Bab 1. Awal Permasalahan

1161 Words
"Selamat pagi, Mas," sapa Santi saat melihat Reza keluar dari dalam kamar. "Kita sarapan dulu, yuk! Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu." "Selamat pagi, Sayang." Reza langsung mencium kening istrinya sebelum duduk di kursi. "Terimakasih, Sayang. Aku bersyukur bisa memiliki istri sepertimu, seorang istri yang sangat perhatian." jawab Reza yang langsung duduk di kursi. Reza memperhatikan meja makan dengan seksama. Terlihat dua piring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Jauh lebih baik dari biasanya yang hanya nasi dengan tambahan kecap manis di atasnya. "Santi, kamu hari ini masak nasi goreng dengan telur ceplok. Apa kamu ada uang?" tanya Reza penasaran sambil terus memperhatikan makanan yang ada di hadapannya. "Kebetulan kemarin ada tetangga yang minta bantuanku untuk mencuci baju di rumahnya, dan dia memberikan uang dua puluh lima ribu sebagai upah." Santi tersenyum lembut sambil menuangkan air putih di dalam gelas Reza-suaminya. Seketika hati Reza mencelos mendengar ucapan Santi. Bagaimana tidak, hampir 3 tahun membina rumah tangga dirinya belum mampu memberikan kebahagiaan untuk wanita yang ia sayangi itu. Jangankan rumah, untuk makan saja mereka masih kekurangan, bahkan terkadang terpaksa harus mengutang di warung tetangga. Reza adalah seorang karyawan serabutan di sebuah perusahaan besar yang ada di Ibu Kota. Upahnya sebagai seorang karyawan serabutan tentunya sangat kecil, jadi tidak heran jika ia sering menunggak untuk membayar uang sewa rumah, motor dan kebutuhan sehari-hari. Sementara itu Santi-istrinya hanya seorang Ibu rumah tangga, dia banyak menghabiskan waktu untuk merawat Reza dan memastikan keperluan suaminya tercukupi. Namun, kondisi ekonomi yang sulit tidak membuat keduanya kehilangan kebahagiaan dan cinta. Reza adalah suami yang begitu bertanggung jawab, bahkan sebagai seorang suami Reza tidak segan-segan membantu Santi menyelesaikan pekerjaan rumah. "Santi," ucap Reza sambil memegang tangan Santi. "Maaf, karena sampai saat ini aku belum bisa membahagiakanmu." Reza melanjutkan ucapannya sambil menatap mata Santi. Santi tersenyum lembut, ia mengusap tangan Reza dengan perlahan. "Mas, kesetiaanmu saja sudah cukup membuatku bahagia. Dan itu bisa membuatku yakin untuk bertahan bersamamu." "Aku janji, aku akan selalu berusaha membahagiakanmu." Reza mencium tangan Santi dengan lembut. "Iya, Mas. Aku percaya suatu saat nanti kamu pasti bisa membahagiakanku," jawabnya sambil tersenyum. "Ya udah sekarang kita sarapan dulu nanti keburu dingin." Ajak Santi sambil langsung menyerahkan sendok kepada Reza. Mereka segera menikmati sarapan yang sudah tersaji di atas meja. Baik Santi ataupun Reza memang sengaja untuk menunda memiliki seorang anak. Paling tidak sampai kondisi ekonomi mereka lebih baik dari saat ini. "Masakanmu enak sekali, Santi. Bahkan masakanmu lebih enak dari restoran bintang lima." Reza memuji masakan Santi sambil terus mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya. "Terimakasih, Mas. Aku senang kamu suka dengan masakanku," jawab Santi dengan rasa malu. Reza memang laki-laki yang pintar membahagiakan istrinya dengan pujian-pujian yang keluar dari mulutnya. Pujian-pujian inilah yang membuat Santi selalu merasa nyaman dan bahagia hidup bersama Reza walaupun kondisi mereka selalu dalam kesederhanaan. Pagi ini banyak sekali obrolan yang terjadi di antara mereka mulai dari pujian yang diberikan Reza sampai rencana kegiatan yang akan mereka lakukan hari ini. "Santi, sepertinya hari ini aku akan pulang sedikit terlambat dari biasanya. Karena ada rekan kerja ku yang nggak bisa masuk hari ini, jadi aku harus menggantikannya. Lumayan, buat tambah-tambahan membayar uang kontrakan," jelas Reza sambil terus menikmati sarapannya. Santi menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Reza. "Iya, Mas. Tapi kamu juga jangan terlalu capek, aku nggak mau kamu sampai sakit karena kurang istirahat." "Iya, Sayang. Terimakasih sudah mengingatkanku," jawab Reza. Setelah menyelesaikan obrolan mereka, keduanya melanjutkan kembali aktifitas yang tertunda. Di saat mereka sedang menikmati sarapan, di saat yang bersamaan terdengar suara ketukan keras di pintu depan. Reza dan Santi terdiam, dan suara itu terus berlanjut, lebih keras dan lebih mendesak. Beberapa saat mereka saling memandang heran, pasalnya tidak biasanya ada tamu yang datang di jam pagi seperti saat ini. "Siapa ya, Mas? Tumben jam segini ada yang datang bertamu," ucap Santi sambil terus memandang wajah suaminya. Reza meletakkan sendok yang ada di tangannya. "Aku juga nggak tahu." Tidak berapa lama ketukan pintu terdengar lagi, tapi kalian ini dengan tempo yang cepat dan sangat keras seolah tidak sabar. "Santi, Reza!" teriak seseorang dari luar rumah. "Cepat kalian keluar," tambahnya lagi. "Kamu di sini saja, Mas. Biar aku lihat siapa yang datang." Santi berdiri dari tempat duduknya. Dengan langkah terburu-buru Santi berjalan ke arah pintu rumahnya. Jantungnya berdegup dengan cepat, rasa khawatir dan takut mulai hadir dalam hati Santi. Hingga membuatnya memutuskan untuk mengintip dari balik tirai. "Ya Allah," ucapnya lirih. Sambil menepuk pundak Santi dengan pelan. "Siapa yang datang, Santi?" tanya Reza dengan suara lirih. Entah sejak kapan pria itu berdiri di belakang Santi, hingga membuat Santi terkejut. "Itu, Mas …." Santi langsung membuka tirai jendelanya sedikit, hingga Reza mampu melihat siapa tamu yang datang ke rumahnya pagi ini. "Bu Marni," ucap Reza. "Bagaimana ini, Mas? Kita nggak punya uang sama sekali." Santi terlihat begitu panik. "Kamu tenang saja, kita hadapi Bu Marni sama-sama. Aku yakin dia pasti mengerti keadaan kita saat ini," jawab Reza yang langsung memegang tangan Santi. "Tapi, bagaimana jika dia …." "Santi, aku yakin Bu Marni pasti akan mengerti." Reza berusaha meyakinkan Santi. "Santi, Reza! Cepat keluar, atau aku akan membuka pintu ini secara paksa!" teriakan itu kembali terdengar. Santi menghirup nafas dalam sebelum akhirnya ia membuka pintu rumahnya. Kini tatapan Marni terlihat tajam memandang Santi dan Reza secara bergantian. "Reza, Santi! Kalian sudah menunggak uang kontrakan selama empat bulan, satu minggu lalu kalian janji hari ini akan membayarnya. Cepat serahkan uangnya, atau kalian bisa segera pergi dari rumah ini!" bentak Marni sambil bertolak pinggang. Reza mencoba tersenyum, meski gugup. “Bu Marni, tolong beri kami sedikit waktu lagi. Kami sedang berusaha mencari uang. Saya janji, dalam beberapa hari ini kami akan membayarnya.” Marni mengangkat alisnya, tidak terkesan. “Berapa kali aku sudah dengar janji itu, Reza? Ini bukan pertama kalinya kau menunda pembayaran. Aku butuh kepastian. Kalau dalam seminggu ini kamu nggak bisa bayar, aku akan keluarkan kalian. Nggak ada lagi toleransi.” Reza terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Tekanan yang ia rasakan semakin berat. Santi, yang sejak tadi mendengar dari belakang, tiba-tiba berdiri dan mendekati Marni. “Bu Marni, kami mengerti posisi ibu,” kata Santi dengan suara tenang, meski wajahnya masih basah oleh air mata. “Kami akan berusaha keras untuk membayarnya secepat mungkin.” Marni menatap Santi sejenak, kemudian mengangguk dengan sedikit empati. “Baiklah, aku beri kalian waktu satu minggu. Tapi setelah itu, nggak ada lagi perpanjangan. Kalau enggak bisa bayar, kalian harus keluar dari sini.” Setelah mengucapkan itu, Marni berbalik dan pergi, meninggalkan Reza dan Santi berdiri di ambang pintu dengan pikiran yang kalut. Santi menutup pintu dan bersandar di sana, merasa seluruh dunianya semakin runtuh. "Bagaimana ini, Mas? Bagaimana kalau Bu Marni benar-benar mengusir kita dari sini?" tanya Santi yang memandang Reza dengan panik dan takut. "Kamu tenang saja, nanti aku akan mencari pinjaman di kantor." Reza memegang pundak Santi. "Kalau begitu aku berangkat ke kantor dulu, kamu baik-baik di rumah. Aku janji akan membawa uang untuk membayar rumah kontrakan ini," ucap Reza dengan penuh keyakinan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD