Nita Menuntut Tanggung Jawab

969 Words
"Ni ... Nita ... " Jantungku berdetak kencang. Bahkan tatapan Mas Danu, dan kedua mertuaku bagai berlari yang siap menghujam jantungku. "Kamu selesaikan masalahmu dengan wanita itu!" Perintah Mas Danu, dan mereka semua meninggalkan aku dan Nita berdua saja. "Untuk apa kamu datang kemari?" tanyaku ketus. "Uhm, Kamu jahat Mas, aku dan calon anakmu sudah nungguin dari tadi loh ini, apa tidak di persilahkan masuk?" "Stop Nita! Kamu jangan pernah lagi mengganggu kehidupanku lagi!" bentakku. "Hei Jovan! kamu sudah gila setelah kamu menghamili diriku kamu mau lari dari tanggung jawab?" balas Nita tak kalah kerasnya. "Aku pun ragu jika itu anakku, bahkan aku ragu jika hanya aku yang meniduri mu." Plak Tamparan keras Nita mengenai pipiku. "Dasar b******k kamu Jovan! b******n! kamu pikir aku semurah itu?" Maki Nita. "Kamu yang gila! Dasar p*****r murahan! aku meniduri mu bahkan selalu membayar mahal, jadi apa bedanya kamu dengan p*****r?" "Dasar lelaki b******k!" Akhirnya Nita beringsut, dia menangis. Aku memandanginya namun tak bergeming untuk membantunya berdiri. Aku tak akan luluh, dengan air matanya. "Asal kamu tahu Mas, aku benar-benar hamil anakmu! hiks ... hiks." Terang Nita sekali lagi. "Gugurkan saja janin itu!" perintahku. "Tidak Mas, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, dulu aku telah berulang kali mengugurkan kandunganku saat bersama mantan suamiku, dan rasa bersalah itu belum hilang." "Lalu apa maumu? aku tak mungkin menikahi Kamu!" "Aku mohon Mas, setidaknya kita menikah kontrak, agar bayi ini memiliki status yang jelas demi masa depannya!" Mohon Nita dia bahkan bersimpuh di kakiku. "Kamu tidak lihat, aku bahkan baru saja kehilangan Riana dan anakku Edo? Aku tidak ingin karena menikahimu aku kehilangan keluargaku yang lain." "Hiks ... hiks tapi Mas, lalu bagaimana aku dan calon anakmu ini? Tidak adakah rasa kasihanmu sebagai papahnya?" Jujur aku bingung, dulu saat aku menghamili Cindy, dan menyuruhnya mengugurkan kandungannya jujur aku menyesal, apa aku akan mengulangi dosa yang sama?. "Kamu pulanglah dulu, aku akan memikirkan hal ini nanti, aku masih berduka atas kematian Edo!" "Tidak Mas! tidak bisa aku tidak akan pulang sebelum kamu menikahiku." paksa Nita. "Sudah Jovan, kamu nikahi wanita itu dan kamu pergi dari rumah ini sekarang juga!" suara Mas Danu menggelegar. "Mas, aku bahkan masih meragukan anak yang di kandungannya adalah anakku." "Memang kamu b******k Jovan, menyesal aku merestui mendiang Riana menikah dengan lelaki pengecut sepertimu." hina Mas Danu. Memancing Emosiku. "Kamu jangan campuri urusanku Mas, kamu hanya mantan iparku!" ceplosku. Aku menyesal mengatakan hal itu. "Baiklah memang aku mantan iparmu, jadi kamu silakan pergi dari rumah ini, karena ini rumah pemberianku untuk mendiang Riana kamu tidak berhak berada disini!" "Bagaimana bisa? Ada Atik dan Fanya mereka berdua anak-anakku dan Riana." "Biarkan mereka disini karena memang mereka berhak atas rumah ini, tapi untukmu aku tidak akan membiarkan lelaki b******k sepertimu tinggal disini!" Usir Mas Danu. "Mas! aku adalah Papah mereka, dan kamu tidak berhak memisahkan kami!" elakku. "Papah yang tidak bertanggung jawab dan pengecut sepertimu?" balas Mas Danu membuat aku terbungkam. "Eh, Mas! Mas Jovan seharusnya berhak atas rumah ini secara mas Jovan adalah suami Riana!" bentak Nita kepada Mas Danu. "Diam kamu Nita!" bentakku. "Heh ... kalian memang sama saja!" Ejek Mas Danu. "Mas, aku mohon aku akan menyelesaikan masalahku dengan Nita tapi jangan mengusirku!" mohonku. "Tidak Jovan kamu cepat pergi dari sini!" "Papah ... Pakde, sudah pakde jangan usir papah!" rengek Fanya yang tiba-tiba Fanya keluar dan memelukku. Hah lega sekali setidaknya aku ada alasan untuk bisa terus bertahan di rumah ini. "Tapi Fanya, Papahmu telah membuat begitu banyak masalah, bahkan dengan Tante ini!" "Sudah Pakde, Aku tidak ingin kehilangan lagi, sudah cukup aku kehilangan Mamah dan Edo hiks ... hiks." Fanya semakin tersedu. Entahlah sekarang aku malah senang melihat Fanya menangis, karena tangisannya akan meluluhkan Mas Danu tentunya. "Sayang, Pakde hanya tidak ingin kalian semakin sakit karena Papan kalian harus menikahi wanita ini!" "Sudah Pakde, Fanya rela asal Papah tidak meninggalkan kami." "Baiklah Jovan, karena Fanya aku akan memberimu kesempatan, tapi ingat jangan kamu macam-macam, karena rumah ini masih sah atas namaku!" Ancam Mas Danu. Terserah, yang terpenting aku tidak jadi terusir dari sini. 'b*****h memang Nita, karena dia masalah menjadi runyam.' Kataku dalam hati. "Mas, jadi aku boleh kan tinggal disini." tanya Nita, dengan penuh harap. Aku benar-benar muak melihatnya. "Tidak, Aku tidak mengizinkanmu tinggal disini!" "Mas! apa kamu tidak kasihan dengan janinku ini?" rengeknya sambil mengelus perutnya yang masih rata. "Nita, sabarlah dulu kita belum menikah, jadi tidak mungkin kita tinggal bersama!" hah rasanya muak sekali melihat tingkah sok manja Nita. "Baiklah tapi besok aku akan kembali lagi, oh ya Mas, aku minta uang dong!" todongnya. "Kamu sudah gila! lihat aku baru saja menguburkan anakku tapi kamu menodong uang kepadaku?" tak habis pikir, Dimana pikiran Nita?. "Tapi Mas, aku juga butuh makan kamu tahu aku sendiri sudah lama tidak pergi ke salon." Dengan terpaksa aku mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu. "Ini, sekarang pergilah!" usirku. Fanya dan Mas Danu, hanya bergeming melihat aku dan Nita. "Segini mana cukup, Mas? biasanya mas ngasih aku jutaan." Aku benar-benar sudah kehilangan mukaku, di hadapan Fanya dan Mas Danu. "Aku sudah tidak memiliki uang lagi Nita, aku mohon pergilah!" dadaku benar-benar bergemuruh menahan amarah. "Hum dasar miskin! tau gitu aku tidak usah datang kesini, rumah gak dapat uang pun gak dapat." tanpa sadar Nita keceplosan. "Aku, sangat tahu, kamu hanya mengincar hartaku saja Nita!" "Uhm ... maaf mas, aku tak bermaksud mengatakan hal itu." Nita langsung salah tingkah. "Sudah kamu pergilah dulu, aku ingin beristirahat." "Hem baiklah, tapi jangan lupa besok pagi aku akan kerumah mas lagi." "Terserah!" Fanya, dan Mas Danu akhirnya masuk. "Kamu pergilah! aku sangat lelah, aku masuk dulu!" "Tapi ... tapi Mas?" " Tidak usah tapi- tapi kamu tidak pantas meminum obat malah." hina Nita yang membuat aku semakin meradang. "Haha Dasar lelaki miskin, Pelit!" jengkel Nita. Dengan menutup telinga, aku tidak ingin mendengar apapun kegiatan yang tidak penting.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD