Beberapa bulan berlalu, kehidupan Arman dan Santi perlahan mulai berubah. Proses perceraian antara Arman dan Lestari sudah berjalan, dan meskipun terasa berat, akhirnya hubungan pernikahan itu akan segera berakhir. Sementara itu, Arman mulai menjalani kehidupannya bersama Santi, mencoba membangun keluarga kecil yang bahagia. Setiap hari terasa seperti awal yang baru, penuh harapan dan cita-cita untuk masa depan. Santi yang sedang hamil, semakin dekat dengan hari kelahiran anak mereka, merasakan campuran perasaan antara kebahagiaan dan kekhawatiran.
"Santi, bagaimana kalau hari ini kita membeli perlengkapan bayi. Sebentar lagi kamu akan melahirkan, dan aku rasa kita pasti membutuhkan beberapa perlengkapan bayi," ucap Arman saat baru saja menikmati makan siangnya.
"Kamu benar, Mas. Kalau gitu, aku ke kamar dulu mengambil tas." Lestari segera berdiri dari tempat duduknya, ia segera meninggalkan meja makan dan berjalan ke arah kamarnya.
Setelah bersiap-siap, keduanya akhirnya pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di pusat kota. Arman dan Santi terlihat begitu sibuk memilih barang-barang terbaik untuk calon anak mereka.
"Bagaimana jika kita membeli ini?" tanya Arman sambil menunjukkan sebuah box bayi.
"Bagus, Mas. Sepertinya itu akan sangat berguna buat anak kita," jawab Santi sambil tersenyum.
Beberapa jam berlalu, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Arman dan Santi beristirahat setelah seharian penuh aktivitas. Santi yang perutnya semakin membesar sering kali merasakan lelah yang lebih. Ia tak bisa bergerak dengan bebas, dan setiap malam rasa nyeri di punggungnya semakin kuat. Tapi malam itu berbeda. Di tengah tidurnya yang tidak terlalu lelap, Santi tiba-tiba merasakan sakit yang begitu hebat di perutnya. Ia menggeliat dan menggenggam perutnya dengan kuat, mencoba menahan rasa sakit yang terus meningkat.
Rasa sakit itu tidak seperti nyeri biasa yang sering ia rasakan selama kehamilan. Ini jauh lebih intens dan datang dengan gelombang yang semakin sering. Santi mencoba bangun, tetapi tubuhnya terasa lemah, dan ia hampir tidak bisa bergerak dari tempat tidur. Ia merintih kesakitan, dan suara lirihnya membangunkan Arman yang tertidur di sebelahnya. Arman segera terbangun dengan wajah panik saat mendengar erangan Santi.
“Santi? Kamu kenapa?” Arman berkata dengan nada cemas, sambil memegang tangan Santi.
Santi mencoba menjawab, tetapi rasa sakit itu terlalu hebat hingga membuatnya sulit berbicara. "Mas... aku... sakit sekali... aku rasa... waktunya sudah tiba..." gumam Santi dengan suara terputus-putus. Arman menyadari bahwa ini adalah saat persalinan yang telah mereka nanti-nantikan, namun rasa takut dan cemas segera menguasai pikirannya.
Arman segera bangkit dari tempat tidur dan berlari ke kamar Bi Ijah untuk meminta bantuannya. "Bi, Santi mau melahirkan! Kita harus segera ke rumah sakit!" teriaknya dengan nada panik.
Tanpa menunggu lama, Bi Ijah segera membantu Arman menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Sementara itu, Arman berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia merasakan kekhawatiran mendalam melihat Santi yang terus merintih kesakitan di tempat tidur. Setelah semua persiapan selesai, mereka bergegas membawa Santi ke rumah sakit dengan mobil.
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang bagi Arman. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin cemas. Ia tak henti-hentinya melirik ke arah Santi yang duduk di kursi penumpang bersama Bi Ijah sambil memegang perutnya. Santi berusaha menahan rasa sakitnya, tetapi Arman bisa melihat betapa sulitnya situasi ini bagi wanita yang ia cintai.
"Santi, kamu bertahan sebentar ya. Kita akan segera tiba di rumah sakit," ucap Arman dengan pandangan fokus pada jalanan yang ada di hadapannya.
Setibanya di rumah sakit, para perawat segera membawa Santi ke ruang bersalin. Arman mengikuti di belakang dengan langkah tergesa-gesa, sementara dokter dan tim medis segera mempersiapkan segala hal untuk persalinan. Arman berdiri di luar ruang persalinan, tak bisa berhenti berdoa agar semuanya berjalan lancar. Saat itu, perasaan takut, cemas, dan harapan bercampur aduk dalam pikirannya.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Arman duduk di ruang tunggu dengan jantung yang terus berdegup kencang. Pikiran buruk tentang kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan terus menghantui benaknya. Namun, ia berusaha tetap berpikir positif dan mempercayakan segalanya kepada tim medis yang sedang berusaha membantu Santi.
Setelah beberapa jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang persalinan dengan senyum di wajahnya. "Selamat, Pak Arman. Istri Anda melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat," kata dokter itu dengan ramah.
Arman merasa seolah beban berat yang selama ini menindih dadanya terangkat. Matanya berkaca-kaca, dan tanpa sadar ia tersenyum lebar. Perasaan bahagia yang tak bisa dijelaskan meluap dalam hatinya. "Boleh saya melihat mereka?" tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter mengangguk dan mengantarnya ke dalam ruang persalinan. Di sana, Santi terbaring di tempat tidur, tampak lelah tetapi bahagia. Di pelukannya, bayi laki-laki yang baru saja lahir, tampak begitu mungil dan rapuh. Arman mendekati mereka, hatinya penuh dengan rasa syukur dan cinta.
"Dia mirip kamu," bisik Santi dengan senyum lemah, sambil memandang wajah bayi mereka.
Arman menatap anak mereka dengan perasaan haru. Wajah bayi itu memang mirip dirinya, dengan mata yang besar dan pipi yang bulat. Arman merasa seolah melihat dirinya sendiri dalam versi yang lebih kecil. "Dia sempurna," kata Arman dengan suara bergetar.
Arman duduk di samping Santi, memegang tangannya sambil menatap anak mereka. Rasa bahagia itu begitu besar, hingga untuk sesaat ia bisa melupakan semua masalah yang pernah mereka hadapi. Kehadiran bayi ini seolah menjadi tanda awal dari lembaran baru dalam kehidupan mereka. Kini, mereka bukan hanya pasangan, tetapi juga orang tua. Sebuah tanggung jawab besar menanti mereka, tetapi Arman yakin mereka bisa melalui semua itu bersama-sama.
Santi menatap Arman dengan perasaan cinta yang mendalam. "Terima kasih sudah bersamaku selama ini," katanya dengan lembut. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi tanpa kamu di sisiku."
Arman tersenyum, lalu mencium tangan Santi dengan penuh kasih sayang. "Aku yang harusnya berterima kasih, Santi. Kamu sudah memberiku keluarga yang tak pernah kubayangkan sebelumnya."
Malam itu, di rumah sakit, Arman dan Santi merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Meskipun mereka tahu bahwa kehidupan mereka masih penuh dengan tantangan, kehadiran anak mereka memberikan mereka kekuatan dan harapan baru. Bayi laki-laki yang baru saja lahir itu adalah simbol dari cinta mereka yang kini telah tumbuh dan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat.
Arman menatap anaknya dengan penuh cinta. Dalam hatinya, ia berjanji akan menjadi ayah yang baik, dan meskipun masa lalu mereka penuh dengan kesalahan dan kebohongan, ia bertekad untuk memperbaiki segalanya dan memberikan kehidupan yang bahagia bagi keluarga kecilnya.