Bab 72. (Mimpi Mario)

1216 Words
Warno dan Warmo tetap tengkurap, pura-pura mati terkena racun, yang diberikan Mario melalui minuman. Tanpa menyadari jika Mario telah selesai memotret mereka berdua. "Bangun kalian. Segera buang kartu telepon kalian. Atau matikan ponsel kalian terlebih dahulu, agar dia tak menghubungi kalian lagi, dan kehilangan jejak kalian," ujar Mario kepada dua saudara kembar itu. Mendengar perkataan Mario. Warno dan Warmo bangkit, dan gerak cepat mengambil ponsel mereka dari dalam saku celana mereka. Yang segera dinonaktifkan. Hingga tak ada yang dapat menghubungi mereka berdua sama sekali. "Apakah kalian berdua lapar?" tanya Mario, dengan penuh perhatiannya terhadap dua bersaudara kembar itu. "Tidak," jawab Warno. "Aku juga tidak," lanjut Warmo. "Ya, sudah. Aku ingin tidur. Kalau kalian ingin tidur, pilih saja kamar yang kalian suka. Tapi kalau ingin pulang, kunci pagar ada di ruang tamu di lantai bawah. Kalian jangan menyusup untuk keluar rumah. Kalau ketahuan, kalian bisa diamuk masa," jelas Mario, lalu menguap dengan begitu lebarnya. Pertanda dirinya sudah benar-benar mengantuk. "Kenapa kau baik terhadap kami, yang berniat baik terhadap dirimu?" tanya Warno dengan penuh penasarannya, terhadap sikap Mario itu. "Aku hanya ingin berbuat baik saja. Kalau tidak, pasti kalian sudah mati oleh ular-ular berbisa itu, dan tubuh kalian kuberikan kepada ikan-ikan piranha piaraan ku," tutur Mario, lalu beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Yang terlihat saling tatap, dengan penuh kengeriannya. "Dia begitu mengerikan, kalau seperti itu," kata Warmo, dengan nada bergetar. "Sudah, lebih baik kita tidur. Biar besok bangun pagi ikut Mario," ucap Warno, lalu beranjak pergi bersama kembarannya. Meninggalkan balkon rumah itu dengan langkah gontai. Seakan orang yang sedang kelelahan bekerja seharian saja. Mario pun tiba di dalam kamar ber ac nya. Dirinya langsung saja membaringkan tubuhnya di ranjang besar dengan kasur empuk, tanpa mengunci pintunya. Tatapannya, begitu dalam menatap atap kamar besarnya itu. "Marco kenapa kau begitu bodoh. Mau saja mati, demi 7 Malaikat Kematian ...," lirih Mario di dalam hatinya. Sambil membayangkan sosok sepupunya sedari kecil. "Andai kau mendengarkan keinginanku. Pastinya kau masih hidup saat ini. Tapi mungkin, ini sudah takdirku," kata Mario di dalam pikirannya, dengan penuh kesedihannya. Memikirkan nasib sepupunya. Yang sangat ia pedulikan selama ini. Mario terus mengenang sosok Marco di dalam pikirannya. Hingga terlelap di alam mimpinya. Di dalam mimpinya. Ia pun bertemu dengan Marco, yang menggunakan kostum Malaikat Biru, dengan menggunakan topeng tengkorak birunya. Mereka berada di puncak Bukit Biru, di Pulau Biru. Dengan suasana sebelum pulau itu berantakan terkena oleh bom yang diledakkan oleh Marco. Sebelum dirinya mati oleh bom bunuh dirinya. Mario tahu apa yang sedang ia alami, hanyalah mimpi belaka. Dan ia pun berkeyakinan. Jika Marco ingin menyampaikan sesuatu pesan kepada dirinya, yang belum sempat ia sampaikan. Saat dirinya masih hidup. Marco yang dari tadi hanya terdiam. Menatap ke arah Laguna Kematian. Akhirnya berbicara juga kepada Mario. "Akhirnya kau datang juga," kata Marco dengan nada lirih kepada Mario. "Ternyata kau mati penasaran. Hingga harus mendatangiku lewat mimpi," sahut Mario, yang berada di samping Marco. "Aku bukannya mati penasaran. Tapi aku hanya ingin minta tolong kepadamu-" perkataan Marco pun dipotong oleh Mario. "Kau ingin minta tolong apa, katakanlah," ujar Mario, dengan penuh perhatiannya kepada sepupunya yang sudah mati itu. "Aku hanya ingin kau tak memberitahu tentang kematian ku kepada keluargaku, terutama ibuku," tutur Marco. Lalu menarik topeng tengkorak birunya itu dari ujung kepalanya. Topeng itu pun tertarik. Hingga terlihatlah wajah serupa dengan Mario. "Lalu aku harus bicara apa, kalau keluargamu menanyakan tentang keberadaan mu?" tanya Mario, dengan penuh kebingungannya. "Bilang saja aku bekerja di luar negeri. Dan mungkin tak pernah akan kembali," jelas Marco dengan nada datar. "Baiklah, akan kulakukan apa yang kau mau itu. Lalu apa pesan mu lagi?" ujar Mario, dengan melirik ke arah sepupunya yang bagai kembarannya saja. "Aku tak memiliki pesan apalagi. Tapi kalau kau berminat. Lihatlah pertarungan ku dengan Putih," kata Marco, lalu tertawa dengan penuh kebahagiannya. "Aku tak berminat sama sekali. Lagipula, kau itu sudah mati. Masih saja memikirkan hal seperti itu," tutur Mario, lalu tersenyum tipis. "Aku sudah berjanji dengan Putih, akan bertarung di alam kematian," sahut Marco, dengan entengnya. Baru saja Mario ingin membalas perkataan dari Marco. Tiba-tiba saja muncullah Malaikat Putih, melayang di hadapan mereka. Yang langsung saja berbicara. "Dia memang begitu. Aku akan melayani keinginannya. Dan setelah itu akan memberitahunya tentang rahasia Malaikat Hitam yang sebenarnya. Dan hubungannya, kenapa kami bisa gentayangan seperti ini," tutur Malaikat Putih. "Bisa aku diberitahu, tentang rahasia itu?" tanya Mario kepada Malaikat Putih, dengan penuh penasarannya. "Kalau kau mati dalam keadaan memakai kostum malaikat kematian, baru aku akan memberitahumu," kata Malaikat Putih, lalu tersenyum. "Aku tak segila Marco. Bagiku sepahit apa pun hidup, itu masih lebih indah daripada kematian," timpal Mario, dengan penuh keseriusannya. "Baguslah, jika itu prinsip mu," kata Malaikat Putih. "Tentu saja aku memiliki prinsip," Mario pun tersenyum. "Aku pun bangga dengan dirimu yang mau berubah," ucap Malaikat Putih. "Berisik kalian berbincang saja. Pergi kau Mario, aku ingin bertarung dengan Putih!" teriak Marco, lalu mendorong Mario hingga jatuh ke dalam Laguna Kematian. "Putih, ayo kita bertarung!" Marco pun lalu menyerang Putih dengan penuh agresifnya. "Dasar kau itu ...," kata Putih sambil melayani serangan dari Marco. Mereka terus bertarung dengan keluasannya di tempat itu. Tanpa menghiraukan keberadaan Mario yang terjatuh ke dalam Laguna Kematian. "Ah!!" teriak Mario mendadak terbangun dari tidurnya. Matanya pun langsung saja terbelahak. Ketika terbangun dari tidurnya. "Mimpi yang aneh, di mana aku tersadar. Jika yang aku alami itu hanyalah mimpi," ujar Mario di dalam hatinya. Masih termenung dengan lamunannya. Tiba-tiba pintu kamarnya pun diketuk oleh Warno dan Warmo yang mendengar teriakan dari Mario tadi, dengan penuh kepanikannya. "Mario kau tak apa-apa?" tanya Warno dengan penuh kekhawatirannya. "Aku tak apa-apa, kalian masuk saja. Pintu tidak aku kunci," teriak Mario, agar dua saudara kembar itu dapat mendengar suaranya dengan jelas. Mendengar perkataan dari Mario. Warno segera membuka pintu itu, dan langsung bergegas masuk ke dalam kamar Mario bersama Warmo. Yang menutup pintu kamar itu terlebih dahulu. "Kenapa kau tadi berteriak?" tanya Warno dengan penuh selidik, lalu duduk bersila di atas kasur besar milik Mario. Yang diikuti oleh kembarannya. "Aku bermimpi buruk," jujur Mario pun berkata. "Mimpi buruk apa?" tanya Warno dengan penuh penasarannya. "Aku bermimpi bertemu Marco. Dan anehnya, aku menyadarinya jika hal itu hanyalah mimpi," tutur Mario, dengan masih tetap berbaring. "Itu bukan mimpi biasa. Itu sepertinya arwah Marco. Minta untuk diadakan selamatan untuk dirinya," sahut Warno. Yang disambung oleh perkataan Warmo. "Kalau tidak, coba kita datangi rumah Mbah Mul, untuk menanyakan hal itu," usul Warmo, mempromosikan kenalannya yang merupakan seorang dukun. "Siapa itu Mbah Mul?" tanya Mario dengan polosnya. "Dia dukun sakti, yang bisa menyibak mimpimu itu," sahut Warmo, yang membuat Mario mengerutkan dahinya. "Dukun?" tanya Mario, untuk menyakinkan perkataan dari Warmo. Dengan wajah ketidakmengertiannya. "Ya, kalau saja. Kami sudah membeli nomor seluler baru. Pastinya kami akan segera menghubunginya," lanjut Warmo, akan tetapi Mario seakan tak tertarik dengan perkataan dari Warmo itu. Mario pun menguap, lalu berbicara kembali. "Sudahlah, aku masih mengantuk. Besok saja kita bahas hal ini. Kalian ini ingin kembali ke kamar kalian, atau ingin tidur di sini itu terserah kalian," Mario pun lalu memejamkan matanya, dan langsung tertidur dengan pulas nya kembali. "No, lebih baik kita tidur di sini saja. Siapa tahu, Mario mimpi buruk lagi," ucap Warmo, lalu berbaring di samping kiri Mario. "Baiklah," jawab Warno, lalu berbaring di samping kembarannya, dengan begitu elegannya. Sesaat kemudian mereka berdua pun terlelap, menyusul Mario ke alam mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD