Bab 3. Kecurigaan Lestari

1450 Words
Saat sore hari tiba dan Reza akhirnya pulang dari kantor, Santi segera menyambutnya dengan penuh harapan. Sejak pagi, ia telah menunggu dengan cemas, berharap mendengar kabar baik tentang pinjaman yang sangat diperlukan untuk membayar rumah kontrakan mereka. Santi mendekati Reza dengan tatapan penuh pertanyaan. “Mas, bagaimana? Apakah kamu sudah mendapatkan pinjaman? Kita sangat membutuhkan uang itu untuk menyelesaikan masalah kita,” tanyanya dengan nada penuh harapan. Reza, yang merasa berat dengan situasi yang dihadapinya, memutuskan untuk merahasiakan syarat-syarat yang diajukan Arman. Ia tahu betapa beratnya beban yang harus ditanggung Santi jika ia mengetahui seluruh kebenaran. Dengan usaha keras, ia mencoba untuk terlihat tenang dan memberikan jawaban yang membuat Santi merasa lebih baik. “Belum, Santi,” jawab Reza dengan lembut, berusaha menahan kegelisahan di dalam dirinya. “Tidak ada yang bisa memberikan pinjaman kepadaku." Arman menunduk merasa bersalah. "Lalu bagaimana, apa yang akan kita katakan pada Bu Marni?" tanya Santi dengan rasa ketakutan. Reza mencoba untuk memberikan jawaban yang membuat Santi merasa nyaman. “Kamu tenang saja, aku akan usahakan sampai aku bisa mendapatkan pinjaman untuk membayar sewa rumah ini." Santi mengangguk, tampak lebih tenang dan bahagia. Ia memeluk Reza dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Mas. Aku tahu semua ini tidak mudah, dan aku sangat menghargai segala usaha yang kau lakukan.” Reza memeluk balik Santi, berusaha menunjukkan dukungannya meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa meskipun ia telah menyembunyikan kebenaran, Santi akhirnya akan mengetahui situasi sebenarnya. Namun, untuk saat ini, ia hanya ingin Santi merasa lega dan bahagia dengan berita baik yang ia sampaikan. Setelah itu, mereka duduk bersama untuk makan malam, berusaha melupakan sejenak semua ketegangan dan kecemasan yang melingkupi mereka. Reza tahu bahwa keputusan besar masih harus diambil dan tantangan besar menunggu di depan, tetapi untuk malam ini, ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan sederhana bersama Santi. *** "Santi, Reza! Cepat keluar kalian." Seseorang berteriak dari luar rumah. Ketika Reza membuka pintu, ia melihat dua pria berpakaian formal yang tampak serius. Mereka membawa map dan dokumen, menunjukkan bahwa mereka datang dengan tujuan tertentu. “Saya Reza,” kata Reza dengan nada tegang, berusaha menjaga ketenangan. “Ada yang bisa saya bantu?” Salah satu debt collector, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah serius, berkata, “Kami datang untuk menagih pembayaran utang motor Anda. Kami telah mengirimkan beberapa pemberitahuan, namun sepertinya tidak ada respons dari pihak Anda.” Reza merasakan hatinya berdebar. Ia sudah menduga bahwa masalah keuangan mereka akan muncul lebih cepat dari yang diharapkan, tetapi kedatangan debt collector ini tetap mengejutkan. Ia mencoba untuk menjelaskan situasinya. “Maaf, kami mengalami beberapa masalah keuangan, dan kami sedang menunggu pinjaman yang akan segera kami terima,” jelas Reza dengan nada meminta pengertian. “Kami akan segera membayar hutang ini begitu dana kami cair.” Debt collector itu tetap serius. “Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika pembayaran tidak dilakukan segera, kami akan terpaksa mengambil langkah hukum untuk mengeksekusi pembayaran tersebut.” Santi, yang mendengar percakapan tersebut dari dalam rumah, segera datang dengan wajah khawatir. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan cemas, melihat dua orang debt collector di depan pintu. Reza menjelaskan situasinya kepada Santi, yang tampak semakin gelisah. “Mereka datang untuk menagih utang. Aku sudah menjelaskan bahwa kita sedang menunggu pinjaman, tapi sepertinya mereka tidak bisa menunggu lebih lama.” Santi menggenggam tangan Reza, berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus kita lakukan, Mas?” Reza merasakan beban berat di pundaknya. “Aku akan berbicara dengan mereka lebih lanjut dan mencoba mencari solusi. Aku juga akan mencoba menemui bosku di rumahnya, semoga saja dia mau memberikan pinjaman kepada kita.” Dengan rasa cemas yang menggelayuti, Reza berusaha menjelaskan lebih lanjut kepada debt collector, berharap mereka bisa memberi mereka sedikit waktu tambahan. Sementara itu, Santi duduk di ruang tamu dengan penuh kekhawatiran, menunggu kabar baik dari Reza dan berharap agar masalah ini segera terselesaikan. "Bagaimana, Mas?" tanya Santi saat Reza masuk ke dalam rumah. Sambil duduk di sofa. "Mereka mau memberi waktu satu minggu kepada kita, tapi jika sampai satu minggu kedepan kita nggak bisa membayar uang itu … maka motor kita akan diambil secara paksa." Wajah Santi langsung berubah murung. Ia tidak menyangka jika permasalahan mereka semakin pelik. Sambil mengenakan jaketnya. "Santi, aku pergi dulu. Kamu jaga rumah baik-baik." Pesan Reza yang segera meninggalkan rumahnya. *** "Pak Arman ada di rumah?" tanya Reza yang baru saja tiba di rumah Arman. suaranya sedikit bergetar, meskipun dia berusaha menyembunyikan kegugupannya. Pelayan itu mengangguk dan mempersilakan Reza masuk ke dalam. Langkah-langkahnya terasa berat saat dia melangkah melewati pintu gerbang besar itu, masuk ke dalam rumah yang terlihat jauh lebih megah dari yang pernah dia bayangkan. Setiap sudut rumah itu memancarkan kemewahan—sesuatu yang tak mungkin bisa dia miliki dalam hidupnya yang sekarang. Tak lama kemudian, Arman muncul di ruang tamu. Dia mengenakan pakaian santai, namun tetap terlihat berwibawa. Tatapan matanya tajam, seolah-olah dia sudah tahu apa yang membawa Reza ke rumahnya malam itu. "Reza," sapanya dengan senyuman kecil di sudut bibirnya. "Kamu akhirnya datang." Reza merasa seluruh tubuhnya menegang. Dia tahu bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa. Arman sudah menunggu kesempatan ini—dan Reza datang ke sini dengan keputusasaan yang tak terbantahkan. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arman, suaranya tenang namun penuh makna. Reza menunduk, berusaha merangkai kata-kata dalam pikirannya. "Pak Arman ... saya ... butuh bantuan. Utang motor saya sudah menunggak, dan debt collector sudah datang menagih. Saya sudah mencoba meminjam uang dari beberapa teman, tapi tidak ada yang bisa membantu." Arman mengangguk pelan, seolah memahami sepenuhnya situasi yang sedang dihadapi Reza. "Aku bisa mengerti betapa sulitnya keadaanmu saat ini, Reza. Tapi aku ingin tahu, apakah kamu sudah mempertimbangkan tawaranku?" Reza terdiam, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Inilah saat yang ia hindari selama ini, namun sekarang dia berada di sini, di depan Arman, tanpa ada pilihan lain. "Saya ... saya sudah memikirkannya, Pak. Tapi ini bukan keputusan yang mudah," kata Reza pelan. "Saya tidak tahu apakah saya bisa melakukan itu pada Santi." Arman memandang Reza dengan sorot mata yang sulit diartikan. Dia kemudian duduk di kursi di hadapannya, menyilangkan kakinya dengan tenang. "Reza, aku paham bahwa ini adalah hal yang sulit. Tapi lihatlah keadaanmu sekarang. Kamu butuh uang, keluargamu butuh uang, dan aku bisa memberikan itu dengan mudah. Yang perlu kamu lakukan hanyalah setuju dengan kesepakatan kita." Reza merasakan tenggorokannya mengering. Kata-kata Arman begitu sederhana, namun dampaknya begitu dalam. Dia tahu bahwa jika dia menerima tawaran ini, hidupnya dan hidup Santi tidak akan pernah sama lagi. Tapi di sisi lain, dia tidak bisa membiarkan keluarganya tenggelam dalam utang yang tak kunjung usai. "Tapi ... bagaimana dengan Santi?" tanya Reza, suaranya penuh kebimbangan. Arman tersenyum tipis. "Santi tidak perlu tahu detailnya. Yang penting adalah kamu dan dia bisa keluar dari kesulitan ini. Aku akan menjaga semuanya tetap profesional, dan setelah itu, kamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya untuk dirimu, tapi juga untuk istrimu." Kata-kata itu terngiang di telinga Reza. Kehidupan yang lebih baik. Sesuatu yang selalu dia impikan untuk Santi. Namun, dia juga tahu bahwa harga yang harus dibayarnya sangat mahal. Reza menatap Arman, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya. Waktu seolah berhenti, dan di saat itulah Reza tahu bahwa pilihannya akan mengubah segalanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Reza menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya. "Saya akan membicarakan ini dengan Santi," jawabnya dengan suara bergetar. Arman mengangguk dengan penuh pengertian. "Baiklah, Reza. Bicaralah dengan istrimu. Aku tidak akan memaksa, tapi ingat, tawaranku tidak akan selalu ada." Saat percakapan antara Reza dan Arman mulai meresapi udara malam yang dingin, tiba-tiba langkah kaki terdengar mendekat. Reza yang tengah menunduk, terkejut mendengar suara hak sepatu yang menggema di lantai marmer rumah Arman. Dia tidak mengangkat kepalanya, tetapi tahu persis siapa yang akan muncul. Lestari, istri Arman, berjalan mendekat dengan tatapan penasaran di wajahnya. Wajah cantiknya terlihat dingin, seolah selalu menjaga jarak dari percakapan apa pun yang tidak melibatkan dirinya secara langsung. Namun, kali ini dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Ada apa di sini?" tanya Lestari, matanya berpindah-pindah dari Arman ke Reza yang duduk gelisah. "Tawaran apa yang sedang kalian bicarakan?" Pertanyaan itu jatuh seperti batu ke dalam air yang tenang, menghancurkan suasana di antara mereka. Reza terdiam, rasa bersalah dan cemas menghantamnya, sementara Arman, dengan sikap yang jauh lebih tenang, mencoba menjaga ekspresinya agar tetap tenang. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa mengabaikan pertanyaan Lestari begitu saja. Arman segera berdiri, menyambut istrinya dengan senyuman tipis yang tampak penuh perhitungan. "Tidak ada yang penting, Sayang. Reza hanya datang untuk berbicara tentang masalah pribadi yang dia alami. Dia membutuhkan sedikit bantuan." Namun, Lestari tidak semudah itu dibujuk. Dia mengernyitkan dahi, menatap suaminya dengan tatapan tajam. "Bantuan apa? Dan tawaran apa yang baru saja kamu sebut?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD