Bab 4. Hancurnya Pendirian Reza

1740 Words
.Arman terdiam sejenak, menatap Lestari, istrinya, yang baru saja melontarkan pertanyaan itu dengan tatapan penuh curiga. Lestari, dengan wajah tenang namun penuh selidik, telah mendengar sesuatu tentang "bantuan dan tawaran kerja sama" yang dijanjikan Arman kepada Reza, dan kini dia menuntut penjelasan. “Kerja sama apa yang kamu janjikan kepada Reza?” tanya Lestari sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Suaranya terdengar lembut, namun di baliknya ada ketegasan yang tak bisa diabaikan. Arman merasakan jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Situasi ini bukanlah sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapi malam ini. Lestari, yang biasanya tidak terlalu ikut campur urusan bisnis suaminya, tiba-tiba muncul dengan pertanyaan yang begitu langsung. Arman menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku hanya menawarkan bantuan finansial, Sayang,” jawab Arman dengan nada setenang mungkin. “Reza sedang dalam kesulitan, dan aku pikir itu hal yang wajar jika aku menawarkan kerja sama untuk membantu mereka keluar dari masalah.” Lestari menatap suaminya dengan tajam, seolah mencari kebohongan di balik kata-katanya. “Tapi bantuan macam apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu sampai terlibat begitu dalam dalam urusan pribadi Reza?” Arman berusaha menahan diri, tidak ingin terjebak dalam situasi yang lebih rumit dari ini. Ia tahu bahwa Lestari bukan wanita yang mudah dibodohi, namun ia juga tidak bisa begitu saja mengungkap semua detail dari kesepakatan antara dirinya, Reza, dan Santi. “Ini hanya masalah bisnis, Sayang,” katanya sambil mencoba tersenyum. “Kita membantu mereka mendapatkan stabilitas keuangan, dan aku yakin kerja sama ini akan menguntungkan kita juga di masa depan.” Namun, Lestari tidak puas dengan jawaban itu. "Mas, aku nggak suka jika ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku. Apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar 'bantuan finansial' ini?" Suasana semakin tegang, dan Arman merasa terpojok oleh pertanyaan-pertanyaan Lestari. Ia menyadari bahwa satu kesalahan kecil bisa membuat istrinya semakin curiga, dan itu bisa berakibat fatal bagi semua rencana yang telah ia atur dengan rapi. Lestari, yang semakin tidak puas dengan jawaban dari Arman, kini mengalihkan tatapannya yang tajam ke arah Reza, yang sejak tadi duduk diam di sudut ruangan. Reza merasakan jantungnya berdetak lebih kencang ketika Lestari mulai melontarkan pertanyaan yang sama kepadanya, namun kali ini dengan lebih intens. Tatapan Lestari seolah menembus dinding ketakutan yang selama ini ia coba bangun. “Reza,” kata Lestari dengan nada lembut namun menuntut jawaban, “apa sebenarnya yang ditawarkan Arman kepadamu? Aku ingin mendengarnya langsung darimu.” Reza menelan ludah, gugup. Ia merasakan beban yang begitu besar di pundaknya, terutama dengan adanya Arman yang menatapnya dari sisi lain ruangan. Reza tahu ia harus berhati-hati, karena satu kesalahan dalam ucapan bisa berakibat buruk bagi masa depannya dan hubungannya dengan Arman. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Reza menjawab dengan suara yang bergetar namun penuh kehati-hatian. “Bu Lestari, Pak Arman … beliau menawarkan bantuan modal untuk saya dan istri saya. Kami berencana untuk membuka usaha warung makan, dan Pak Arman bersedia membantu kami dengan memberikan dukungan finansial.” Lestari masih menatap Reza dengan tatapan curiga, meskipun jawabannya terdengar masuk akal. “Modal usaha?” tanya Lestari, memiringkan kepalanya sedikit. “Hanya itu? Nggak ada hal lain yang terjadi di antara kalian?” Reza merasa semakin tertekan oleh pertanyaan itu, namun ia mencoba tetap tenang. “Benar, Bu. Nggak ada yang lebih dari itu. Ini murni bantuan modal usaha dari Pak Arman, agar kami bisa memulai bisnis dan memperbaiki kondisi keuangan kami.” Meskipun Reza berusaha meyakinkan Lestari, perempuan itu masih terlihat belum sepenuhnya percaya. Ia melirik ke arah Arman, yang diam-diam memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut Reza. Lestari tahu ada sesuatu yang tidak beres, namun sulit baginya untuk menentukan apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Baiklah,” kata Lestari akhirnya, meskipun nada suaranya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya puas. “Kalau memang hanya itu yang terjadi, aku harap semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kalian rencanakan.” Namun, Lestari masih merasa ada sesuatu yang tersembunyi, dan rasa curiganya belum sepenuhnya hilang. Di dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan baru muncul, dan ia tahu bahwa suatu saat, kebenaran yang sesungguhnya akan terungkap. Setelah mendengar jawaban dari Reza, Lestari berdiri tanpa berkata apa-apa lagi. Wajahnya tetap tenang, namun ada ketegangan yang tampak di balik sikap dinginnya. Ia menyapu pandangan terakhir ke arah Arman, yang masih duduk di sofa, sebelum melangkah keluar dari ruang tamu dengan langkah mantap. Keheningan terasa menyesakkan di ruangan setelah kepergian Lestari. Reza, yang masih duduk dengan canggung, merasakan beban berat di dadanya. Napasnya terasa berat, seolah ia baru saja lolos dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar interogasi biasa. Arman masih diam, tidak memberikan tanda-tanda emosi yang jelas di wajahnya, namun ada tatapan dingin di matanya yang membuat suasana semakin tidak nyaman. Setelah beberapa saat, Arman menghela napas panjang, seolah berusaha melepaskan ketegangan yang tertahan. Ia menatap Reza dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. “Kau melakukannya dengan baik,” ucap Arman singkat, namun tegas. Reza mengangguk, meskipun tubuhnya masih gemetar sedikit. “Terima kasih, Pak,” jawabnya dengan suara pelan. “Saya hanya berharap Bu Lestari nggak curiga lebih jauh.” Arman tersenyum kecil, namun senyuman itu tak sampai ke matanya. “Lestari memang curiga. Tapi selama kau tetap tenang dan mengikuti rencana, nggak ada yang perlu dikhawatirkan.” Setelah Lestari pergi, suasana di ruang tamu menjadi semakin tegang. Arman, dengan gerakan tenang namun penuh ketegasan, merogoh sakunya dan mengeluarkan amplop tebal berisi uang tunai. Ia menyodorkan amplop itu kepada Reza yang masih duduk dengan tubuh kaku. Reza menatap amplop itu sejenak sebelum akhirnya meraihnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Arman berbicara dengan suara lirih namun tegas, membuat Reza merasakan tekanan yang mendalam. "Ini sebagai uang muka," ucap Arman pelan, tatapannya dingin dan tak tergoyahkan. “Kau harus memastikan bahwa Santi siap menerima tawaranku untuk menjadi istriku—meskipun sementara. Jika tidak, aku tak ragu untuk memecatmu dari perusahaan, Reza.” Reza tersentak mendengar ancaman itu, dan detak jantungnya semakin cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi kata-kata Arman berikutnya membuatnya semakin terpojok. "Dan lebih dari itu," lanjut Arman dengan nada yang semakin rendah, hampir berbisik, “aku akan membawa masalah ini ke jalur hukum. Aku punya cukup bukti untuk menuduh mu melakukan penggelapan dana perusahaan. Kau tahu apa yang akan terjadi jika aku melaporkannya, bukan?” Reza merasakan seluruh tubuhnya dingin mendengar ancaman tersebut. Penggelapan? Ia tahu benar bahwa posisinya di perusahaan rentan, dan Arman bisa dengan mudah memanipulasi keadaan untuk menjeratnya. Dalam sekejap, masa depannya yang sudah kacau terasa semakin suram. Arman menatap Reza dengan intens, seolah menegaskan bahwa tak ada pilihan lain bagi Reza kecuali mengikuti permintaannya. “Aku yakin kau paham betapa seriusnya ini, Reza,” kata Arman, suaranya lembut namun penuh tekanan. “Aku memberimu kesempatan untuk menyelamatkan dirimu dan keluargamu. Pastikan Santi setuju.” Reza hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata apa-apa. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya penuh dengan kecemasan. Amplop tebal di tangannya yang seharusnya menjadi penyelamat, kini terasa seperti beban yang tak tertanggungkan. Dengan gugup, Reza mengangguk, tak berani menatap mata Arman terlalu lama. Ketakutan dan rasa bersalah bercampur di dalam hatinya, namun saat ini ia merasa tak punya pilihan lain. Ia hanya bisa menyetujui keinginan Arman, meskipun hati kecilnya menjerit. Untuk menyelamatkan dirinya, Reza harus membusukkan hati dan menyeret Santi, istrinya, ke dalam rencana kotor ini. Reza mengambil amplop berisi uang itu dengan tangan gemetar. Rasanya berat, bukan hanya karena nilai yang terkandung di dalamnya, tetapi karena beban moral yang kini harus ia tanggung. Dengan suara lemah dan terpaksa, ia berkata, “Terima kasih, Pak Arman. Saya akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana.” Arman hanya mengangguk pelan, seolah yakin bahwa ia sudah sepenuhnya mengendalikan situasi. Tatapannya dingin dan penuh perhitungan, mengisyaratkan bahwa tak ada ruang untuk kesalahan. Setelah menerima uang tersebut, Reza segera berpamitan untuk pulang. Langkahnya terasa berat ketika ia keluar dari ruangan itu, seolah setiap langkah semakin menghantam hatinya yang sudah dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Ia tahu bahwa setelah ini, tak ada jalan kembali. Rencana Arman telah mengubah segalanya, dan hidup Reza serta Santi tak akan pernah sama lagi. Saat pintu ruangan Arman tertutup di belakangnya, Reza menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikiran yang kacau. Namun, setiap kali ia mencoba, bayangan wajah Santi yang tak tahu apa-apa tentang skenario gelap ini menghantui pikirannya. Beberapa saat kemudian, suara deru motor Reza terdengar dari luar rumah. Santi, yang sejak tadi duduk dengan penuh kecemasan di ruang tamu, segera bangkit dari tempat duduknya. Jantungnya berdebar lebih kencang saat ia berjalan cepat menuju pintu depan. Perasaannya campur aduk—antara kekhawatiran tentang apa yang terjadi dan harapan akan kabar baik. *** Dengan tangan gemetar, Santi membuka pintu dan melihat Reza yang baru saja turun dari motornya. Wajah Reza tampak lelah dan tegang, seolah ada beban berat yang baru saja ia pikul. Santi menatapnya dengan penuh pertanyaan, namun tidak berani langsung berbicara. Ia hanya bisa menunggu suaminya mendekat. “Mas ... Bagaimana?” tanya Santi, suaranya terdengar pelan namun penuh dengan kecemasan. Reza menghampiri Santi dengan langkah lambat, dan setelah beberapa detik hening, ia menghela napas panjang. “Sudah selesai,” jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan rasa bersalah yang menyelimuti hatinya. Santi menatap wajah Reza, mencari kejelasan dalam ekspresinya. “Apa yang terjadi? Apa yang dia katakan?” desaknya pelan, meskipun ia ragu ingin mendengar jawaban yang mungkin akan menghancurkan hatinya. Reza hanya bisa menunduk, tidak berani menatap mata istrinya. Ia tahu bahwa kebenaran yang akan ia sampaikan akan merusak segalanya, tetapi ia sudah terjebak dalam permainan ini. Dengan suara serak dan penuh penyesalan, Reza berkata, “Pak Arman ... dia menawarkan bantuan. Tapi, ada syaratnya...” Santi terdiam sejenak, matanya mulai dipenuhi kecemasan. "Syarat apa?" tanyanya, mencoba memahami situasi. Reza menelan ludah, menatap tanah dengan tatapan kosong. “Dia... ingin kau menjadi istrinya. Sementara. Sebagai gantinya, dia akan membantu kita.” Santi tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Rasanya seperti mimpi buruk yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Air mata mulai menggenang di matanya, dan ia merasakan dadanya sesak. “Apa maksudmu, Mas? Kau ingin aku ...?” Reza mengangguk pelan, air matanya hampir jatuh. “Aku tidak punya pilihan, Santi. Jika kita nggak setuju, dia akan menghancurkan kita. Aku bisa kehilangan pekerjaan, dan lebih buruk lagi, dia bisa melaporkan kita dengan tuduhan yang nggak benar.” Santi menatap suaminya dengan rasa sakit yang begitu mendalam. Dunia di sekelilingnya seakan runtuh. Reza hanya bisa mengangguk lagi, meskipun hatinya dipenuhi kecemasan. Perasaannya campur aduk antara lega dan takut, karena meski untuk saat ini situasi tampak terkendali, ia tahu bahwa permainan ini jauh dari selesai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD