Setelah sampai di rumah Ayah, aku langsung menuju kamar, ternyata begitu berantakan dan pengap, bahkan bekas darah ayah masih tercecer.
Aku mencari di lemari, yang aku cari adalah sertifikat rumah ini. Semua laci ku buka namun hasil nihil, hampir putus asa.
'Apa wanita ular itu, dan Cindy yang mengambilnya?' batinku.
Aku terduduk di kasur, ku usap kasar wajahku, bagaimana ini hanya rumah ini satu-satunya harapanku. Jika tidak memperoleh uang itu, bagaimana aku memulangkan jenazah ayahku.
Aku mengamati seisi ruangan, berharap masih bisa di temukan sertifikat rumah ini. Namun buntu tak kutemukan titik terang dimana ayah menyimpannya.
'Apa aku harus menjual mobil?' setidaknya aku bisa membeli motor dari sisa penjualan mobil.
Terburu aku menuju showroom mobil, semoga harga jual mobil ini masih tinggi, beruntung mobil ini atas namaku, dan surat suratnya selalu aku bawa.
"Selamat siang Pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau menjual mobil saya, Pak mobil P****o seri terbaru."
"Wah, kebetulan sekali kami sedang mencari mobil dengan seri tersebut, harga jualnya juga masih tinggi Pak, sekitar dua ratus lima puluh juta."
"Apa itu tidak terlalu murah Pak? bahkan aku baru membelinya sekitar enam bulan yang lalu dan saat itu harga hampir setengah milyar."
"Kisaran harganya memang segitu Pak, jika anda berkenan mungkin kami hanya menambah dua puluh lima juta jadi dua ratus tujuh puluh juta."
"Tiga ratus ya Pak, Aku sangat membutuhkan uang itu untuk memulangkan jenazah ayahku."
"Hem ... baiklah jika bukan karena kasihan saya tidak akan menaikan nilainya, Deal tiga ratus juta."
"Terima kasih, Pak."
Terpaksa aku melepaskan mobil kesayanganku, dengan harga yang menurutku sangat murah, ruginya hampir separuh harga, jika tidak sedang membutuhkan aku tidak akan menjualnya.
Transaksi, berjalan lancar kini sisa dua ratus empat puluh juta yang di rekeningku, rencana aku akan membeli mobil yang harganya seratus jutaan sisanya untuk membuka usaha, karena tidak mungkin meneruskan usaha Riana, karena keluarganya pasti menentangnya.
Aku kembali kerumah sakit, dengan membawa bukti transfer kepada rumah sakit.
Tak butuh waktu lama jenazah ayah sudah bisa dibawa.
Baru kali ini aku merasakan, kesendirian, dimana tidak ada sanak saudara yang menyambut jenazah ayahku, hanya aku sendiri di rumah ini. Bahkan tetangga tak ada yang datang melayat.
Keluargaku memang di kenal angkuh, terutama ayahku. Yah, karena kekayaan yang kami miliki membutakan mata kami.
Di bantu pihak rumah sakit dan ketua RT aku mengebumikan Ayahku, tidak ada tetangga yang menghadiri pemakaman Ayah.
Bahkan keluarga Riana dan kedua anakku pun tidak datang. Aku tak menyalahkan mereka karena bahkan mendiang ayahku tak pernah mengakui kedua anakku sebagai cucunya, hanya saat beliau stroke dia baru menyesali semuanya.
Setelah semuanya pulang aku masih berada di pusara ayahku.
"Ya Allah, begini kah rasa sendiri itu, ternyata sangat sakit Ya Allah, bahkan kedua putriku tak menghadiri pemakaman kakeknya sendiri."
Aku menatap gundukan tanah yang masih basah itu, bahkan diatasnya tidak ada bunga yang di taburi, pemakaman ayah pun seadanya.
Derai air mataku tidak bisa berhenti, karma ini sungguh nyata. Karma karena aku menghianati Riana di balas kontan oleh Allah.
"Riana ... maafkan mas sayang, tolong maafkan mas hiks ... hiks." tangisku aku bisa gila jika seperti ini terus.
"Ya Allah maafkan hamba ya Allah, hamba mohon cabut hukuman hamba ini, hamba tidak kuat ya Allah."
Lama aku menangisi buruknya nasibku, hingga menjelang magrib aku hanya menangis di pusara ayahku ini. Ingatanku tentang kematian Riana, Edo dan ayah begitu terngiang. Baru sekitar dua Minggu satu persatu orang yang ku sayangi meninggalkanku.
Bahkan kedua putriku kini tak mau bersamaku lagi.
"Nita semua ini gara-gara Nita!" Teriakku.
Emosiku mendadak meninggi kala mengingatnya. Yah semua ini salahnya jika bukan karena Nita, aku tidak mungkin menderita seperti ini.
Saat berselingkuh dengan Arum semuanya baik-baik saja, tapi saat bersama Nita semuanya menjadi kacau.
"Awas kamu Nita, jika sudah menikahimu akan aku buat kamu menderita!" Janjiku pada diriku sendiri.
Nita harus membayar semuanya dia yang menjerumuskanku, dia yang menjebakku.
Prok ... prok
"Haha bagus-bagus akhirnya tua bangka mati juga!" teriak seorang wanita. Suaranya sangat asing di telingaku.
Aku menengok ke belakang seorang wanita muda, kisaran umur dua puluh enam tahun, wanita berkacamata hitam, dengan baju tanktop dan hotpants sangat tidak pantas untuk hadir di pemakaman.
"Siapa kamu?"
"Kamu tak perlu siapa aku! asal kamu tahu saja karena pria tua bangka ini aku harus menanggung kehidupan yang sengsara sepanjang hidupku." teriak wanita itu.
"Tolong maafkanlah ayahku, apapun kesalahannya."
"Heh kamu bisa bicara seperti itu karena kamu tidak pernah berada di posisiku."
"Tapi beliau sudah meninggal jadi aku mohon maafkan dia."
"Tidak, aku tidak akan pernah memaafkannya sampai aku mati sekalipun."
"Sebenarnya apa kesalahan ayahku? sehingga kamu semarah itu kepada ayahku."
"Asal kamu tahu, karena tua bangka ini hidupku dan ibuku sangat menderita?"
"Ibu?"
"Yah, dia meninggalkan ibuku saat aku masih dalam kandungannya dan tua bangka ini memilih wanita lain?"
"Jadi kamu anak dari Ayahku?"
"Aku tak ingin di sebut anaknya, dia adalah lelaki brengsek."
"Siapa nama ibumu?"
"Heh, kamu tak perlu tahu kamu dan ayahmu sama brengseknya."
Lekas wanita itu pergi, dengan setengah berlari dia meninggalkan area makam. Aku yang berusaha mengejar kalah cepat dengan larinya.
'Siapa sebenarnya wanita itu?' batinku.
Setelah lelah aku pulang, kini aku tinggal di rumah Ayahku.
Ceklek
Pintu aku buka, rumah ayah masih sangat berantakan, tapi aku sangat lelah, biarlah rumah ini berantakan, yang aku butuhkan adalah istirahat. Setelah aku mandi dan membersihkan diri, perutku sangat lapar karen seharian bahkan aku tak sempat makan.
Aku mencari apa saja yang bisa di makan di dapur, saat sampai dapur piring kotor dan sisa makanan yang sampai berjamur masih teronggok di wastafel. Mual rasanya kenapa wanita ular itu sejorok ini? . Rasa laparku hilang seketika.
Terpaksa aku mencuci piring dan membersihkan semuanya. Hampir tengah malam aku belum juga selesai membersihkan rumah ini. Bahkan rasanya sudah tidak kuat lagi. Kini aku baru merasakan ternyata pekerjaan rumah benar-benar melelahkan, tak terbayang bagaimana lelahnya Riana yang harus mengurus rumah, dan mengurus ketiga anak-anak kami?.
Lagi dan lagi aku begitu merindukan sosok Riana, wanita yang dulu aku siakan, kini aku merasakan dialah wanita terbaik.
Tok ... tok
Pintu depan di ketuk, siapa malam-malam begini bertamu?
Cindy kah?
Atau wanita itu.