Bab 2. Tawaran Yang menggiurkan

1550 Words
Sesampainya di kantor, Reza segera mencari Rudi, sahabatnya yang sudah lama bekerja di sana. Setelah menemukan Rudi di ruangannya, Reza langsung menyampaikan niatnya untuk meminjam uang. "Rud, aku butuh bantuanmu. Aku sedang ada masalah keuangan, dan butuh pinjaman untuk bayar rumah kontrakan," kata Reza, berharap sahabatnya bisa membantunya. Namun, Rudi hanya bisa menggeleng pelan. "Maaf, Za. Aku benar-benar ingin bantu, tapi saat ini aku juga lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga lagi tipis," jawab Rudi dengan wajah penuh penyesalan. Reza berusaha tersenyum, meski hatinya sedikit kecewa. “Ya, nggak apa-apa, Rud. Aku paham kok. Terima kasih, ya.” Meskipun tak berhasil mendapatkan pinjaman, Reza mencoba tetap berpikir positif. Ia tahu bahwa masih ada cara lain untuk mengatasi masalahnya. Di saat ia duduk termenung tiba-tiba, pikiran Reza tertuju pada bagian admin perusahaan tempatnya bekerja. Mungkin saja perusahaan bisa memberikan pinjaman tambahan. Dengan harapan itu, Reza langsung menuju ke ruangan admin dan berbicara dengan petugas yang bertanggung jawab. “Bu, saya ingin mengajukan permohonan pinjaman lagi. Saya benar-benar butuh untuk urusan rumah,” ujar Reza dengan nada memohon. Namun, wajah petugas admin tampak penuh keraguan. “Maaf, Pak Reza. Saya sudah cek data keuangan Bapak, dan sayangnya, perusahaan tidak bisa memberikan pinjaman lagi saat ini. Hutang Bapak sudah cukup besar, dan harus dilunasi dulu sebelum mengajukan pinjaman baru.” Reza menghela napas panjang. Jawaban itu benar-benar mematahkan harapannya. Ia mengangguk pelan, mengucapkan terima kasih, lalu meninggalkan ruangan dengan perasaan berat. Semua jalan sepertinya buntu, dan ia harus segera menemukan solusi lain untuk mengatasi masalah keuangan yang menumpuk ini. Di saat yang bersamaan Arman, pengusaha sukses sekaligus bos Reza, menatapnya dengan penuh perhatian dari kejauhan. Yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk menghampiri Reza yang sedang berjalan di lobby kantor. "Reza, ada apa? Sepertinya ada hal yang mengganggu pikiranmu," tanya Arman dengan rasa penasaran. Reza merasa bingung apakah harus menceritakan masalah yang sedang dihadapinya atau tidak, tapi melihat kepedulian di wajah Arman, ia akhirnya memutuskan untuk membuka diri. “Jujur, Pak, saya sedang ada masalah keuangan. Saya sudah coba pinjam uang dari beberapa orang, tapi sepertinya tidak ada jalan keluar,” ungkap Reza dengan nada lirih. Arman mengangguk pelan, tampak berpikir. "Kamu tahu, Reza, setiap masalah pasti ada solusinya. Mungkin ini waktunya kamu berpikir lebih luas. Coba kita duduk bersama di ruanganku, siapa tahu aku bisa membantumu." Ucapan Arman memberikan sedikit harapan pada Reza. Meski masalahnya masih belum terpecahkan, setidaknya ada kemungkinan solusi baru terbuka. Arman tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada pemikiran yang berbeda. Kesulitan Reza bisa menjadi peluang baginya. Arman tahu betul bahwa Reza sedang terdesak, dan ini bisa dimanfaatkannya untuk mendapatkan sesuatu yang sudah lama diinginkan. Dalam hatinya, Arman berpikir, "Ini kesempatan yang bagus. Jika aku bantu dia sekarang, aku bisa memintanya untuk melakukan apapun yang aku butuhkan di kemudian hari. Dia pasti tak punya pilihan lain." Namun, di depan Reza, Arman tetap menunjukkan sikap tenang dan penuh empati. "Kita bisa bicarakan ini lebih lanjut nanti setelah kita ada di ruangan saya, Reza. Mungkin ada cara lain untuk membantu kamu keluar dari situasi ini," katanya sambil menepuk bahu Reza. Setibanya di ruangannya, Arman langsung meminta Reza untuk duduk. Suasana di ruangan itu terasa serius dan penuh ketegangan. Arman, yang duduk di belakang mejanya dengan ekspresi dingin, membiarkan keheningan mengisi ruangan selama beberapa saat. Reza, yang sudah terbiasa dengan suasana tegang ini, duduk dengan canggung, menunggu perintah selanjutnya. Akhirnya, Arman mulai berbicara, suaranya terasa berat dan penuh beban. "Reza," katanya, "sudah lama aku ingin berbagi sedikit tentang kehidupan pribadiku denganmu." Reza menatap Arman dengan penuh perhatian, berusaha membaca ekspresi wajahnya. Arman melanjutkan, "Lestari, istriku, dan aku telah menikah hampir sembilan tahun. Selama waktu itu, kami berusaha keras untuk memiliki anak. Kami telah mencoba berbagai cara, dari pengobatan medis hingga terapi, namun hasilnya selalu nihil." Arman berhenti sejenak, seolah mencoba menahan emosinya. "Kami sangat ingin memiliki anak, tetapi hingga kini, Lestari belum juga hamil. Rasanya seperti sebuah kegagalan besar, meskipun kami sudah melakukan segala yang kami bisa." Reza mendengarkan dengan seksama, merasakan simpati mendalam terhadap kisah pribadi Arman. Meskipun situasinya sulit, Reza mulai memahami lebih dalam motivasi di balik permintaan Arman untuk bicara berdua dengannya. Arman melanjutkan, "Kehidupan kami terasa kosong tanpa anak. Kami telah mencoba berbagai hal, tetapi setiap kali kami mendapatkan harapan baru, harapan itu hancur. Itulah sebabnya aku merasa tawaran ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan apa yang kami inginkan—dan juga untuk memberikan Lestari apa yang telah dia idam-idamkan selama ini." Reza mengangguk, berusaha menunjukkan empati, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu tidak mengubah posisi sulitnya. "Saya mengerti, Pak. Saya tahu, pasti sulit untuk Bapak menerima semua ini." Arman mengatur posisi duduknya dengan lebih serius dan menatap Reza dengan intens. Suaranya berubah menjadi lebih hati-hati namun tetap penuh tekanan ketika ia melanjutkan percakapan. “Reza,” katanya, “aku bersedia memberikan bantuan yang sangat besar kepadamu. Tidak hanya uang dalam jumlah besar, tetapi juga rumah, mobil, dan kemewahan lain yang mungkin kalian butuhkan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi.” "Syarat, apa syaratnya, Pak?" tanya Reza penasaran. Reza menatap Arman dengan penuh perhatian, berusaha menunggu syarat apa yang akan diberikan. Rasa cemas dan harapan saling berbaur di dalam dirinya, dan ia siap mendengarkan ketentuan yang akan menentukan nasibnya dan Santi. Sementara Arman kini sudah berdiri dari tempat duduknya, ia berjalan ke arah jendela besar yang ada di ruangannya. Tatapannya kini tertuju pada luar jendela, sebuah pemandangan langit yang luas. Sesaat Arman terlihat menghirup nafas dalam. Sebelum akhirnya ia berbalik ke arah Reza. Langkahnya tegak berjalan ke arah Reza yang masih menunggu jawaban atas syarat yang akan ia ajukan. Arman melanjutkan, “Syaratnya adalah, Santi harus bersedia memenuhi permintaanku untuk menjadi istri sementaraku. Ini bukan hanya tentang bantuan finansial, tetapi juga tentang mengisi kekosongan yang kami rasakan di kehidupan kami. Aku berharap ini dapat memberikan solusi bagi kedua belah pihak. Dan aku minta kamu bisa merahasiakan hal ini dari semua orang, termasuk Lestari-istriku." Mendengar syarat yang diajukan Arman, Reza langsung terkejut. Wajahnya memucat, dan reaksinya tampak tegas dan tidak bisa ditawar lagi. “Pak Arman, saya tidak bisa memenuhi syarat itu. Saya tidak bisa meminta Santi untuk menjadi istri sementara Anda. Ini terlalu berat untuk kami,” ucap Reza dengan nada penuh penolakan dan rasa frustrasi. Arman, meskipun terlihat sedikit kecewa, tetap tenang dan tidak menyerah. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, ia harus berusaha lebih keras. Dengan nada yang lebih persuasif, Arman mulai menawarkan iming-iming kemewahan yang menggoda. “Reza,” kata Arman sambil menggeser beberapa kertas di mejanya, “aku memahami betapa sulitnya keputusan ini. Namun, aku ingin kau memikirkan kembali tawaran ini. Selain uang tunai yang telah aku sebutkan, aku akan memberikan rumah mewah di lokasi yang kalian pilih, mobil terbaru, dan fasilitas lain yang mungkin kalian impikan.” Reza menatap Arman dengan rasa ragu-ragu, tergoda oleh tawaran-tawaran tersebut, namun tetap berusaha keras untuk mempertahankan pendiriannya. “Pak Arman, tawaran ini terlalu besar. Saya tidak bisa hanya mempertimbangkan kemewahan sementara Santi harus membayar harga yang begitu tinggi.” Arman, yang melihat Reza masih bimbang, melanjutkan dengan nada lebih persuasif. “Pikirkan tentang masa depan kalian, Reza. Dengan bantuan ini, kalian akan memiliki stabilitas finansial yang selama ini kalian impikan. Rumah mewah, mobil, dan semua fasilitas itu akan menjamin kehidupan yang nyaman dan aman untuk kalian. Santi tidak akan pernah lagi merasa tertekan dengan masalah keuangan.” Reza menghela napas, menahan dilema yang menghimpit pikirannya. Arman tahu betul bagaimana cara menggoda dan memanipulasi, dan tawaran kemewahan ini jelas menggugah impian dan harapan Reza. “Ini adalah kesempatan langka, Reza. Tidak setiap hari ada orang yang menawarkan semua ini. Aku berharap kau bisa melihat manfaat jangka panjang dari tawaran ini dan memikirkan kembali keputusanmu.” Meskipun Arman berusaha sekeras mungkin untuk meyakinkan Reza, ia juga menyadari bahwa proses ini memerlukan waktu. Ia berharap dengan terus menawarkan kemewahan dan kelebihan dari tawarannya, Reza akhirnya akan berubah pikiran dan menerima syarat-syarat yang telah ditetapkan. Reza, yang kini merasa semakin terjepit, harus memikirkan dengan sangat hati-hati sebelum membuat keputusan selanjutnya. Arman, setelah melihat Reza yang tampak masih ragu-ragu, akhirnya menghela napas dan memutuskan untuk memberikan sedikit kelonggaran. Dengan nada yang lebih lembut namun tetap penuh tekanan, Arman berkata, “Reza, aku mengerti bahwa ini adalah keputusan yang sangat berat. Aku tidak ingin memaksamu untuk segera membuat keputusan.” Arman menatap Reza dengan tatapan yang penuh perhitungan. “Aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Kau bisa datang kepadaku kapan saja jika kau sudah siap dengan keputusanmu. Jangan ragu untuk menghubungiku jika ada pertanyaan lebih lanjut atau jika kau memutuskan untuk menerima tawaranku.” Reza merasa sedikit lega mendengar pernyataan Arman. Meskipun situasi ini masih menekan, setidaknya ia memiliki waktu untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya. “Terima kasih, Pak Arman,” ucapnya dengan nada penuh rasa syukur. “Saya akan memikirkan semua ini dengan serius dan akan segera menghubungi Anda.” Arman mengangguk, menunjukkan bahwa ia menghargai keputusan Reza untuk mempertimbangkan tawarannya lebih lanjut. “Baiklah, Reza. Aku akan menunggu kabar darimu. Ingat, keputusan ini sangat penting, dan aku berharap kau bisa membuat keputusan yang terbaik untuk masa depan kalian.” Dengan itu, Arman berdiri dan mengantar Reza keluar dari ruangan. Reza, meskipun masih merasakan beratnya situasi, merasa sedikit lebih tenang karena mendapatkan waktu tambahan untuk berpikir dan merencanakan langkah berikutnya. Setelah berpamitan, Reza meninggalkan kantor Arman dengan pikiran yang masih penuh dengan kebingungan dan ketegangan, siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD