Bab 12. Kecurigaan

1879 Words
Santi duduk di tepi ranjang kamarnya, tatapannya kosong, dan pikirannya penuh dengan kepedihan. Gaun yang dikenakannya kini terasa seperti beban yang menekan tubuhnya. Di dalam cermin, ia melihat sosoknya sendiri, tampak anggun dan cantik, namun di balik penampilan itu, ia merasa hancur. Semua yang ia hargai tentang dirinya seakan hilang, lenyap bersama keputusan yang terpaksa ia ambil. Perlahan, Santi menarik napas dalam-dalam, tapi rasa sesak di dadanya tidak kunjung reda. Ia merasa kotor, seolah-olah gaun mewah yang membalut tubuhnya adalah simbol dari kehancuran harga dirinya. Setiap inci pakaian itu mengingatkannya pada pengorbanan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi—perasaan dikhianati oleh suaminya dan dipaksa menjalani sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip hidupnya. “Apakah ini benar-benar aku sekarang?” gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di ruangan yang sunyi. “Aku nggak lagi merasa seperti diriku sendiri.” Tangannya menyentuh kain halus dari gaun itu, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia merasakan dirinya semakin terpuruk dalam kehampaan dan kegelapan. Semua yang ia impikan dan perjuangkan bersama Reza seolah-olah telah runtuh begitu saja, meninggalkan luka yang sulit untuk disembuhkan. Santi terdiam, tenggelam dalam perasaan bersalah, marah, dan kehilangan. Meski hatinya ingin melawan, ia tahu bahwa pilihan yang ada di depannya sudah terbatas. Harga dirinya mungkin sudah hancur, tapi ia berharap, entah bagaimana, ia bisa menemukan jalan keluar dari semua ini. Namun, malam ini, ia hanya bisa pasrah. Reza yang penasaran dengan keadaan Santi dan merasa bersalah, memutuskan untuk menemui istrinya di kamar. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melihat Santi duduk di tepi ranjang, masih mengenakan gaun yang dipakainya malam sebelumnya. Wajah Santi tampak lelah, dan matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Reza duduk di sampingnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia telah membawa Santi ke dalam situasi ini, tapi kini ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Santi dan Arman. "Santi ..." Reza mulai dengan suara pelan, mencoba mencari tatapan istrinya. "Aku hanya ingin tahu ... apa yang terjadi semalam? Apa Arman melakukan sesuatu padamu?" Santi tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak, matanya tetap menatap ke depan, seolah-olah masih terperangkap dalam bayangan malam itu. Butuh beberapa detik sebelum ia menarik napas panjang, lalu dengan suara yang lemah dan penuh luka, ia menjawab. "Semua terjadi begitu cepat, Mas ..." suaranya gemetar, dan Reza bisa merasakan perihnya. "Aku tidak ingin ingat, tidak ingin membicarakannya. Yang jelas, aku merasa hancur, aku merasa ... seperti kehilangan diriku sendiri." Mendengar itu, Reza merasa dadanya semakin sesak. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi antara Santi dan Arman adalah hasil dari keputusan yang terpaksa mereka ambil. Namun, sekarang mendengarnya langsung dari Santi membuatnya merasa lebih bersalah. "Santi ... aku minta maaf," kata Reza dengan penuh penyesalan. "Aku tahu semua ini salah. Aku hanya ... aku hanya ingin kita keluar dari kesulitan ini. Tapi aku nggak pernah berpikir seberapa besar luka yang akan kau rasakan." Santi akhirnya menatap Reza, matanya berkaca-kaca. "Ini bukan hanya soal uang atau kesulitan, Mas. Ini tentang bagaimana aku merasa nggak ada lagi yang tersisa untukku. Harga diriku, martabatku ... semuanya hilang." Reza tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa duduk di samping Santi, merasakan keheningan yang berat dan penuh dengan rasa bersalah serta penyesalan. Beberapa saat setelah keheningan yang mencekam, Santi perlahan bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Langkahnya lemah, seolah-olah tubuhnya terlalu berat untuk digerakkan, tapi sebelum ia benar-benar menjauh dari Reza, ia menghentikan langkahnya di pintu. Santi menoleh ke arah Reza, matanya penuh dengan kelelahan dan kepasrahan. Suaranya pelan, namun terdengar tegas, seperti seseorang yang sudah menerima nasib yang tak bisa dihindari. "Mulai malam ini, aku akan tinggal di rumah yang disediakan oleh Arman," katanya dengan nada dingin yang membuat hati Reza semakin tenggelam dalam rasa bersalah. "Arman sudah menyiapkan semuanya, termasuk rumah itu. Dan ... dia juga akan mengirimkan uang yang dijanjikan ke rekeningmu." Reza terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kalimat itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya. Meski ia sudah tahu dari awal bahwa ini adalah bagian dari kesepakatan, mendengar Santi mengucapkannya dengan dingin membuatnya menyadari betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan istrinya. Pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan akan menghancurkan segalanya, termasuk cinta dan kepercayaan di antara mereka. Santi tidak menunggu jawaban. Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Reza hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, sementara dadanya terasa sesak oleh perasaan bersalah yang tak terhingga. Semua yang ia lakukan demi uang kini berbalik menjadi kehancuran bagi rumah tangganya. Di dalam kamar mandi, Santi berdiri di bawah kucuran air shower yang mengalir deras, mencoba menenangkan diri dari segala kepedihan yang telah menumpuk di dalam hatinya. Air yang mengalir di atas kepalanya seperti tak mampu menghapus rasa sakit yang mendalam, namun di sanalah, di bawah gemericik air, ia akhirnya membiarkan semua yang selama ini ia tahan terlepas. Air mata yang selama ini ia coba sembunyikan akhirnya pecah. Isakannya terdengar pelan di antara suara air, namun rasa sakit di dadanya begitu nyata. "Kenapa ini harus terjadi padaku?" bisiknya lirih, suaranya bergetar di antara tangisan. "Apa salahku? Kenapa kalian menghancurkan hidupku seperti ini?" Santi membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu mengalir, meskipun ia tahu tak ada jawaban yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Arman, dengan kekuatannya, dan Reza, dengan ketidakberdayaannya, telah membuat keputusan yang membawanya pada situasi ini. Keduanya telah mengabaikan perasaannya, memandangnya sebagai sesuatu yang bisa dipertukarkan demi uang dan kekuasaan. "Aku nggaj pantas diperlakukan seperti ini!" serunya pelan, suaranya terdengar getir dan penuh kemarahan. "Aku bukan barang yang bisa dibeli. Aku bukan ... mainan kalian!" Namun, meskipun ia marah, kecewa, dan merasa direndahkan, Santi sadar bahwa jalan yang ia tempuh kini sudah tidak bisa lagi diubah. Reza dan Arman telah menempatkannya dalam situasi yang tak terelakkan, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah bertahan dan mencoba menemukan kembali kekuatannya di tengah kehancuran ini. Tangisannya semakin keras, mencerminkan kepedihan dan kekecewaan yang begitu mendalam. Setiap tetes air yang mengalir di tubuhnya seolah membawa sedikit beban emosinya, meski ia tahu rasa sakit ini tidak akan cepat hilang. Di bawah air yang mengalir, Santi akhirnya melepaskan semua yang selama ini ia pendam—semua ucapan yang tak pernah bisa ia sampaikan pada Reza atau Arman. Ini adalah saat di mana ia sepenuhnya jujur pada dirinya sendiri, menerima luka yang menggerogoti hati dan harga dirinya. Namun, meski air mata terus mengalir, ada bagian dari dirinya yang bertekad untuk bertahan, untuk menemukan kekuatan di tengah rasa sakit yang membelenggu. Meskipun dunia telah berubah menjadi gelap, Santi tahu bahwa ia harus tetap berdiri, apapun yang terjadi. Malam itu, suasana di ruang tamu terasa sunyi dan tegang. Santi duduk di sofa, mengenakan gaun malam yang disiapkan oleh Arman, menunggu dengan perasaan bercampur aduk. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia mendengar suara dari luar, berharap sekaligus takut akan kedatangan supir Arman. Ruangan yang biasanya hangat kini terasa dingin dan hampa, mencerminkan hatinya yang dipenuhi dengan kepedihan dan kehampaan. Di meja kecil di depannya, secangkir teh yang ia buat sendiri sudah mendingin, tak tersentuh. Santi memandang kosong ke arah cangkir itu, tapi pikirannya melayang jauh, memikirkan apa yang akan terjadi malam ini. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa mengikuti permainan yang bukan pilihannya. Semua perasaan marah, kecewa, dan hancur yang ia tahan sejak siang tadi terasa semakin menyesakkan d**a. “Ini semua demi masa depan kita,” gumamnya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski kata-kata itu terasa hampa. Reza berdiri tak jauh darinya, menatap istrinya dengan perasaan bersalah yang begitu dalam. Ia tahu ini semua salah, namun ia merasa sudah tidak punya pilihan lagi. Mereka butuh uang, dan ia sudah terlalu dalam terjerat dalam kesepakatan dengan Arman. Namun, setiap kali ia melihat Santi malam ini, ia merasakan kesedihan yang sulit digambarkan. “Kau … baik-baik saja?” tanya Reza pelan, meski ia tahu jawabannya. Santi tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Reza sebentar, lalu menghela napas panjang. “Apa yang bisa ku katakan, Mas?” jawabnya dengan suara yang datar. “Aku hanya ingin ini segera selesai.” Reza menunduk, tidak mampu menatap istrinya lebih lama. Ia tahu bahwa kata-kata apapun sekarang tak akan mampu mengubah apapun. Semua sudah terjadi, dan mereka berdua harus menghadapi konsekuensi dari keputusan-keputusan yang telah diambil. Tidak lama kemudian, suara mobil terdengar mendekat dari luar. Jantung Santi berdetak semakin kencang, ia tahu itulah saatnya. Supir Arman telah tiba untuk menjemputnya. Santi berdiri perlahan, tangannya sedikit gemetar, namun ia mencoba untuk tetap tenang. Reza tidak bisa berkata apapun lagi, hanya bisa melihat ketika istrinya berjalan menuju pintu. Di dalam hatinya, Reza berharap ada jalan lain, namun kenyataannya mereka sudah terlalu jauh untuk berbalik. “Jaga dirimu,” ucap Reza dengan suara pelan saat Santi melangkah keluar. Santi berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh sedikit ke belakang, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan keluar menuju mobil yang sudah menunggu. Di luar, Handoko, supir Arman, membuka pintu mobil untuknya. Dengan langkah yang penuh keraguan, Santi masuk ke dalam mobil, dan beberapa detik kemudian, mobil melaju pergi, meninggalkan Reza yang berdiri sendirian di ambang pintu, tenggelam dalam perasaan bersalah yang semakin dalam. Keesokan paginya, Marni, pemilik kontrakan, mengetuk pintu rumah Reza. Dengan wajah penasaran, Marni masuk ke ruang tamu, menanyakan keberadaan Santi. Ia merasa aneh karena tidak melihat Santi keluar rumah seperti biasanya pagi itu. "Reza, di mana Santi? Biasanya pagi-pagi sudah di luar, bersih-bersih halaman. Apa dia sakit?" tanya Marni sambil menatap Reza dengan cemas. Reza yang saat itu tengah duduk di sofa terkejut mendengar pertanyaan Marni. Ia tidak menyangka pertanyaan seperti ini akan muncul begitu cepat. Jantungnya berdegup kencang, mencoba memikirkan alasan yang masuk akal tanpa membongkar rahasia yang sudah ia simpan rapat-rapat. Wajahnya tegang, tapi ia berusaha terlihat tenang. "Oh, Santi ... dia pergi sebentar, Bu. Ada urusan mendadak," jawab Reza dengan nada yang sedikit ragu. Marni mengerutkan kening, merasa jawaban itu tidak cukup. "Urusan apa, Za? Kok mendadak banget? Biasanya dia kasih tahu kalau pergi jauh." Reza merasa semakin terpojok. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia tidak bisa membiarkan Marni tahu kebenarannya. Jika sampai rahasia tentang kesepakatannya dengan Arman terbongkar, bukan hanya hidupnya yang akan berantakan, tapi juga kehidupan Santi. "Dia ... ada saudara jauhnya yang sakit, jadi harus buru-buru pergi ke luar kota untuk menjenguk," jawab Reza, kali ini dengan sedikit lebih percaya diri. Marni menatap Reza dengan tatapan curiga, namun tidak langsung menanggapi. "Saudara jauh? Kok nggak pernah dengar cerita Santi soal saudaranya yang sakit." Reza mulai panik, tapi ia tahu ia harus tetap tenang. "Ya, ini saudara yang memang jarang berhubungan, Bu. Tapi karena sakitnya parah, jadi Santi nggak punya pilihan selain pergi." Marni masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Kalau begitu, semoga saudaranya cepat sembuh. Aku cuma khawatir karena biasanya Santi selalu cerita kalau ada apa-apa." Reza tersenyum kaku, lega karena Marni tampaknya mulai menerima jawabannya. "Iya, aku juga berharap begitu. Nanti kalau Santi sudah pulang, aku kasih tahu dia kalau Ibu nyariin." Setelah berbincang sebentar, Marni akhirnya pamit pergi. Namun, setelah pintu tertutup, Reza langsung merasa lelah dan tertekan. Kebohongan yang ia buat tadi semakin menambah beban di hatinya. Setiap kali seseorang menanyakan keberadaan Santi, ia harus terus menciptakan alasan baru, dan hal itu mulai menggerogoti pikirannya. Reza menghela napas panjang, merasa semakin terjebak dalam kebohongan yang ia buat sendiri. Di satu sisi, ia berusaha melindungi rahasianya dari Marni dan orang-orang sekitar, namun di sisi lain, ia tahu bahwa situasi ini tidak akan bisa bertahan lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD