kalau kamu terus memaksakan hal ini, Reza, kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”
Reza diam, merenung sejenak. Meski kemarahan masih ada, ia tahu bahwa apa yang dikatakan Arman ada benarnya. Namun, sulit baginya untuk menerima bahwa Santi, wanita yang selama ini ia cintai, telah memilih orang lain. Perlahan-lahan, ia berdiri dari tempat duduknya. “Kalau begitu, aku pergi. Tapi jangan pernah berharap aku bisa melupakan ini dengan mudah.”
Tanpa kata-kata lebih lanjut, Reza meninggalkan kafe, meninggalkan Santi dan Arman dalam suasana yang campur aduk. Santi merasa lega, tetapi dibalik itu, ada perasaan sedih karena ia tahu hubungan mereka bertiga tak akan pernah kembali seperti dulu. Namun, ia juga sadar bahwa keputusan ini adalah yang terbaik—bagi dirinya, Arman, dan terutama bagi Mandala.
Setelah kepergian Reza, Arman menggenggam tangan Santi dengan erat. “Kita sudah melewati banyak hal. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu dan Mandala.”
Santi tersenyum, menatap Arman dengan perasaan lega. “Aku tahu, Mas. Terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku juga akan selalu berjuang untuk kita.”
Keduanya pun keluar dari kafe itu, meninggalkan masa lalu yang penuh konflik di belakang mereka, siap untuk memulai kehidupan baru sebagai keluarga yang utuh. Meskipun bayangan Reza mungkin masih akan menghantui, Santi yakin bahwa bersama Arman, ia telah membuat keputusan yang benar.